AMZ, saat menyampaikan permintaan maaf di Mapolda Kaltim. Kasus ini berakhir dengan restorative justice. (IDN Times/Erik Alfian)
Kasubdit Siber Ditreskrimsus Polda Kaltim, Kompol Ariansyah, menjelaskan bahwa hubungan antara pelaku dan korban bermula dari interaksi di sebuah platform permainan daring, yang kemudian berlanjut melalui beberapa aplikasi lain seperti ProVox, email, dan Discord.
“Awalnya mereka saling mengenal dari game online, lalu komunikasi berlanjut di Discord—aplikasi yang mirip WhatsApp atau Telegram. Dari sana tumbuh rasa kedekatan, pelaku bahkan membangun hubungan seolah-olah menjadi sahabat dekat, bahkan lebih dari itu bagi korban,” jelas Kompol Ariansyah.
Ia menambahkan, berdasarkan penyelidikan, pelaku telah menjalin komunikasi dengan korban sejak Juni 2024. Dalam kurun waktu itu, pelaku sempat meminta uang sebesar 500 dolar AS dan sempat dikirim oleh ibu korban senilai 50 dolar AS. Namun, hingga kini tidak ada bukti bahwa pelaku telah menyebarkan konten bermuatan asusila.
“Setelah kami lakukan pemeriksaan forensik digital terhadap perangkat pelaku, baik ponsel maupun laptop, dipastikan bahwa konten belum sempat didistribusikan atau disebarkan,” tegasnya.
Hal inilah yang menjadi pertimbangan utama mengapa proses hukum tidak dilanjutkan ke tahap penuntutan. Kompol Ariansyah menyebutkan bahwa unsur pasal dalam Undang-Undang ITE terkait penyebaran konten pornografi belum terpenuhi.
“Jadi ini murni dilakukan lewat pendekatan restorative justice. Mengingat tidak ada laporan pro justitia yang masuk, hanya laporan informasi, serta keterbatasan pelapor yang berada di luar negeri dan tidak memungkinkan membuat laporan resmi di Indonesia,” katanya.
Kompol Ariansyah juga menegaskan bahwa jika kasus ini ditangani di Swedia, pelaku bisa saja dijemput oleh otoritas setempat. Namun berkat pendekatan mediasi dan koordinasi lintas negara, upaya itu dapat dihindari.
“Tidak ada distribusi konten. Ini bisa kami pastikan berdasarkan hasil pemeriksaan digital forensik yang kami lakukan,” tutupnya.