Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Target Batu Bara Naik, Lingkungan dan Warga Kaltim Kian Terancam

arsip-berita-pengelolaan-pertambangan-harus-perhatikan-aspek-lingkungan-tcikett.jpeg
Ilustrasi tambang batu bara. (Dok. Kementerian ESDM)

Balikpapan, IDN Times – Pemerintah pusat kembali menetapkan target ambisius untuk sektor tambang. Pada 2025, produksi batu bara nasional ditargetkan naik menjadi 739,67 juta ton. Kalimantan, khususnya Kalimantan Timur (Kaltim), masih jadi tumpuan utama. Namun, di balik angka-angka tersebut, ancaman terhadap lingkungan dan kehidupan masyarakat terus membayangi.

Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Kaltim, Mareta Sari, menilai target itu kontraproduktif terhadap komitmen perbaikan lingkungan yang selama ini digaungkan pemerintah. Ia mempertanyakan arah kebijakan yang justru makin memperkuat ketergantungan pada batu bara. “Apakah ini menjawab komitmen terhadap perbaikan lingkungan? Tentu saja tidak,” tegas Mareta.

1. Target diatur perusahaan, negara tinggal hitung pendapatan

WhatsApp Image 20241003 at 154925.jpeg
Ilutrasi tambang batu bara. (Dok. Kementerian ESDM)

Menurut Mareta, perusahaan tambang sudah terbiasa menyusun target produksi sejak awal tahun, dan memantau realisasinya setiap empat bulan. Target ini bukan semata-mata soal produksi, tapi langsung terkait dengan kontribusi mereka terhadap pendapatan negara (APBN) dan daerah (APBD).

Ia mencontohkan holding group seperti Bumi Resources, pemilik KPC dan Arutmin, yang sejak 2024 sudah menetapkan target produksi sebesar 70–80 juta ton per tahun hingga 2025. Target itu terus dievaluasi dan bisa dinaikkan bila tahun sebelumnya tidak tercapai, demi menjaga citra perusahaan.

Di sisi lain, permintaan global melemah akibat kondisi ekonomi dunia yang lesu. Tapi pengerukan tetap digenjot. Mareta menyebut, harga batu bara justru menurun sejak awal tahun.

“Permintaan ekspor melemah, tapi pengerukan tetap jalan. Di satu sisi ini menguntungkan negara, tapi kerusakannya ditanggung lingkungan,” ucapnya.

2. Dampak langsung dirasakan warga Kalimantan

BATU KAJANG 3.jpeg
Potret kondisi jalan di Batu Kajang, Kecamatan Batu Sopang, yang rusak karena aktivitas hauling batu bara, Februari 2025 kemarin. (Dok. Istimewa)

Indonesia masih memasok batu bara ke dua pasar utama: China dan India. Keduanya mengandalkan batu bara untuk sumber energi PLTU. Namun, dampaknya dirasakan langsung oleh masyarakat lingkar tambang, terutama di Kalimantan. Banjir, longsor, jalan rusak hingga konflik agraria menjadi konsekuensi nyata dari eksploitasi ini.

Perusahaan-perusahaan tambang, kata Mareta, tetap berupaya memperpanjang izin produksi hingga 2030. Bahkan bisa diperpanjang sementara jika target belum tercapai.

“Di Kutai Timur, ada wilayah yang rusak sejak 25 tahun lalu akibat aktivitas KPC. Dampaknya masih terasa sampai sekarang: banjir, jalan berlubang, konflik lahan,” ujarnya.

Semakin besar target produksi, makin luas pula lahan yang harus dibongkar. Prosesnya tak main-main—menggunakan alat berat hingga bahan peledak. Hasilnya: lubang-lubang tambang baru, pencemaran air, dan konflik agraria yang kian akut.

“Kalau warga menolak, mereka bisa dikriminalisasi,” tegas Mareta.

JATAM mencatat, pada 2018 terdapat 1.404 izin tambang di Kaltim, termasuk 30 PKP2B. Namun, setelah revisi UU Minerba pada 2020, jumlahnya menurun drastis. Meski begitu, lubang-lubang tambang tetap dibiarkan terbuka.

Mareta menegaskan pentingnya audit menyeluruh terhadap seluruh perusahaan—baik yang aktif maupun tidak—dan penegakan hukum secara konsisten. Reklamasi juga harus dikawal ketat oleh pemerintah bersama masyarakat.

“Kalau kerusakan terus dibiarkan, 10–15 tahun ke depan tidak akan ada pihak yang bisa dimintai tanggung jawab,” katanya.

3. Transisi energi dinilai hanya slogan

Ilustrasi ekonomi hijau. (IDN Times/Arief Rahmat)
Ilustrasi ekonomi hijau. (IDN Times/Arief Rahmat)

Terkait transisi energi, Mareta juga bersikap skeptis. Menurutnya, wacana ekonomi hijau dan biru yang digaungkan pemerintah tidak menjawab akar persoalan karena tetap bergantung pada batu bara.

Lahan-lahan subur untuk pertanian, perladangan, dan perikanan sudah lebih dulu dikonversi menjadi tambang, sehingga tidak benar-benar ada alternatif.

“Ekonomi hijau dan biru itu masih berkelindan dengan tambang. Masalahnya masih sama,” tutupnya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Sri Gunawan Wibisono
EditorSri Gunawan Wibisono
Follow Us