Truk Tambang Disetop, Pesut Mahakam Jadi Korban Baru?

Balikpapan, IDN Times – Wacana Gubernur Kalimantan Timur Rudy Mas’ud untuk mengalihkan jalur angkutan tambang dari darat ke sungai menuai pro dan kontra. Meski disebut-sebut bisa menyelamatkan jalan nasional dari kerusakan akibat truk bertonase besar, sejumlah pihak justru menilai langkah ini dapat menjadi ancaman serius bagi Pesut Mahakam—mamalia langka khas Kalimantan Timur yang hidup di Sungai Mahakam.
Pesut Mahakam (Orcaella brevirostris) adalah lumba-lumba air tawar satu-satunya di Indonesia. Spesies ini telah masuk dalam daftar merah IUCN dengan status sangat terancam punah (Critically Endangered) sejak tahun 2000, dan dilindungi penuh oleh negara.
Namun, rencana pemindahan angkutan alat berat ke jalur sungai justru bisa memperparah tekanan terhadap keberlangsungan hidup pesut, terutama karena meningkatnya lalu lintas kapal tongkang.
“Kualitas air di Sungai Mahakam makin memburuk sejak ada aktivitas angkutan tambang. Kami temukan kandungan logam berat seperti tembaga dan kadmium yang bisa membahayakan pesut,” kata Danielle Kreb, Direktur Yayasan Konservasi RASI baru-baru ini.
1. Ancaman bagi nelayan dan ekosistem sungai
Selain pencemaran, Danielle menyoroti bahaya lain: polusi suara dari kapal-kapal besar yang dapat mengganggu sistem sonar pesut untuk bernavigasi. Ia menjelaskan bahwa suara di atas 80 desibel cukup untuk membuat pesut kehilangan arah, terlebih di anak-anak sungai yang sempit.
Tak hanya pesut, kapal tongkang berukuran besar juga dinilai membahayakan nelayan dan ekosistem di pinggiran sungai. Menurut RASI, sering kali kapal melintasi tepi sungai yang sebenarnya merupakan habitat pesut dan lokasi keramba warga.
“Banyak keramba rusak, alat tangkap nelayan hancur, bahkan pesut bisa tertabrak kapal. Belum lagi ikan di keramba bisa stres dan mati,” ungkap Danielle.
2. Pemerintah diminta kaji ulang
Secara regulasi, aktivitas tongkang besar di anak sungai juga bermasalah. Berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 52 Tahun 2012, kapal besar hanya boleh melintasi sungai dengan lebar minimal 250 meter. Padahal banyak anak sungai di Mahakam tak memenuhi syarat itu.
RASI mendesak agar pemerintah mempertimbangkan alternatif jalur darat, seperti jalan hauling, yang lebih aman bagi lingkungan. Mereka menilai pembangunan ekonomi tak seharusnya mengorbankan spesies yang sudah hampir punah.
Sikap kritis juga datang dari Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Kaltim. Windy Pranata dari Divisi Advokasi JATAM menyebut bahwa wacana seperti ini tak boleh diputuskan sepihak tanpa partisipasi masyarakat.
“Ini bukan soal jalur angkutan saja, tapi soal transparansi dan partisipasi. Masyarakat yang hidup dari sungai harus didengar,” ujar Windy.
Ia juga mengingatkan bahwa sejak Jembatan Mahakam diresmikan, setidaknya ada 23 insiden tabrakan tongkang. Jika aktivitas tongkang terus meningkat, nelayan dan petambak yang hidup di sepanjang sungai akan semakin terancam.
3. Gubernur: Jalan rusak, sungai jadi solusi
Wacana pengalihan jalur disampaikan langsung oleh Gubernur Kaltim Rudy Mas’ud dalam pertemuan dengan pelaku tambang dan migas di Jakarta. Menurutnya, jalan nasional tak lagi mampu menanggung beban kendaraan tambang yang bisa mencapai 60 ton.
“Kalau bisa, seluruh angkutan alat berat lewat jalur sungai atau laut. Supaya tidak merusak jalan nasional maupun provinsi,” kata Rudy.
Rudy mengklaim sudah berkoordinasi dengan Kapolda Kaltim untuk menghentikan penggunaan jalan umum oleh truk tambang. Ia juga menyebut Sungai Mahakam sebagai jalur potensial karena berstatus jalur nasional.
Wacana gubernur ini mendapat dukungan dari Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Kaltim. Ketua MTI, Tiopan H.M. Gultom, menilai bahwa jalur sungai jauh lebih efisien secara logistik.
“Satu tongkang bisa muat hingga 4.000 ton. Bandingkan dengan truk yang hanya sekitar 20 ton,” jelas Gultom, Jumat (27/6).
Namun, ia juga mengingatkan bahwa dampak lingkungan harus dikaji serius, termasuk risiko abrasi, gangguan terhadap masyarakat, dan potensi kerusakan ekosistem.
“Harus dihitung secara teknis. Ukuran tongkang, kedalaman sungai, dampak ke keramba warga—semua itu penting. Biaya kajian mungkin Rp2–5 miliar, tapi lebih murah daripada kerugian jalan rusak yang bisa capai Rp2 triliun per tahun,” tegasnya.