Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Suara Pesisir Mentawir: Ibu Kota Baru, Nasib Kami Bagaimana? 

Kelurahan Desa Mentawir, Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara (dok/Ananda Nabilah)

Penajam, IDN Times - Begitulah Ani, perempuan berusia 46 tahun itu mencurahkan keresahan. Ia tak hanya resah, tapi juga takut terhadap wacana perpindahan ibu kota baru. Lokasinya di Kecamatan Sepaku yang nantinya Kawasan Inti Pusat Pemerintahan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara. 

Bagi warna di Kelurahan Desa Mentawir, Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) Kalimantan Timur (Kaltim), wajar saat perasaan khawatir menghinggapi. 

Sekalipun perpindahan IKN sudah diketok palu oleh pemerintah, bagi mereka hal tersebut masih isu yang didengar dari mulut ke mulut.

“Kan ada kabarnya mau digusur bilang orang, namanya mulut, kita di sini takut. Kita kalau kumpul sama ibu-ibu, mau ke mana kita ini?  Bilang orang ada ganti ruginya, iya uang itu loh bisa habis. Kalau habis uangnya mau mencari di mana kita? Aku loh takut memang itu, takut aku,” sambungnya pada 25 Maret 2022. 

Hari itu  langit tampak mendung. Meski begitu tak menyurutkan semangatnya mencari pundi rupiah. Begitu juga semangatnya saat bercerita. Mengenakan daster sembari menyajikan mi goreng dengan santai, Ani, menjajakan kebutuhan sehari-hari di warung kecilnya. Ia telah tinggal di desa ini selama lebih dari 40 tahun.

“Berdagang sudah 3 tahun, pekerjaan sebelumnya ibu rumah tangga, paling kalau ada kegiatan dari pak Lamale (Ketua Pokdarwis) baru ikut, kalau ndak ada, ya, selama ini kita nganggur,” awal mula ia bercerita.

Tak hanya Ani, kebanyakan ibu-ibu di Desa Mentawir beraktivitas sebagai ibu rumah tangga. Terkadang, di sela-sela kesibukan, ia dan ibu-ibu setempat sering kali melakukan kegiatan bersama. Mereka melakukan aktivitas sosial hingga usaha yang menunjang perekonomian, seperti berjualan dan membuat produk makanan dan minuman berbahan bakau yang dipasarkan oleh kelompok sadar wisata (Pokdarwis), mengadakan pengajian, persiapan pernikahan atau rewang, sampai dengan membangun pagar wisata di dermaga.

Semua dilakukan oleh ibu-ibu yang mayoritas berstatus sebagai ibu rumah tangga.

Desa yang ia tempati selama hampir setengah abad itu dikenal berdaya dan beragam. Memiliki topografi daerah yang diapit perkebunan, hutan, dan teluk sehingga hiruk-pikuk kehidupan kota tenggelam dalam asri alam Benua Etam. 

Ada beragam suku yang menduduki kawasan tersebut. Mulai dari Suku Paser, Bugis, Jawa, dan banyak masih banyak lagi yang hidup rukun berdampingan. Profesi yang dimiliki pun bermacam-macam, mulai dari buruh perusahaan, bertani, hingga nelayan. Interaksi masyarakat kental dengan nilai kekeluargaan.

“Masyarakat sering gotong-royong di sini,” cerita Syahnan (56), selaku Kepala Adat Desa Mentawir.

1. Sengketa di tanah yang subur

dok. pribadi

Sebagai salah satu kelurahan tertua dan berdiri sejak zaman Belanda, Mentawir punya kekayaan alam yang mengagumkan, beragam sumber daya tersebar dari hutan hingga pesisir teluknya. Kawasan Bakau seluas 500 hektare yang menjadi habitat ikan dan kepiting, serta destinasi wisata, ditemani dengan keberadaan hutan bambu sebagai bahan suvenir kerajinan yang bisa dibawa pulang wisatawan.

