Potret kondisi jalan di Batu Kajang, Kecamatan Batu Sopang, yang rusak karena aktivitas hauling batu bara, Februari 2025 kemarin. (Dok. Istimewa)
Indonesia masih memasok batu bara ke dua pasar utama: China dan India. Keduanya mengandalkan batu bara untuk sumber energi PLTU. Namun, dampaknya dirasakan langsung oleh masyarakat lingkar tambang, terutama di Kalimantan. Banjir, longsor, jalan rusak hingga konflik agraria menjadi konsekuensi nyata dari eksploitasi ini.
Perusahaan-perusahaan tambang, kata Mareta, tetap berupaya memperpanjang izin produksi hingga 2030. Bahkan bisa diperpanjang sementara jika target belum tercapai.
“Di Kutai Timur, ada wilayah yang rusak sejak 25 tahun lalu akibat aktivitas KPC. Dampaknya masih terasa sampai sekarang: banjir, jalan berlubang, konflik lahan,” ujarnya.
Semakin besar target produksi, makin luas pula lahan yang harus dibongkar. Prosesnya tak main-main—menggunakan alat berat hingga bahan peledak. Hasilnya: lubang-lubang tambang baru, pencemaran air, dan konflik agraria yang kian akut.
“Kalau warga menolak, mereka bisa dikriminalisasi,” tegas Mareta.
JATAM mencatat, pada 2018 terdapat 1.404 izin tambang di Kaltim, termasuk 30 PKP2B. Namun, setelah revisi UU Minerba pada 2020, jumlahnya menurun drastis. Meski begitu, lubang-lubang tambang tetap dibiarkan terbuka.
Mareta menegaskan pentingnya audit menyeluruh terhadap seluruh perusahaan—baik yang aktif maupun tidak—dan penegakan hukum secara konsisten. Reklamasi juga harus dikawal ketat oleh pemerintah bersama masyarakat.
“Kalau kerusakan terus dibiarkan, 10–15 tahun ke depan tidak akan ada pihak yang bisa dimintai tanggung jawab,” katanya.