Ilustrasi Tambang (IDN Times/Aditya Pratama)
Sementara itu, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim menilai, praktik jual beli lahan desa ini sudah lazim dilakukan masyarakat kelompok pedesaan setempat. Di mana perusahaan besar mengaburkan persoalan dengan masyarakat desa lewat penyelesaian materi.
"Persoalan seperti itu bukan hanya terjadi di Desa Long Pejeng, tapi masih banyak di tempat-tempat lain di Kaltim," kata Dinamisator Jatam Kaltim Mareta Sari saat dihubungi.
Mareta mengatakan, pihak perusahaan sebenarnya pemegang izin konsesi pertambangan dikeluarkan Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM). Dalam praktik di lapangan, izin pertambangan terkadang tumpang tindih dengan hutan adat maupun tanah adat milik masyarakat setempat.
Perusahaan pun akhirnya "mengambil hati" masyarakat lewat strategi jual beli tanah desa.
"Sehingga kalau ada konflik di masa depan, perusahaan akan beralasan sudah memberikan ganti rugi pembebasan lahan kepada masyarakat," ungkap Mareta.
Menurut Mareta, masyarakat desa tidak paham dampak negatif kerusakan lingkungan. Terutama adanya aktivitas tambang batu bara dan perkebunan kelapa sawit di wilayah mereka.
Pantauan Jatam Kaltim wilayah tersebut memang terjadi tumpang tindih izin kawasan perkebunan kelapa sawit, pertambangan batu bara, dan masyarakat Desa Long Pejeng.