Mamalia pesut, hewan langka asli Kalimantan juga dapat dijumpai pada waktu tertentu di kelurahan yang menjadi ujung Teluk Balikpapan ini. Dengan suguhan asri perkampungan, hasil alam, hingga produk khas bakau seperti sirup, kopi, teh, dodol, hingga pupur dingin, tak heran jika Mentawir dinobatkan sebagai desa wisata. 

Lamale (70), Ketua Pokdarwis setempat bercerita bahwa kekayaan alam ini sangat penting dan sangat bermanfaat bagi kehidupan warga sekitar. Warga yang sudah ada puluhan tahun di sana, bergantung dengan sumber daya yang ada sebagai sandaran ekonomi maupun manfaat keanekaragaman hayati.

Di samping keelokannya, Mentawir punya berbagai permasalahan.

Syahnan menceritakan beberapa riwayat kelam sengketa, kebakaran lahan, hingga krisis lingkungan yang terjadi.

Pada tahun 1997, hutan di Kelurahan Mentawir pernah terbakar sampai ke pinggiran hutan mangrove. Kebakaran lapisan batu bara yang terjadi di sekitar PPU saat itu dikarenakan musim kemarau yang berkepanjangan, mengakibatkan kebakaran hutan yang tak kunjung usai.

Kejadian tersebut menjadi salah satu kebakaran hutan terburuk.

Syahnan menambahkan, bahwa hal ini menyebabkan beberapa flora seperti durian hutan dan kelantungan sudah tidak bisa dijumpai.

"Dulu tahun 90, kami itu di sini bertani aman, bahkan pada saat itu, buah-buahan berlimpah ruah sampai tidak terjual, saking banyaknya, kalau kita masuk hutan itu kalau bawa karung, kita tidak bisa bawa (hasil hutan), tapi kalau kita bawa rantang, jadi isinya saja kita ambil seperti durian, kelantungan, dan sebagainya. Tapi sejak adanya PT Inhutani, hutan kami habis dibabat. Jadi beruk, monyet, turun ke kampung semua, sehingga kami bertani dan menanam sayur-sayuran itu tidak bisa," tuturnya.

Sebagai sebuah Badan Usaha Indonesia, PT Inhutani I beroperasi di sektor Kehutanan, dengan unit bisnis utama meliputi usaha di bidang industri pengolahan kayu, pengelolaan hutan alam, dan pengelolaan hutan tanaman. Dalam wilayah Batu Ampar-Mentawir, Kutai Kartanegara Kaltim, unit usaha dagang milik Pemerintah Indonesia melalui Perum Perhutani yang berdiri sejak 1973 ini memang berfokus pada hutan tanaman industri.

Dilansir dari IDN Times, Warga Kelurahan Mentawir, mengaku kesulitan untuk meningkatkan status lahannya menjadi hak milik karena masuk dalam area Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) PT Inhutani. 

"Warga kesulitan untuk memiliki atau meningkatkan status lahan pemukiman dan garapannya. Pasalnya 90 persen wilayah Kelurahan Mentawir dimiliki oleh PT Inhutani. Sementara wilayah ini sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda," ujar Lurah Mentawir M. Yamani, kepada IDN Times, Senin (3/2/2020) di ruang kerjanya.

Dari 22 ribu hektare persegi luas wilayah Kelurahan Mentawir, lanjut Yamani, 90 persen masuk areal PT  Inhutani. Sedangkan sekitar 10 persen telah dilepas jadi Areal Penggunaan Lain (APL) itu pun hanya untuk pekarangan rumah warga. Bahkan sebelum tahun 2013 silam, 100 persen lahan milik perusahaan.

"Perusahaan telah membuat surat edaran yang melarang warga Mentawir membuat surat lahan rumahnya atau usaha pertanian dan perkebunannya karena masuk dalam areal perusahaan. Kami pun tidak dibolehkan menerbitkan surat tanah apa pun," katanya.

