Perempuan Korban Kekerasan Masih Alami Diskriminasi Hukum

Jakarta, IDN Times - Perempuan hingga kini masih mengalami diskriminasi gender. Hal ini tidak hanya terjadi dalam kehidupan sehari-hari, tetapi juga dalam dunia hukum. Perempuan berhadapan hukum (PBH) kerap kesulitan mengakses sistem peradilan pidana karena sistem hukum yang belum memberikan jaminan perlindungan dan hak-hak korban.
Keberadaan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perempuan Berhadapan dengan Hukum menjadi harapan bagi pemenuhan hak perempuan yang berhadapan dengan hukum dan penghapusan diskriminasi berdasarkan gender pada sistem peradilan di Indonesia.
Menurut Perma No 3 Tahun 2017 ini, perempuan berhadapan dengan hukum adalah perempuan yang berkonflik dengan hukum, perempuan sebagai korban, perempuan sebagai saksi, atau perempuan sebagai pihak.
1. Aturan UU tentang proses hukum tersangka, terdakwa, dan terpidana
Komisioner Komisi Nasional (Komnas) Perempuan Tiasri Wiandani mengungkapkan, peraturan perundang-undangan sudah mengatur tentang proses hukum tersangka, terdakwa, dan terpidana. Hal tersebut disampaikannya dalam Focus Group Discussion Komnas Perempuan dengan Media soal Perma No 3 Tahun 2017 di Jakarta akhir September lalu.
Tyas mencontohkan perempuan sebagai tersangka berhak mengajukan penangguhan tahanan, tahanan rumah atau tahanan kota.
Selain itu, Komnas Perempuan juga mendorong hakim untuk melihat kasus dalam perspektif perempuan/ gender saat menetapkan seorang perempuan menjadi terpidana. Saat seorang perempuan menjadi terpidana, maka perlu diperhatikan pula haknya seperti memperoleh akses kunjungan anak.
“Ketika ada persoalan perempuan berhadapan dengan hukum dalam kondisi hamil, atau punya anak kecil ini juga bisa diberikan akses perlindungannya sehingga ini menjadi peraturan internal di APH (aparat penegak hukum) sehingga bisa memberikan akses perlindungan perempuan berhadapan dengan hukum,” ujar Tyas.