Aktivis Lingkungan Protes, Limbah Batu Bara Dianggap Bukan Limbah B3 

Limbah fly ash dan bottom ash berpotensi sebabkan kanker

Balikpapan, IDN Times - Koalisi lingkungan memprotes penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Isi aturan pemerintah ini menghapus limbah batu bara dalam daftar bahan beracun berbahaya (B3).

Aturan secara otomatis merevisi PP Nomor 101 Tahun 2014 di mana sebelumnya sudah memasukkan limbah batu bara dalam daftar limbah B3 sesuai ketentuan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Limbah batu bara biasa disebut fly ash dan bottom ash (FABA).

“Limbah batu bara atau FABA sangat berbahaya bagi manusia dan lingkungan hidup,” kata Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Nasional Merah Johansyah dalam diskusi daring Network Bersihkan Indonesia, Jumat (12/3/2021).

1. Jatam pertanyakan penindakan kasus pencemaran limbah FABA di masyarakat

Aktivis Lingkungan Protes, Limbah Batu Bara Dianggap Bukan Limbah B3 Dinamisator Jatam Nasional Merah Johansyah, Jumat (12/3/2021). (IDN Times/Sri.Wibisono)

Merah mempertanyakan tentang bagaimana nantinya menindak pelaku pencemaran limbah FABA terjadi di masyarakat. Sebelumnya saat PP Nomor 101 Tahun 2014 berlaku, menurutnya, negara sudah gagal melindungi warga dari bahaya pencemaran limbah FABA.

KLHK tidak secara tegas menindak perusahaan yang terbukti gagal dalam pengelolaan limbah FABA. Apalagi nanti saat aturan baru FABA keluar dari daftar limbah B3.

Merah mencontohkan pemberian sanksi terhadap PLTU Panau di Palu Sulawesi Tengah (Sulteng) dalam pengelolaan FABA. Kementerian lingkungan hanya memasang papan teguran bagi perusahaan bersangkutan dalam pencemaran lingkungan.

“Pihak KLHK ini menjadi tertawaan bagi warga saja, papan tegurannya sudah akan roboh dan tidak ada yang perduli,” ungkapnya.

Demikian pula laporan masyarakat Santan Tengah dan Santan Ilir Kutai Kartanegara (Kukar) Kalimantan Timur terhadap PLTU Indiminco Mandiri. Warga menyoal pengelolaan serampangan limbah FABA milik pembangkit listrik berdaya 2 x 7 MW ini ke Polisi. Limbah batu bara hanya ditumpuk tanpa ada pengelolaan.

Partikel debunya mencemari perkampungan masyarakat yang berjaraknya 500 meter dari lokasi PLTU.  

“Tidak ada sama sekali tindakan tegas dalam pengelolaan serampangan FABA ini. Apalagi nanti saat mereka memang tidak dianggap B3 lagi,” sesalnya.

Baca Juga: Kasus Ijazah Wali Kota Balikpapan Terpilih, Rektor Untri Dipolisikan

2. Dampak negative FABA bagi Kesehatan manusia

Aktivis Lingkungan Protes, Limbah Batu Bara Dianggap Bukan Limbah B3 Kerusakan lingkungan di Kutai Kartanegara Kaltim. (IDN Times/Jatam)

Merah memastikan, limbah FABA sangat mengancam kesehatan manusia. Dalam kasus PLTU Panau di Palu, Jatam mencatatkan sebanyak 14 orang di lokasi PLTU dilaporkan meninggal dunia dengan keluhan kanker kelenjar getah bening, kanker nasofaring, paru-paru hitam, hingga ISPA.

Kondisi hampir sama pun dialami masyarakat bermukim di area PLTU Indominco Mandiri Kukar. Limbah FABA PLTU mencemari udara dan air sungai sudah menjadi penghidupan masyarakat.

Selain itu, limbah FABA juga mengancam keberlangsungan keanekaragaman hayati sekitar area PLTU. Musim hujan, limbah merembes dan mencemari lingkungan sungai dan membunuh ikan-ikan di dalamnya.  

3. Asosiasi tambang menekan pemerintah menerbitkan PP Nomor 22 Tahun 2021

Aktivis Lingkungan Protes, Limbah Batu Bara Dianggap Bukan Limbah B3 Tambang di Kutai Kartanegara Kaltim. (IDN Times/Jatam)

Sementara itu, periset dari Trend Asia Andri Prasetyo menduga, penerbitan PP Nomor 22 Tahun 2021 merupakan pesanan dari pengusaha maupun asosiasi batu bara di Indonesia. Semenjak awal, menurutnya sudah dilakukan paket kebijakan besar dalam pemberian stimulus bagi sector industri pertambangan batu bara.

