Penasihat Hukum LBH Bandung, Lasma Natalia (Tangkapan Layar Youtube YLBHI)
Tepat di hari ulang tahun Presiden Joko Widodo ke-60, 21 Juni 2021 ini, mereka yang mengatasnamakan diri sebagai Gerakan #BersihkanIndonesia telah menyampaikan permohonan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi. Ada 9 pasal dalam UU Minerba No. 3 tahun 2020 tentang Perubahan UU Minerba No. 4 tahun 2009 yang dianggap bermasalah.
Penasihat Hukum LBH Bandung, Lasma Natalia mengungkapkan, sejumlah problem tambang terjadi, ada di Sumatra, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, hingga Papua. Saat UU diterbitkan, ada penolakan cukup besar dari masyarakat di berbagai wilayah Indonesia. Problem ini, hingga setahun berjalan, belum juga selesai.
"UU Minerba akan dijadikan legitimasi untuk memperlancar kegiatan pertambangan yang bisa berakibat kerusakan alam dan lingkungan. Bahkan bisa merusak kehidupan masyarakat itu sendiri," ungkapnya dalam kegiatan press conference "Rakyat Ajukan JR UU Minerba yang dilaksanakan secara virtual, Senin (21/6/21).
Dalam hal ini, sebenarnya Presiden Joko Widodo memiliki kewenangan untuk executive review, apakah mau mencabut atau tidak UU ini. Walau sebenarnya kewenangan tersebut bisa saja dilakukan sejak tahun lalu.
"Tidak ikut mengesahkan UU ini. Tapi kalau pun tidak dilakukan, mungkin presiden paling tidak, tidak mengintervensi proses judicial review yang berjalan. Karena jangan sampai, setelah masyarakat sudah melakukan prosedural hukum malah ada penekanan dari eksekutif dan legislatif," terangnya.
Dalam pengajuan uji materiil JR ini ada beberapa pasal yang jadi sorotan. Pada umumnya ada empat kelompok besar. Pertama pasal terkait perpindahan kewenangan daerah pada pusat.
"Menurut kami jika kewenangan ini berpindah dapat menghambat akses masyarakat. Khususnya di daerah yang berhadapan langsung dengan kegiatan pertambangan," beber Lasma Natalia.
Kemudian terkait jaminan undang-undang, bahwa satu wilayah yang sudah ditentukan sebagai wilayah pertambangan dijamin untuk terus menjadi wilayah pertambangan.
"Padahal kita tahu, satu wilayah pasti mengalami perubahan setelah digunakan sebagai pertambangan. Apalagi akan ada kerusakan. Jika ada jaminan itu tidak memperhatikan prinsip lingkungan hidup yang baik," urainya.
Ketiga, pasal pidana terus-menerus digunakan untuk kriminalisasi warga yang melakukan penolakan terhadap kegiatan pertambangan. Ia menyebut, ada warga yang sebagai pemohon, atau lainnya yang menjadi terlapor atau dikriminalisasi menggunakan pasal ini.
"Terakhir jaminan otomatis kontrak karya dan PKP2B tanpa proses evaluasi. Negara malah memberikan jaminan supaya KK dan PKB2B berlanjut. Tanpa evaluasi. Padahal dievaluasi tersebut harusnya ada ruang, di mana masyarakat bisa memberikan aspirasi dan kerugian yang dialami.," kelasnya.
Dengan adanya pemberian jaminan, apa pun komplain atau dampak malah tidak jadi pertimbangan. Dan kegiatan pertambangan ini tetap dilakukan. "Ini empat cakupan besar dari permohonan judicial review UU Minerba," bebernya.