Testimoni Penyintas HIV di Pontianak, Antara Cinta dan Ironi

Pontianak, IDN Times - Kisah itu bermula di tahun 2017, kisah yang kukira bisa mengubah kehidupanku dengan keterpurukan. Tapi, seluruh orang tiba-tiba memberiku hujatan, menjauhiku, memberiku stigma serta omongan yang tak enak di hati.
Aku adalah seorang ibu rumah tangga (IRT) menikah dengan seorang pria yang ternyata mengidap virus HIV (human immunodeficiency virus), orang-orang menyebut itu adalah virus mengerikan.
Saat itu aku tak tahu tentang virus HIV, aku menikahi suamiku atas dasar kasih sayang. Aku juga tak menaruh curiga apa pun dengannya, pernikahan itu berlangsung di tahun 2015. Aku dan suamiku hidup layaknya pasutri (pasangan suami istri) pada umumnya.
1. Tahun 2017 suamiku meninggal dunia, virus itu menyebar ke dalam tubuhku
Kehidupan berjalan seperti biasa, namun tiba-tiba saja di pertengahan tahun 2017 suamiku jatuh sakit, badannya mulai melemah tak karuan. Aku ingat betul saat itu tanggal 12 April 2017, sejumlah tenaga kesehatan datang ke rumahku.
Mereka memeriksa darahku, juga darah suamiku. Aku sendiri tak mengetahui pengambilan sampel darah itu untuk apa. Tapi belakangan aku baru sadar bahwa yang memanggil sejumlah tenaga kesehatan itu dari keluargaku sendiri.
“Sampel darah ini untuk apa bu?” tanya ku kepada salah satu nakes.
Namun mereka tak kunjung memberitahukanku untuk apa darah yang mereka ambil itu. Mereka cuman bilang kalau ini adalah pengambilan darah biasa saja.
Saat itu aku tak curiga dan merasa biasa saja. Keesokan harinya, aku diminta untuk datang ke puskesmas untuk dites ulang, katanya agar pemeriksaan lebih akurat. Aku hanya menuruti mereka karena aku menganggap ini juga demi kesehatanku.
Aku pergi ke puskesmas ditemani dengan salah satu keluargaku, sampai di sana ternyata aku disuruh untuk mengeluarkan dahak, mereka bilang kalau dari sampel dahak yang aku berikan aman-aman saja.
Pengambilan darah kedua, kali ini cukup membuatku deg-deg an. Usai pengambilan darah, aku disuruh untuk menunggu sekitar 30 menit, setelahnya aku langsung disuruh pulang tanpa diberitahukan hasil pemeriksaan darah itu.
Bahkan saat di perjalanan pulang pun, keluargaku tak ada yang memberitahukanku hasil dari pemeriksaan darah itu.
Malam harinya, suamiku yang sudah sakit mulai melemah dan harus dilarikan ke rumah sakit. Aku membawanya ke RSUD Soedarso, salah satu rumah sakit pemerintah di kotaku.
Sampai di sana, suamiku dibawa ke IGD dan ditangani oleh para tenaga kesehatan. Kurang lebih 3 jam aku menunggu, aku terus gelisah dan cemas melihat keadaan suamiku yang semakin melemah.
Jantungku berdetak sangat kencang ketika dokter mengatakan bahwa suamiku tertular virus HIV AIDS dan sudah menjalar ke bagian kepala.
Aku kaget bukan kepayang, seperti dunia akan lengap, bukan karena aku takut tertular tapi aku lebih mencemaskan kondisi suamiku yang sedang terbaring di IGD rumah sakit dengan penyakit itu.
Baru kuketahui ternyata suamiku pernah menjadi lelaki seks lelaki (LSL) sebelum dia menikah denganku. Waktu itu aku memang tak tahu apa itu LSL, dua tahun menikah dengannya aku merawat dan menjaga kondisi kesehatan suamiku, begitulah yang terjadi.
Suamiku telah 3 hari dirawat di rumah sakit, aku dipanggil perawat, mereka memberikanku konseling dan menyarankanku untuk memeriksakan kesehatanku di fasilitas kesehatan lain.
Dalam 3 hari itu, hanya aku dan ayahku yang mengetahui suamiku ternyata mengidap HIV. Namun hari yang menakutkan itu tiba, hari yang ingin kuhapus dalam kalender, tanggal 16 April 2017 suamiku meninggal dunia.
Saat sekujur tubuh ini mulai melemas, aku baru diberi selembar kertas tanpa amplop, tinta dalam selembar kertas itu menyebutkan bahwa aku juga reaktif HIV.