Selain PT Inhutani, PT Paser Prima Coal Indonesia (PPCI) dan PT Mandiri Sejahtera Energindo (MSE) yang saling klaim kepemilikan konsesi pertambangan batu bara, ikut memperpanjang daftar konflik lahan yang ada.

2. Tak ikut serta dalam pembicaraan IKN

cdn.idntimes.com/content-images/

DPR RI sudah mengesahkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara pada 15 Februari 2022 yang lalu. Kawasan inti pusat pemerintahan di IKN itu berada di wilayah yang saat ini masuk administratif Kecamatan Sepaku PPU. 

Selain Sepaku, dalam UU 3/2022 diatur pula kawasan perluasan IKN hingga memasuki wilayah Kutai Kartanegara. 

Mengutip Kecamatan Sepaku dalam Angka 2018 dari Badan Pusat Statistik (BPS), sebanyak 15 desa/kelurahan itu ada beberapa yang tercatat di dalam, tepi, dan luar kawasan hutan. Mereka yang berada di dalam kawasan hutan adalah Kelurahan Mentawir dan Desa Karang Jinawi. Sementara yang di luar kawasan hutan adalah Desa Binuang, Desa Telemow, Desa Sukaraja, dan Kelurahan Maridan. Kemudian desa/kelurahan sisanya berstatus ada di tepi atau sekitar hutan.

Rumor begitu memang sering terjadi di beberapa kawasan yang dekat dengan proyek pembangunan pemerintah.

Menurut Syahnan, warga adat sepertinya dan warga Mentawir berpotensi jadi korban relokasi atas nama pembangunan IKN. Apalagi, warga setempat tak bisa mengurus sertifikat tanahnya karena desa mereka termasuk Kawasan Budidaya Kehutanan (KBK).

Sebagai warga yang sudah hidup enam generasi di sana, kekhawatiran Syahnan bisa dimaklumi. 

"Ketakutan adanya IKN hak-hak kami tidak dihargai. Karena kami di sini untuk surat tanah paling mentok segel," jelasnya.

Belum lagi ketakutan tentang nasib kuburan nenek moyang mereka. “Kuburan nenek moyang kami bagaimana kalau kami direlokasi?" tanyanya. 

Ani juga takut jika rumor relokasi itu sampai betul-betul terjadi. Ia dan Syahnan satu suara tak ingin pindah, jika punya pilihan.

Sampai saat ini, warga sendiri belum menerima info resmi mengenai nasib mereka secara pasti, termasuk soal ganti rugi. Beberapa warga mengaku belum ada obrolan atau musyawarah secara khusus membahas pembangunan IKN dan kondisi mereka setelah ditetapkan masuk daerah pengembangan IKN.

“Jangan jauh-jauh, seperti pembangunan persemaian bibit IKN jaraknya 4 kilometer dari sini. Tapi, kami gak pernah diundang ke sana,” kata Syahnan. 

Belum jelas nasib mereka, pembangunan IKN terus berlanjut. Salah satu agenda pemerintah yang mengejutkan Sahnan adalah Persemaian Mentawir, program rehabilitasi hutan di sekitar IKN yang resmi dimulai Maret kemarin.

Pasalnya, rangkaian kemah di IKN dan pembangunan persemaian berjalan tanpa sepengetahuan dan keterlibatan warga setempat, hingga hal ini dinilai mengabaikan kepentingan masyarakat. 

Syahnan sendiri mengakui tidak tahu ada pembangunan Persemaian Mentawir, dan mendapat info belakangan dari berita.

Padahal, Presiden Joko Widodo hadir di IKN pada 14-15 Maret kemarin, untuk meninjau langsung Pusat Pesemaian Modern (Nursery Center) IKN di Bukit Bangkirai.

