Revisi UU Minerba Dianggap Menambah Polemik Aktivitas Pertambangan

Dua warga dan dua lembaga ajukan Judicial Review

Balikpapan, IDN Times - DPR RI mengesahkan revisi Undang-Undang Minerba pada bulan Mei 2020 lalu. Pengesahan undang-undang ini langsung memperoleh penolakan dari aktivis dan masyarakat di  lingkar industri pertambangan batu bara. 

Dalam praktiknya, warga yang berada di sekitar tambang dan PLTU batu bara menjadi korban pertama terdampak pemberlakuannya.   

Mereka pun menggelar sidang rakyat dihadiri warga sekitar tambang, akademisi, dan tokoh masyarakat pada 2020 lalu. Kesimpulannya, UU Minerba dianggap produk gagal.  

Perlawanan dilakukan dengan mengajukan uji materi judicial review UU Minerba ke Mahkamah Konstitusi. 

1. Beber Pasal yang dianggap merugikan dan bermasalah

Revisi UU Minerba Dianggap Menambah Polemik Aktivitas PertambanganPenasihat Hukum LBH Bandung, Lasma Natalia (Tangkapan Layar Youtube YLBHI)

Tepat di hari ulang tahun Presiden Joko Widodo ke-60, 21 Juni 2021 ini, mereka yang mengatasnamakan diri sebagai Gerakan #BersihkanIndonesia telah menyampaikan permohonan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi. Ada 9 pasal dalam UU Minerba No. 3 tahun 2020 tentang Perubahan UU Minerba No. 4 tahun 2009 yang dianggap bermasalah. 

Penasihat Hukum LBH Bandung, Lasma Natalia mengungkapkan, sejumlah problem tambang terjadi, ada di Sumatra, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, hingga Papua. Saat UU diterbitkan, ada penolakan cukup besar dari masyarakat di berbagai wilayah Indonesia. Problem ini, hingga setahun berjalan, belum juga selesai. 

"UU Minerba akan dijadikan legitimasi untuk memperlancar kegiatan pertambangan yang bisa berakibat kerusakan alam dan lingkungan. Bahkan bisa merusak kehidupan masyarakat itu sendiri," ungkapnya dalam kegiatan press conference "Rakyat Ajukan JR UU Minerba yang dilaksanakan secara virtual, Senin (21/6/21). 

Dalam hal ini, sebenarnya Presiden Joko Widodo memiliki kewenangan untuk executive review, apakah mau mencabut atau tidak UU ini. Walau sebenarnya kewenangan tersebut bisa saja dilakukan sejak tahun lalu. 

"Tidak ikut mengesahkan UU ini. Tapi kalau pun tidak dilakukan, mungkin presiden paling tidak, tidak mengintervensi proses judicial review yang berjalan. Karena jangan sampai, setelah masyarakat sudah melakukan prosedural hukum malah ada penekanan dari eksekutif dan legislatif," terangnya. 

Dalam pengajuan uji materiil JR ini ada beberapa pasal yang jadi sorotan. Pada umumnya ada empat kelompok besar. Pertama pasal terkait perpindahan kewenangan daerah pada pusat. 

"Menurut kami jika kewenangan ini berpindah dapat menghambat akses masyarakat. Khususnya di daerah yang berhadapan langsung dengan kegiatan pertambangan," beber Lasma Natalia.

Kemudian terkait jaminan undang-undang, bahwa satu wilayah yang sudah ditentukan sebagai wilayah pertambangan dijamin untuk terus menjadi wilayah pertambangan.

"Padahal kita tahu, satu wilayah pasti mengalami perubahan setelah digunakan sebagai pertambangan. Apalagi akan ada kerusakan. Jika ada jaminan itu tidak memperhatikan prinsip lingkungan hidup yang baik," urainya. 

Ketiga, pasal pidana terus-menerus digunakan untuk kriminalisasi warga yang melakukan penolakan terhadap kegiatan pertambangan. Ia menyebut, ada warga yang sebagai pemohon, atau lainnya yang menjadi terlapor atau dikriminalisasi menggunakan pasal ini. 

"Terakhir jaminan otomatis kontrak karya dan PKP2B tanpa proses evaluasi. Negara malah memberikan jaminan supaya KK dan PKB2B berlanjut. Tanpa evaluasi. Padahal dievaluasi tersebut harusnya ada ruang, di mana masyarakat bisa memberikan aspirasi dan kerugian yang dialami.," kelasnya. 

