Dandi Anggoro Aji, Rockafiller. (Dok. Rockafiller untuk IDN Times)
Menurut Dandi, sistem royalti saat ini jelas belum adil dan transparan. “Masalah royalti sejauh ini hanya terjadi di kota-kota besar. Di daerah, di second city atau third city, kasus royalti hampir tidak ada. Kalau pelanggaran hak cipta memang ada beberapa kasus, tapi royalti? Sejauh ini nihil,” katanya.
Hal ini, menurutnya, karena musisi daerah justru merasa terbantu dengan adanya publikasi. “Tetapi kalau bicara secara umum, sistem royalti jelas belum adil dan transparan. Tidak ada ukuran objektifnya,” tegasnya.
Dandi mempertanyakan apakah LMK benar-benar tahu detail penggunaan lagu di ruang publik. “Apakah LMK benar-benar tahu berapa lagu yang diputar di tiap coffee shop? Lewat medium apa? Spotify? YouTube? Joox? Deezer? Amazon? Bandcamp? Bahkan SoundCloud? Tidak ada database yang jelas,” kritik Dandi.
Ia memberi gambaran sederhana. “Satu coffee shop buka 8 jam. Kalau satu lagu rata-rata 5 menit, berarti ada ratusan lagu diputar. Bagaimana pembagian royaltinya? Bagaimana transparansinya? Sumber datanya saja tidak ada,” sebut dia.
Menurutnya, royalti bisa dibagi dalam dua kategori, yakni digital/online dan live stage/offline. Untuk kategori live, pengawasan lebih penting karena datanya bisa dikumpulkan melalui setlist. “Event besar dengan skala komersial seharusnya punya setlist dari semua band yang tampil. Dari setlist itu bisa terlihat mana lagu original, mana lagu cover. Kalau ada lagu cover, jelas royalti harus diberikan ke pencipta aslinya,” jelasnya.
“Kalau setlist dicatat dengan baik, maka jelas, event A, tanggal sekian, band ini bawakan lagu ini, ini, dan ini. Itu penting, karena dalam satu lagu ada banyak pihak terlibat: songwriter, arranger, produser, sound engineer, bahkan additional player. Masing-masing punya haknya. Tapi lagi-lagi masalahnya: bagaimana cara data itu dikumpulkan saja belum kredibel, gimana mendistribusikannya?” lanjut Dandi.
Ia juga menyoroti minimnya database musisi lokal. “Apakah semua band sudah terdaftar di LMK atau WAMI untuk bisa menerima distribusi royalti? Bagaimana LMK tahu ada Rockafiller atau band lokal di Samarinda, Balikpapan, Tenggarong, dan kota lain? Mereka tidak punya database itu.”
Untuk itu, Dandi mengusulkan adanya LMK daerah. “Supaya database kita komplit. Misalnya, selama lima tahun terakhir ada berapa band lahir, berapa karya dirilis, berapa album, single, video musik, artwork, dan lain-lain. Kami punya, tapi pemerintah tidak punya database akar rumput. Padahal itu fundamental,” katanya.
Sebagai contoh, ia menyinggung sebuah kafe di Balikpapan yang menggelar tribute. “Mereka tetap harus bayar royalti meskipun tribute. Nominalnya dua digit. Dan akhirnya dibayar secara profesional oleh penyelenggara, bukan musisi. Itu menunjukkan karya memang harus diapresiasi karena proses pembuatannya tidak sederhana. Di balik satu band, ada banyak orang yang hidup dari musik: penulis lirik, arranger, produser, mixing-mastering engineer, dan lain-lain. Mereka punya hak karena menjadikan itu sumber mata pencaharian,” jelasnya.