Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Seorang pria merokok di tempat umum.
Ilustrasi Bahaya dari Menormalisasi Merokok di Media Sosial bagi Pelajar. (pexels.com/Yogendra Singh)

Di era digital, media sosial bukan lagi sekadar tempat berbagi momen, tapi juga ruang pembentukan identitas bagi remaja. Sayangnya, di tengah derasnya arus konten hiburan, rokok sering tampil dalam citra estetis—seperti seseorang yang duduk di kafe sambil mengepulkan asap atau tokoh film pendek yang tampak “deep” saat merokok.

Bagi pelajar yang masih mencari jati diri, visual seperti ini bisa menanamkan persepsi keliru: merokok dianggap keren, dewasa, atau simbol kebebasan. Padahal di balik citra “santai” itu, ada bahaya psikologis dan sosial yang tak bisa diabaikan.

Normalisasi rokok di media sosial bukan hanya menutupi dampak kesehatannya, tapi juga membentuk pola pikir permisif terhadap perilaku adiktif. Pelajar yang sering terpapar konten semacam ini lebih mudah meniru tanpa sadar, hingga berisiko kecanduan nikotin dan menurunnya prestasi akademik.

Berikut lima bahaya utama dari normalisasi rokok di media sosial bagi pelajar:

1. Mengaburkan fakta bahaya kesehatan rokok

Ilustrasi Bahaya dari Menormalisasi Merokok di Media Sosial bagi Pelajar. (pexels.com/lil artsy)

Media sosial sering menampilkan rokok secara “artistik” tanpa memperlihatkan sisi gelapnya. Akibatnya, pelajar kehilangan sensitivitas terhadap fakta bahwa satu batang rokok mengandung lebih dari 7.000 zat kimia beracun. Dampak seperti sesak napas, penurunan stamina, atau risiko kanker paru menjadi seolah jauh dari kenyataan.

2. Membentuk identitas diri yang salah

Ilustrasi Bahaya dari Menormalisasi Merokok di Media Sosial bagi Pelajar. (pexels.com/Yogendra Singh)

Rokok kerap digambarkan sebagai simbol kedewasaan, kemandirian, atau karakter “misterius”. Padahal, kedewasaan sejati bukan soal rokok di tangan, melainkan kemampuan berpikir dan bertanggung jawab atas pilihan sendiri. Ketika citra palsu ini terus ditampilkan, pelajar bisa salah menafsirkan arti kedewasaan yang sesungguhnya.

3. Meningkatkan risiko ketergantungan nikotin sejak dini

Ilustrasi tanda kamu diam-diam perfeksionis walau mengaku tidak. (pexels.com/Timur Weber)

Paparan konten rokok di media sosial bisa menumbuhkan rasa penasaran hingga keinginan mencoba. Sekali mencoba, nikotin cepat menciptakan sensasi nyaman semu yang menjerat pelajar dalam siklus ketergantungan. Remaja yang mulai merokok di usia muda pun lebih rentan kecanduan karena otaknya masih berkembang.

4. Menurunkan fokus dan prestasi akademik

Ilustrasi tanda kalau kamu sudah waktunya berhenti mengejar. (pexels.com/Nataliya Vaitkevich)

Nikotin memang memberi efek “tenang sesaat”, tapi setelahnya muncul gelisah dan penurunan energi. Akibatnya, pelajar sulit fokus dan cepat kehilangan motivasi belajar. Kebiasaan merokok juga sering diikuti gaya hidup tidak sehat seperti begadang dan kurang aktivitas fisik yang menurunkan kemampuan berpikir kritis.

5. Mengabaikan nilai teladan dan tanggung jawab sosial

Ilustrasi ciri orang toxic yang perlu kamu ketahui. (pexels.com/Budgeron Bach)

Pelajar masa kini bukan hanya penonton, tapi juga kreator konten. Saat mereka mengunggah foto atau video bergaya dengan rokok, mereka tanpa sadar ikut menyebarkan budaya merokok ke sesama teman. Setiap unggahan bisa jadi pemicu bagi remaja lain untuk meniru.

Sebagai generasi digital, pelajar seharusnya mampu membentuk budaya daring yang sehat. Menolak normalisasi rokok di media sosial bukan cuma soal menjaga kesehatan pribadi, tapi juga langkah kecil untuk melindungi generasi sebaya dari jebakan gaya hidup yang merusak.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team