Ilustrasi bagarakan sahur (dailymoslem.com/istimewa)
Sarip melanjutkan, sebenarnya istilah bagarakan sahur mengadopsi kegiatan serupa dari Banjarmasin Kalimantan Selatan (Kalsel). Bagarakan berasal dari kata garak yang berarti gerak. Kata garak diberi imbuhan ba-an, sehingga menjadi bagarakan yang berarti bergerakan.
Yang belakangan menjadi suatu aktivitas membangunkan warga untuk sahur dengan meriah, serempak dan terkoordinasi. Pada abad ke-16 masehi, sebelum Islam menyebar dan menjadi agama bangsa Banjar, mereka sudah memiliki alat musik tradisional yakni gendang (babun) dan gong. Dahulu, alat-alat inilah yang digunakan untuk membangunkan warga berjalan kaki keliling kampung.
Walaupun Samarinda dihuni dengan ragam etnis, masyarakat Samarinda tetap mempertahankan kultur lokal Banjar yang sudah membumi sejak lima abad sebelumnya. Perlu diingat juga, jika Samarinda dulunya merupakan wilayah Kutai Kartanegara dan termasuk vasal atau daerah kekuasaan dari Kerajaan Banjar.
Sehingga hal lumrah jika kebudayaan Banjar juga banyak diadopsi dari Kalimantan Selatan, termasuk bahasanya yang sudah menjadi lingua franca (tutur pergaulan) di antara warga Kota Tepian.
“Tapi sekarang tradisi ini banyak terjadi penyimpangan,” tegasnya.