Ilustrasi pelajar SMA. (Dok. Kemendikdasmen)
Seperti biasa, wacana perubahan kebijakan pendidikan kembali mengaduk pro-kontra di tengah ruang kelas. Dari guru hingga siswa SMA di berbagai penjuru negeri, suara-suara mengambang antara mendukung dan mencibir soal rencana pemerintah mengembalikan sistem penjurusan di sekolah menengah.
Di Balikpapan, Kepala SMA Negeri 1, Daliya, memilih menahan komentar. Ia menegaskan, sekolahnya masih berpegang pada pedoman yang berlaku, sembari menunggu keputusan resmi dari pemerintah pusat.
“Sampai hari ini, kami tetap menerapkan Kurikulum Merdeka," ujarnya.
Kurikulum Merdeka memberi ruang lebih lebar bagi siswa untuk memilih mata pelajaran sesuai minat dan bakat. Kebijakan ini dinilai selaras dengan kebutuhan zaman dan karakter generasi muda. Apalagi, pemerintah menargetkan kurikulum anyar itu diterapkan penuh pada tahun ajaran 2025/2026.
Namun, bukan berarti perjalanan Kurikulum Merdeka berjalan tanpa aral. Daliya mengaku, ketidaksiapan sumber daya manusia, terutama guru, menjadi tantangan utama.
Cerita serupa datang dari Medan. Lili Sartika, guru SMA Negeri 21 sekaligus Duta Muda Pendidikan Sumatera Utara 2025, merasakan betul peliknya menerapkan Kurikulum Merdeka di ruang kelas. “Tantangan terbesarnya adalah memfasilitasi minat dan bakat siswa yang sangat beragam. Kami harus bisa mendesain pembelajaran yang fleksibel, tapi tetap adil untuk semua,” kata Lili.
Tak hanya itu, Lili juga menyebut rancangan asesmen - alat ukur capaian belajar siswa - ikut jadi soal pelik.
Menurut Lili, perubahan kurikulum memang tak bisa dihindari. Namun, ia mengingatkan, sebaiknya perubahan tak dilakukan terlalu sering.
Fina Rahmiati, Kepala SMAN 1 Banjarbaru, punya pandangan berbeda. Menurutnya, baik Kurikulum Merdeka maupun Kurikulum 2013 sama-sama memuat sistem peminatan, hanya beda cara kemasan.
Fina berpendapat, sistem penjurusan justru membantu sekolah dalam menyusun jadwal dan menyesuaikan distribusi guru. Menurutnya, kebebasan memilih pelajaran dalam Kurikulum Merdeka tak jarang berbenturan dengan realitas di lapangan: jumlah guru yang terbatas.
Meski begitu, Fina menilai sistem penjurusan juga punya sisi positif. Salah satunya, membantu siswa lebih fokus menata langkah sebelum melanjutkan studi ke perguruan tinggi.
“Yang penting, pemerintah jangan hanya melempar kebijakan, tapi juga menyiapkan pelatihan dan pendampingan agar guru siap,” katanya.
Di bangku kelas, suara dari para siswa pun tak kalah lantang. Muhammad Arief Putra Kusuma, siswa kelas 11 SMAN 1 Banjarbaru, termasuk yang menyambut wacana ini dengan kepala dingin. Menurutnya, sistem penjurusan akan membantu siswa menentukan arah studi.
Arief juga menyinggung hal yang tak kalah penting: kualitas pendidikan tak melulu soal kurikulum.
“Kalau sumber daya manusianya belum siap, ganti kurikulum berapa kali pun hasilnya akan sama. Apalagi, masalah stunting juga berpengaruh pada perkembangan intelektual anak,” ujarnya, mengakhiri percakapan.
Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menyatakan langkah itu sebagai manuver mundur. “Menghidupkan lagi penjurusan di SMA? Menurut saya ini jelas kemunduran. Kita malah sibuk ribut soal hal-hal sepele. Bisa-bisa pendidikan kita kembali ke zaman batu,” sindir Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji, Minggu, 20 April 2025.
Bagi Ubaid, dunia pendidikan seharusnya tak lagi berkutat pada pembagian jurusan yang kaku. Menurutnya, di tengah derasnya arus disrupsi dan tantangan global yang multidimensi, debat soal penjurusan justru menunjukkan ketidakpahaman atas kebutuhan riil generasi muda.
Ubaid mengutip hasil survei yang mencatat bahwa 80 persen mahasiswa di Indonesia merasa salah pilih jurusan. Ironisnya, sebagian besar lulusan kampus justru banting setir, bekerja di sektor yang tak sesuai dengan latar belakang akademiknya.