“Terpola dari revisi UU Minerba, upaya hilirisasi batu bara, dan terbaru limbah baru keluar dari daftar B3,” ungkapnya.

Khususnya soal aturan limbah baru limbah batu bara ini, kata Andri, pihak pembangkit batu bara yang paling signifikan menerima keuntungan. Sehingga dalam persaingan bisnis, mereka punya peluang menekan biaya pengolahan limbah FABA.

Apalagi trend global saat ini, nilai jual energi listrik batu bara sudah kalah bersaing dengan energi baru terbarukan.   

“Nilai jual energi listri batu bara sekitar Rp1.120 per kwh sedangkan energi surya hanya Rp812 per kwh,” paparnya.  Sehingga mereka lantas berupaya mengintervensi regulasi guna menekan biaya produksi.

Sebelumnya, perusahaan batu bara juga sudah menekan biaya produksi dengan mengabaikan kewajiban pelaksanaan  reklamasi dan pasca tambang.  

Lebih lanjut, Andri mengungkapkan, kebijakan pemerintah ini merupakan preseden buruk dalam proses transisi dari energi tambang menuju energi baru terbarukan. Publik menjadi sadar bahwa energi baru terbarukan bukan menjadi pilihan utama energi di masa mendatang.

4. Kesaksian warga pengelolaan FABA di Sumatra

Aktivis Lingkungan Protes, Limbah Batu Bara Dianggap Bukan Limbah B3 Penggiat Tapak Sumatra Ali Akbar, Jumat (12/3/2021). (IDN Times/Sri.Wibisono)

Penggiat lingkungan Tapak Sumatra, Ali Akbar mengaku kecewa dengan penerbitan aturan baru soal limbah batu bara ini. Selama tiga tahun terakhir, mereka sudah kerja keras mendorong pembangkit batu bara agar mengindahkan kewajiban pengelolaan limbah FABA.

“Kami sudah kerja keras selama 3 tahun agar pembangkit mematuhi dalam pengelolaan FABA dengan baik,” keluhnya.

Ali mengatakan, mayoritas pembangkit listrik tenaga batu bara di Sumatra tidak pernah mematuhi kewajiban pengelolaan FABA. Perusahaan serampangan dalam mengelola limbah ini sehingga mencemari lingkungan sekitar.

“Hampir seluruhnya tidak mengelola dengan baik, dari Aceh hingga Jambi,” paparnya.

Berkat kerja keras Tapak dan masyarakat, menurut Ali, pihak pembangkit mulai menerapkan pengelolaan FABA sesuai ketentuan PP Nomor 101 Tahun 2014. Namun semua usaha ini akan sia-sia menyusul  penerbitan revisi aturan tentang pengelolaan FABA ini.

“Tidak yakin lagi kalau ada aturan baru ini,” tuturnya.

5. Kesaksian warga di lokasi penampungan limbah batu bara di Suralaya Banten

Aktivis Lingkungan Protes, Limbah Batu Bara Dianggap Bukan Limbah B3 Warga Suralaya Banten, Edi soal penampungan limbah batu bara, Jumat (12/3/2021). (IDN Times/Sri.Wibisono)

Seorang warga Suralaya Banten menyampaikan kesaksian tentang bahaya limbah batu bara bagi Kesehatan manusia. Lokasi tempat tinggalnya memang berdekatan dengan lokasi penampungan limbah batu bara di Banten seluas 14 hektare.  

“Adik ipar meninggal dengan kondisi paru-paru menghitam dan anak bungsu saya juga mengalami masalah paru-paru,” ungkap Edi Warga Suralaya.

Edi mengatakan, tidak ada perlakuan khusus dalam pengelolaan limbah batu bara di Suralaya. Mereka menempatkan limbah batu bara ini tanpa ada pembatas dengan lingkungan sekitar.

“Penampungan limbah ini sudah ada di sana sejak 35 tahun lalu,” paparnya.

Sehingga selama bertahun-tahun, Edi menyebut, kampung Suralaya sudah kerap mengalami hujan abu partikel limbah batu bara ini. Keluhan dan protes mereka tidak pernah digubris pihak pengelola penampungan limbah.

“Baru-baru ini aja mereka memasang area penampungan limbah. Sebelumnya sejak tahun 1985 terbuka begitu saja,” sebutnya.

Masyarakat Suralaya bahkan sudah pasrah dalam memperjuangkan nasibnya melawan limbah FABA. Mereka makin kecewa dengan penerbitan PP Nomor 22 Tahun 2021 yang menghapus limbah batu bara dari daftar B3.

“Kami sudah mengalami sehingga tahu bagaimana limbah ini bagi Kesehatan,” ujarnya.

Baca Juga: Kasus Rahmad Mas’ud akan Dilimpahkan ke Polresta Balikpapan

Topik:

  • Sri Wibisono

Berita Terkini Lainnya