Kejanggalan dan Fakta Kasus Pemerkosaan Mahasiswi ULM

Tuntutan JPU dan putusan hakim dinilai terlalu ringan

Balikpapan, IDN Times – Kasus pemerkosaan terhadap seorang mahasiswi dari Universitas Lambung Mangkurat (ULM) berinisial VDPS kini menjadi sorotan publik. Kasus ini mencuat setelah korban memberanikan diri membuka melalui media sosial.

VDPS menjadi korban pemerkosaan oleh seorang anggota polisi dari Polresta Banjarmasin bernama Bripka Bayu Tamtomo. Peristiwa nahas itu dialami VDPS ketika menjalani proses magang di instansi tersebut.

Terbaru, kuasa hukum VDPS, Muhammad Pazri SH, MH pun mengeluarkan pernyataan rilisnya. Di mana Direktur dari Borneo Law Firm itu mendesak banyak pihak, baik yang ada di daerah maupun pusat agar kembali mengusut proses peradilan terhadap korban. Sesuai dengan rincian dugaan yang telah dia paparkan dalam siaran persnya.

1. Fakta dan kejanggalan dalam proses kasus

Kejanggalan dan Fakta Kasus Pemerkosaan Mahasiswi ULM(IDN Times/dok Dr M.Pazri, Borneo Law Firm)

Dari hasil interview Pazri kepada korban, kronologi kasus ini pun dipaparkan dalam 77 poin dengan 20 poin bukti dan fakta di dalamnya. Yang mana pihaknya menyoroti Pasal yang menjerat tersangka Batu Tamtomo dengan ancaman hukuman ringan.

Menurut Pazri, Seharusnya Bayu dijerat dengan Pasal 285 KUHP yang ancaman pidananya paling lama 12 tahun. Hal ini disebabkan karena sedari awal pelaku sudah berencana dan berniat jahat kepada korban.

Selain itu, tuntutan JPU (Jaksa Penuntut Umum) hanya tiga tahun enam bulan. Di mana setengah masa hukuman yaitu tujuh tahun pada Pasal 286 yang semestinya dapat dijeratkan kepada tersangka. Kemudian diputus oleh hakim hanya dua tahun enam bulan.             

“Korban beberapa kali mendapat surat dan dimintai tanda tangan perdamaian berisi pencabutan laporan dan permintaan maaf  dari istri BT atas kasus ini,” tulisnya dalam rilis tersebut.

Beberapa fakta lainnya, pihak Polda Kalsel sebelumnya menyatakan telah memecat tersangka Bayu. Namun pada kenyataannya, tersangka Bayu sempat mengajukan banding sidang kode etiknya pada 2 Desember 2021. Pihak Propam sendiri baru memberikan informasi surat pemerhentian tidak dengan hormat tersangka Bayu kepada korban pada 27 Januari 2022, setelah pernyataan korban viral di media sosial.

Baca Juga: Daftar Rumah Sakit di Balikpapan

2. Identitas korban tak dirahasiakan

Kejanggalan dan Fakta Kasus Pemerkosaan Mahasiswi ULMIlustrasi kekerasan pada perempuan. (IDN Times/Aditya Pratama)

Sebagaimana dalam Pasal 5 Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014, tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, salah satu poinnya ialah identitas korban maupun saksi harus ditutupi. Namun dalam kasus mahasiswi VDPS, nama, alamat, perkara yang tertera pada website Pengadilan Negeri (PN) Banjarmasin justru sempat tak ditutupi.

Hal ini diungkap oleh salah satu akademisi hukum Daddy Fahmanadie, SH LL.M. Saat pihaknya mencoba menelusuri mengenai kasus VDPS setelah viral kemarin ditemukan jika identitas VDPS sama sekali tak disamarkan.

Kemudian kejanggalan yang didapatkan pihaknya, jika tahap putusan berjalan seharusnya di sistem informasi PN Banjarmasin sudah ada putusan tersebut ditayangkan.

“Tetapi itu tidak ada sama sekali, padahal kasus itu diputuskan pada 11 Januari 2022. Korban saja baru mengetahui putusan itu tanggal 23 Januari,” terangnya.                          

Melihat banyaknya kejanggalan itu, dia bersama 32 masyarakat sipil yang mewakili organisasi masing-masing turut mengawal kasus hingga adanya langkah pengajuan kembali (PK) kasus.

3. Dugaan terdakwa ingin menyelamatkan karirnya

Kejanggalan dan Fakta Kasus Pemerkosaan Mahasiswi ULMAkademisi Hukum Daddy Fahmanadie, SH LL.M.

Saat disinggung mengenai putusan hakim kepada Bripka Bayu Tamtomo yang terkesan ingin menyelamatkan karirnya di instansi kepolisian, Daddy tak menampik hal tersebut. Namun, kata dia, hal itu juga masih menjadi dugaan saja. Bisa juga tidak.

Tetapi pada kasus ini, kata Daddy, memang perlu adanya pemeriksaan kepada banyak pihak sesuai dengan arahan penasihat hukum korban. Salah satu yang dia soroti adalah tak adanya pendampingan hukum pada korban selama proses peradilan berjalan. Meski ada dinas terkait turun tangan, namun dinas itu hanya memfasilitasi korban dalam pendampingan psikologi saja.

“Kami bahkan telah bersurat kepada DPR RI komisi III agar kasus ini bisa menjadi perhatian dapat diselesaikan sebagaimana mestinya, pun akan kami kawal sampai selesai,” tuturnya.

Dalam putusan hakim, terdakwa Bripka Bayu mendapat vonis tingkat pertama selama 2 tahun 6 bulan. Kemudian pada Sabtu (29/1/2022) pagi, Bripka Bayu Tamtomo telah menjalani sidang kode etik pemberhentian dengan tidak hormat (PTDH).

Baca Juga: Sejarah Jembatan Mahakam Balikpapan di Kalimantan Timur

Topik:

  • Linggauni

Berita Terkini Lainnya