Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
WhatsApp-Image-2024-08-13-at-13.23.14.jpeg
Ilustrasi pengangkutan alat berat melalui jalur perairan. (Dok. Istimewa)

Balikpapan, IDN Times – Wacana pengalihan jalur transportasi angkutan alat berat batu bara dari darat ke perairan, yang diinisiasi oleh Gubernur Kalimantan Timur (Kaltim) dalam koordinasinya dengan Kapolda Kaltim, menuai kritik. Sebelumnya, Gubernur Rudy Mas’ud berpendapat bahwa pengalihan ini diperlukan untuk mencegah kerusakan jalan akibat tonase besar serta dianggap lebih efisien dan ekonomis.

Namun, rencana ini mendapat perhatian dari Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Kaltim. Divisi Advokasi dan Database Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Kaltim, Windy Pranata menegaskan bahwa solusi ini tidak bisa diputuskan secara sepihak tanpa melibatkan partisipasi masyarakat. Menurutnya, akar masalahnya jauh lebih kompleks, mencakup seluruh rantai produksi dan distribusi sumber daya alam yang selama ini minim transparansi.

"Permasalahan sebenarnya ada pada produksi hingga distribusi sumber daya alam, seperti batubara dan kayu, yang tidak transparan dan tanpa melibatkan masyarakat secara utuh. Jika ini dianggap solusi, maka masyarakat Kaltim harus dilibatkan, bukan hanya menjadi keputusan sepihak dari Gubernur," tegas Windy dalam keterangannya, Sabtu (28/6/2025).

1. Dinilai cuma pindahkan masalah ke perairan

Truk pengangkut alat berat. (Dok. iStock)

Windy juga menyoroti potensi dampak negatif dari pengalihan jalur ini. Ia menyebutkan, sejak Jembatan Mahakam diresmikan, sudah terjadi 23 insiden tabrakan yang melibatkan tongkang. Jika angkutan alat berat dialihkan ke sungai, dikhawatirkan akan mengganggu aktivitas di perairan dan mengancam mata pencaharian masyarakat yang bergantung pada Sungai Mahakam, seperti para nelayan dan petambak.

"Bisa dibayangkan, setiap sore ada ratusan tongkang batubara parkir di bawah Jembatan Mahkota, mengganggu ruang ekonomi nelayan yang mencari nafkah di Sungai Mahakam," jelasnya. "Solusi ini tidak bisa tiba-tiba muncul dari pemikiran Gubernur Rudy Mas’ud saja. Ini harus melibatkan seluruh masyarakat, terutama mereka yang hidupnya bergantung pada sungai, termasuk nelayan dan petambak yang kerambanya sering ditabrak tongkang," tambahnya.

JATAM Kaltim menilai bahwa usulan ini belum layak direalisasikan. Mereka khawatir bahwa alih-alih menyelesaikan masalah, kebijakan ini justru hanya akan "memindahkan kekacauan" dari darat ke perairan, tanpa menjamin keselamatan masyarakat.

"Solusi ini tidak menjamin keselamatan masyarakat, justru hanya memindahkan kekacauan lalu lintas dari darat ke sungai," terang Windy. "Dikhawatirkan, masalah yang sebelumnya ada di darat akan meluas dan berpindah ke sungai, apalagi jika tidak ada aturan yang mengikat," lanjutnya.

2. Ancam habitat dan ekosistem sungai

Pesut Mahakam "Four" ditemukan mati pada 21 Februari 2024 di Desa Bukit Jering, Muara Kaman, Kukar. (Dok. Istimewa)

Lebih lanjut, ia menyoroti kegagalan pemerintah dalam menindak tegas dan menagih tanggung jawab perusahaan atas kerusakan lingkungan yang telah terjadi. Windy juga mengingatkan bahwa pengalihan jalur ini tidak hanya mengancam aktivitas ekonomi masyarakat, tetapi juga ekosistem sungai, termasuk habitat Pesut Mahakam.

"Jelas berdampak, apalagi masyarakat banyak yang bergantung pada Sungai Mahakam. Intensitas sonar kapal yang tinggi juga akan mengganggu habitat Pesut Mahakam, yang populasinya kini kurang dari 100 ekor dan perlu dilindungi," ujar Windy.

Menurut JATAM, penyelesaian masalah ini membutuhkan kajian yang serius dan mendalam dengan melibatkan semua pihak, mulai dari perusahaan, masyarakat, hingga lembaga terkait. Perlu adanya transparansi terkait produksi, pengawasan, dan mitigasi risiko untuk memastikan solusi yang diambil berdampak positif bagi ekosistem dan ekonomi masyarakat.

"Semua pihak harus dilibatkan, mulai dari akar masalahnya, pengawasan, hingga mitigasinya. Intinya, ini harus dikaji serius. Jangan hanya sekadar wacana untuk memindahkan masalah dari darat ke perairan seolah-olah itu solusi karena jalanan rusak," pungkasnya

3. Akademisi bilang perlu kajian mendalam

Sungai Mahakam, Samarinda, Kaltim (IDN Times/Mela Hapsari)

Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Kalimantan Timur menyambut baik wacana pengangkutan alat berat melalui jalur sungai maupun laut. Menurut MTI, solusi ini dapat secara signifikan mengurangi kerusakan jalan raya yang selama ini diakibatkan oleh truk-truk berat. Namun, mereka menegaskan bahwa implementasi ide ini harus didahului dengan kajian komprehensif dan matang.

Ketua MTI Kaltim, Tiopan H.M. Gultom, menjelaskan bahwa penggunaan tongkang di sungai jauh lebih efisien dibandingkan truk darat. "Satu tongkang berkapasitas 3.000–4.000 ton, jauh lebih hemat dibanding truk yang hanya mengangkut 20–22 ton per rit. Ini bukan hanya mengurangi kerusakan jalan, tapi juga lebih ekonomis untuk skala besar," ujar Gultom dihubungi dari Balikpapan.

Meskipun mendukung, MTI menyoroti beberapa aspek penting yang harus menjadi perhatian dalam kajian tersebut. Mulai dari kedalaman alur sungai. Ini, kata Gultom, untuk memastikan jalur sungai cukup dalam agar tidak mengganggu ekosistem.

Selanjutnya adalah permasalahan abrasi dan gelombang. "Harus dipikirkan juga ukuran tongkangnya supaya tidak menimbulkan kerusakan pinggir sungai dan keramba ikan milik warga," ujar dia.

Kemudian adalah soal sistem navigasi. Ini untuk memastikan keselamatan pelayaran dengan sistem navigasi yang memadai untuk menghindari kecelakaan.

"Sungai Mahakam mungkin menjadi pilihan utama karena statusnya sebagai jalur nasional. Namun, kita harus memastikan kedalamannya memadai," tambah Gultom.

Editorial Team