Massa Forum Jurnalis Medan menggelar aksi tutup mulut di depan Gedung Pemko Medan, Senin (19/4/2021). Mereka menuntut Wali Kota Bobby Afif Nasution untuk meminta maaf atas insiden dugaan perintangan dan intimidasi oleh tim pengamanan terhadap jurnalis beberapa waktu lalu. (IDN Times/Prayugo Utomo)
Ia menjelaskan kode etik jurnalistik sebenarnya sudah sangat baik jika diterapkan dengan sungguh-sungguh oleh insan media. Hal ini penting untuk menghindarkan perempuan dari diskriminasi serta agar tidak makin menjadi korban karena ulah media.
"Tantangannya adalah belum ada keseragaman di media dalam menerapkan asas praduga tak bersalah, termasuk kepada perempuan yang berhadapan dengan hukum, misalnya wajahnya di-blur atau tidak," kata Ninik.
Sering kali blur (mengaburkan) gambar hanya dilakukan dengan tingkat pemburaman rendah, hanya ditutup bagian mata, atau tidak di-blur sama sekali membuat identitas perempuan masih dapat dikenali.
Contohnya pada kasus pembunuhan Brigadir Joshua, tersangka PC bahkan dimuat foto dan namanya secara terang-terangan.
Tidak hanya itu, media juga kerap mengulik latar belakang pekerjaan, sampai keluarga yang tidak ada korelasinya dengan kasus yang sedang diusut. Penggunaan judul yang menghakimi, dan clikbait sehingga berpotensi menggiring opini publik dan makin merugikan perempuan yang berhadapan dengan hukum.
Sebenarnya berbagai organisasi jurnalis di tanah air juga terus mengedukasi para awak media. Seperti misalnya Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) yang kerap menyelenggarakan pelatihan dan seminar terkait KEJ dan juga peliputan perempuan yang berhadapan dengan hukum. Melalui pelatihan, jurnalis diharapkan lebih peka dan dapat menerapkan KEJ dengan baik sehingga dapat membantu memberitakan kasus PBH dalam perjuangannya mendapatkan keadilan tanpa diskrimasi.