Dengan adanya pemberian jaminan, apa pun komplain atau dampak malah tidak jadi pertimbangan. Dan kegiatan pertambangan ini tetap dilakukan. "Ini empat cakupan besar dari permohonan judicial review UU Minerba," bebernya. 

Baca Juga: Awas! Hanya Sepekan Lebih Ratusan Kasus COVID-19 di Kaltim Bertambah

2. Revisi UU Minerba jadi akses pengusaha tambang mengeruk tanah masyarakat

Revisi UU Minerba Dianggap Menambah Polemik Aktivitas PertambanganBidang Advokasi YLBHI Muhammad Isnur (Tangkapan Layar Youtube YLBHI)

Sementara, Bidang Advokasi YLBHI Muhammad Isnur mengatakan, UU Minerba malah jadi gambaran oligarki yang telah menguasai kebijakan negara. Pengesahan di tengah rakyat dicekik krisis dan pandemi, batas antara penguasa dan pengusaha dalam proses lahirnya perundang-undangan semakin kabur yang justru terlihat menyatu oleh kepentingan bisnis.

"Negara memberi akses untuk pengusaha-pengusaha besar mengeruk rumah dan tanahnya, sumber penghidupannya untuk kepentingan korporasi di bidang tambang. Masyarakat cuma bisa melongo. Kok bisa negara memfasilitasi seperti itu. Padahal UU Dasar menjamin sumber daya alam harus dikelola berwawasan lingkungan hidup, berkeadilan. Bukan kepentingan kekuasaan," ungkapnya. 

Dirinya mempertanyakan perbedaannya dengan di masa penjajahan. Di mana penjajah mengeruk sumber daya alam. Kita orang terjajah cuma bisa melongo. "Kami berharap MK berani memutus untuk mengabulkan permohonan rakyat sebagaimana putusan-putusan sebelumnya terkait sumber daya alam,” kata Isnur. 

Ia mengatakan, pihaknya dalam hal ini menunjukkan pada masyarakat bahwasanya mereka berjuang. Bagaimana pun hasilnya, yang terpenting secara legal dan formal telah dilakukan dengan baik. "Eksekutif sudah selesai. Bisa dilihat Presiden memberikan karpet merah untuk oligarki seluas-luasnya. Kedua DPR yang membuat undang-undang juga sudah dikuasai," tegasnya. 

Benteng terakhir, lanjutnya adalah yudikatif. Jika setelah pengajuan ini ternyata masih sama, menurut dia, masyarakat bisa memberikan penilaian terhadap 3 pilar negara atau kekuasaan ini. 

"Sebenarnya kami hanya bisa menegur karena prinsip konstitusi mereka sudah paham. Bahkan banyak putusan MK yang sudah klir, harusnya mereka membatalkan UU Minerba ini," ujarnya. 

Menurutnya permohonan ini benar-benar disiapkan dengan matang. Melalui pertimbangan ahli, dan semua sisi telah diperhatikan. "Tapi tidak tau MK nanti seperti apa. Ini tergantung nurani," katanya. 

3. Ada 1.404 izin pertambangan dan 30 PKP2B telah diberikan pemerintah di Kaltim

Revisi UU Minerba Dianggap Menambah Polemik Aktivitas PertambanganPetugas BPBD Paser saat mengangkat salah satu korban meninggal di danau yang diduga bekas tambang di Desa Krayan Makmur, Kecamatan Long Ikis, Kabupaten Paser pada 6 September 2020 (Dok. BPBD Paser/Istimewa)

Sementara, JATAM Kalimantan Timur (Kaltim), Pradarma Rupang yang juga penggugat mengungkapkan, operasi pertambangan di Kaltim telah mengambil alih mayoritas ruang hidup masyarakat adat, petani, dan nelayan. Telah mengambil sekitar 40 persen luas daratan di Kaltim. 

Tak hanya persawahan dan hutan adat masyarakat, bahkan sudah menghancurkan sungai Mahakam yang jadi peradaban di 3 daerah Kaltim. Termasuk Muara Jawa dan Muara Berau yang jadi wilayah tangkapan masyarakat tradisional. 

"Dua wilayah ini di Kabupaten Kutai Kartanegara. Secara kolosal penghancuran terjadi dari hulu hingga hilir di Kaltim. Ini berlangsung selama 24 jam. Siang dan malam penjarahan jutaan ton tiap bulannya. Bukan hanya merampas lahan masyarakat adat dan petani, tapi juga memakan nyawa 39 anak di Kaltim," urainya. 

