ilustrasi orang tua mengajarkan aksara Tionghoa kepada anak-anak (istockphoto.com/AsiaVision)
Pada 1915, sebagai hasilnya kebun-kebun pertanian karet menyebar luas, dipelopori pertama oleh para pedagang Tionghoa dan dirawat oleh orang Melayu, Tionghoa dan kemudian orang Dayak.
Maka terjadi satu perubahan yang menyeluruh pada perekonomian Borneo Barat selama seperempat abad sebelum 1919. Pertanian kecil berkembang dalam skala besar, tanpa adanya satu dorongan pun dari pemerintah. Jumlah penduduk bertumbuh seiring dengan perbaikan ekonomi.
Pada paruh pertama 1800-an, dalam perselisihan mengenai pajak kepala, birokrat kolonial cenderung melebih-lebihkan jumlah laki-laki dewasa Tionghoa, sedangkan kongsi cenderung untuk merendahkannya.
Ahli geografi abad ke 20, James C Jackson, kata Syarifudin, melaporkan terdapat lebih dari empat puluh ribu orang Tionghoa di daerah ini pada 1810-an, dan sekitar lima puluh ribu orang pada 1850.
“Kedua angka tersebut mungkin terlalu dibesar-besarkan. Pada saat pemerintahan kolonial berdiri di suatu wilayah, penghitungan jumlah kepala lebih dapat dipercaya,” ucapnya.
Selama 1860-an dan awal 1870-an, populasi orang Tionghoa menjadi sekitar 25.000 jiwa, proporsinya sekitar 7,3 persen dari total keseluruhan jumlah penduduk pada 1860 dan hanya mencapai 7,7 persen pada 1890.
Setelah tahun 1877, perkembangan jumlah penduduk Tionghoa mulai meningkat secara perlahan, mencapai sekitar 28.000 jiwa pada akhir dekade tersebut. Pada 1905, populasinya sekitar 48.348 atau 10,7 persen dari seluruh populasi, dan pada waktu sensus penduduk 1920 hampir sekitar 67.787 jiwa atau 11,2 persen.
Sepuluh tahun kemudian, kata Syarifudin, angkanya mencapai 107.998 atau 13,5 persen. Pertumbuhan tersebut sebagian diakibatkan karena meningkatnya imigrasi, yang dirangsang oleh perubahan ekonomi. Sebagian karena kenaikan secara alamiah, yaitu perimbangan jenis kelamin yang semakin membaik dan terbentuknya keluarga yang stabil.