Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Anggota TNI AL, Kelasi Satu Jumran, saat mengikuti sidang perdana pembunuhan jurnalis, Juwita, di Pengadilan Militer Banjarmasin, di Banjarbaru, Senin (5/5/2025). (Hendra Lianor/IDN Times)
Anggota TNI AL, Kelasi Satu Jumran, saat mengikuti sidang perdana pembunuhan jurnalis, Juwita, di Pengadilan Militer Banjarmasin, di Banjarbaru, Senin (5/5/2025). (Hendra Lianor/IDN Times)

Banjarbaru, IDN Times - Keluarga Juwita (23), jurnalis muda asal Banjarbaru yang tewas dibunuh prajurit TNI AL, Kelasi Satu Jumran, menilai vonis penjara seumur hidup yang dijatuhkan majelis hakim Pengadilan Militer I-06 Banjarmasin belum memenuhi rasa keadilan. Mereka mendesak agar pelaku dihukum mati.

Penasihat hukum keluarga korban, Muhamad Pazri, menyayangkan putusan hakim yang hanya menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup. Ia menilai, berdasarkan fakta persidangan, seharusnya majelis hakim bisa memberikan vonis maksimal berupa pidana mati.

“Seharusnya hukuman mati. Hakim sebenarnya bisa menggunakan prinsip ultra petita, yakni menjatuhkan putusan di atas tuntutan oditur. Itu bukan hal baru dalam praktik hukum,” kata Pazri usai sidang di Banjarbaru diberitakan Antara, Senin (16/6/2025).

Pazri menyebut, vonis tersebut belum mencerminkan keadilan bagi keluarga korban, apalagi pelaku adalah aparat negara yang seharusnya memberi perlindungan, bukan menjadi pelaku kejahatan keji.

“Jika aparat negara sendiri pelakunya, maka hukuman mati menjadi efek jera agar tidak semena-mena terhadap warga sipil,” tegasnya.

1. Mencerminkan keadilan bagi keluarga korban

Tim pengacara keluarga korban diwawancarai awak media usai menyaksikan pelimpahan berkas kasus pembunuhan jurnalis Juwita dari Otmil Banjarmasin ke Pengadilan Militer I-06 Banjarmasin, di Banjarbaru, Jumat (25/4/2025). (Hendra/IDN Times).

Selain vonis yang dinilai terlalu ringan, keluarga juga kecewa karena permohonan restitusi senilai Rp287 juta tidak dikabulkan hakim. Padahal, ganti rugi tersebut telah mendapatkan rekomendasi resmi dari LPSK dan Komnas HAM.

Hakim menolak permohonan restitusi dengan alasan terdakwa tidak mampu secara ekonomi dan masih memiliki utang hingga tahun 2028. Namun, menurut Pazri, alasan itu tidak berdasar.

“Jika terdakwa tidak mampu, seharusnya ahli warisnya bisa menggantikan kewajiban pembayaran restitusi. Ini demi keadilan bagi keluarga korban,” ujarnya.

Ia menambahkan bahwa dalam beberapa kasus, tanggung jawab membayar restitusi dapat dialihkan ke keluarga atau pihak yang bertanggung jawab atas pelaku.

2. Dasar hukum vonis putusan terdakwa

Editorial Team

Tonton lebih seru di