Dalam rilisnya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya menjelaskan bahwa KLHK tengah membangun Persemaian Mentawir di dekat kawasan inti IKN seluas 120 hektare, dengan area persemaian dan bangunan sekitar 32,5 hektare.

Persemaian ini menggunakan konsep kerja sama antara Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU), yaitu kerja sama patungan antara KLHK, Kementerian PUPR dan swasta, yang dapat memproduksi bibit 15 sampai 20 juta per tahun.

Nantinya jutaan bibit yang dihasilkan dari Persemaian Mentawir ini akan dibawa ke IKN untuk kemudian ditanam di lahan-lahan kritis. Banyak di antara mereka mengaku merasa takut dan khawatir jika dipindahkan, terpisah dengan saudara, tetangga. Apalagi harus memulai hidup baru di areal yang disediakan pemerintah, bertransmigrasi, dan meninggalkan kampung sendiri.

“Bilang orang, ada ganti ruginya,” kata Ani.

Ia menjelaskan rumor lain tentang ganti rugi yang akan diberikan pemerintah pada warga setempat, jika mereka termasuk kelompok yang direlokasi.

“Uang itu loh bisa habis. Kalau habis, uangnya mau mencari di mana kita? Di sini kan, biarpun sedikit pencarian (pendapatan), tapi pasti ada terus. Ya, untuk makan lah,” tambah Ani.

Sebelum konflik mengenai ketidakpastian nasib mereka terkait pembangunan IKN muncul, permasalahan seperti konflik lahan dan kerusakan lingkungan telah memupuk kecemasan warga, termasuk Syahnan.

3. Suara masyarakat ingin didengar soal pembangunan IKN Nusantara

dokumen

Meski sadar kalau pembangunan IKN sudah tak terelakkan, terlepas karena telah disokong instrumen hukum macam Undang-undang IKN yang telah disahkan, warga Mentawir hanya ingin kepastian dari pemerintah tentang nasib mereka.

Sejauh ini, upaya pemerintah seperti sosialisasi telah dilakukan namun belum sampai pada telinga mereka secara langsung lewat lingkar musyawarah. Hanya rumor dan berita yang mengisi kewas-wasan mereka.

Harapan Ani, Syahnan, Lamale, dan warga desa Mentawir antara lain ingin tetap mempertahankan tanah leluhur, dan mata pencaharian yang ada, terus bermukim tanpa dialokasikan atau dialihfungsikan. Mereka berharap dapat menjaga ketenteraman dan kedamaian untuk terus seperti ini, tanpa kerusakan lingkungan maupun pembatasan tangkapan nelayan.

Syahnan memohon untuk pemerintah menghargai dan memenuhi hak-hak masyarakat agar tidak tersisih, mengistimewakan hak anak dan generasi selanjutnya di Desa Mentawir, menyalurkan bantuan terkait bencana dan permasalahan yang ada, dan memberi ruang mempertahankan mata pencaharian untuk dikelola oleh masyarakat.

“Saya selaku tokoh masyarakat, seperti yang saya bilang tadi, memang untuk IKN ini ndak bisa kita tolak karena itu sudah kemauan dan keputusan pemerintah, namun, pemerintah juga harus menghargai dan mengistimewakan masyarakat adat. Nah, saat ini lah harus diistimewakan, lahan kami diberi sertifikat, karena kami punya hak disitu," tutupnya. 

Penutup

dok

Liputan ini disusun oleh Ananda Nabilah, mahasiswi Prodi Sastra Inggris Fakultas Sastra Universitas Balikpapan angkatan 2019. Tulisan ini menjadi bagian dari program pelatihan dan hibah Story Grant “Anak Muda Ciptakan Ruang Aman Keberagaman di Media” dari Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk). Terlaksana atas dukungan rakyat Amerika Serikat melalui USAID. Isi liputan adalah tanggung jawab Sejuk dan tidak mencerminkan pandangan Internews, USAID, maupun pemerintah AS.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
SG Wibisono
EditorSG Wibisono
Follow Us