Operasi pertambangan di Kaltim hingga kini ada 1.404 izin pertambangan yang telah diberikan oleh pemerintah. Belum juga termasuk 30 PKP2B atau izin oleh kementerian ESDM melalui Dirjen Minerba. Ini berlangsung lebih dari tiga dekade. 

"Kematian yang tadi saya sebutkan, yakni nyawa anak-anak yang direngut, temuan kami sejak 2011 sampai 2020. Namun sebenarnya kami meyakini angkanya lebih besar. Karena ada juga wilayah yang tidak bisa dijangkau oleh media. Yakni area pelosok yang telah terjadi pembongkaran batu bara," ungkapnya. 

4. Kebijakan moratorium terancam dengan UU Minerba No 3 tahun 2020

Revisi UU Minerba Dianggap Menambah Polemik Aktivitas PertambanganIlustrasi pertambangan batu bara (IDN Times/Yuda Almerio)

Menurut Pradarma Rupang poin mendasar yang menjadi alasan penolakan terhadap UU Minerba yakni pemusatan kewenangan yang mengancam kebijakan moratorium perizinan. Padahal sebenarnya moratorium ini adalah langkah progresif. Upaya membendung laju krisis. 

"Tapi perizinan diambil alih oleh pusat, Kaltim akan diperlakukan tidak ubahnya seperti toilet. Kerusakan bisa makin terjadi di daerah. Juga terkait perpanjangan otomatis akan menjauhkan kontrol rakyat atas kebijakan yang membunuh ruang hidup," katanya. 

Jatam Kaltim, pada September 2020 telah mengajukan permintaan pada pemerintah pusat, dalam hal ini kementerian. Untuk membuka data lima PKP2B agar masyarakat sekitar tambang bisa mengetahui sejauh apa izin tersebut. Sejauh apa kewenangan dan kewajiban yang mereka berikan terhadap masyarakat Kaltim. 

Namun jawaban menteri ESDM, 30 hari setelah surat itu, justru menolak permohonan keterbukaan informasi. "Menyatakan bahwa informasi ini dirahasiakan. Ini merugikan kepentingan masyarakat. Di mana masyarakat diracun, dirampas tanahnya, diganggu ruang hidupnya. Tidak bisa mendapatkan akses informasi sepenuhnya," jelasnya. 

6. Pengajuan uji materi oleh dua warga sipil korban intimidasi

Revisi UU Minerba Dianggap Menambah Polemik Aktivitas PertambanganPetani Desa Sumberagung, Banyuwangi, Jawa Timur, Nurul Aini (Tangkapan Layar Youtube YLBHI)

Untuk diketahui, uji materil ini diajukan dua warga dan dua lembaga masyarakat sipil yakni WALHI Nasional dan JATAM Kaltim. Dua warga tersebut adalah Nurul Aini (46), petani dari Desa Sumberagung, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Juga Yaman, pemuda nelayan Desa Matras, Kabupaten Sungailiat, Provinsi Bangka Belitung. 

Mereka adalah korban intimidasi dan represi aparat keamanan saat bersama warga desanya berjuang melindungi sumber kehidupannya dari dampak kehancuran pertambangan. 

“UU Minerba ini hanya melindungi tambang. Kalau UU itu dihapuskan, masyarakat aman. Perusahaan tidak bisa kriminalisasi warga lagi,” kata Nurul Aini atau dikenal dengan Bu Paini.

Sementara bagi Yaman, nelayan di Bangka Belitung, setelah UU Minerba yang baru ini disahkan, hak asasinya sebagai warga negara justru semakin ditindas. Aksi protes damai yang dilakukan bersama nelayan lainnya untuk melindungi wilayah tangkap ikan agar tidak dirusak oleh pertambangan justru berakhir kriminalisasi. 

Ia menerima surat panggilan dari kepolisian yang menggunakan pasal 162 UU Minerba No 3 tahun 2020. Protes damai dianggap merintangi usaha pertambangan. 

“UU Minerba ini membatasi ruang gerak nelayan untuk menolak dan menghalangi aktivitas pertambangan di sini. UU Minerba membuat kami tak bisa cari makan di tanah lahir kami sendiri,” kata Yaman. 

Baca Juga: Tren Pandemik COVID-19 di Kaltim Cenderung Naik

Topik:

  • Sri Wibisono

Berita Terkini Lainnya