Mural, Suara dari Kaum Pinggiran yang Senyap Terdengar 

Melawan aksi represif aparat di daerah

Balikpapan, IDN Times - Lukisan mural di tembok Kecamatan Bangil Kabupaten Pasuruan Jawa Timur (Jatim) itu tak berumur panjang. Gambar sepasang kucing kekinian yang jemarinya menggamit sebatang rokok serta minuman soda itu sudah tertutup baluran cat lain warna cokelat muda. 

Samar-samar masih terlihat bayang-bayang lukisan mural yang di atasnya tertulis ‘Dipaksa Sehat di Negara yang Sakit’.

Satuan Polisi (Satpol) Pramong Praja Pasuruan ternyata yang menghapus mural karya seniman tak diketahui identitasnya ini, Minggu (15/8/2021). 

Nasibnya persis sama dialami para seniman mural di Tangerang, Yogyakarta, hingga Banjarmasin sejak Juli lalu.  Karya-karya mural mereka sudah tinggal kenangan, berjudul  ‘Tuhan Aku Lapar’, ‘404: Not Found’, ‘Dibungkam’, dan ‘Wabah Sebenarnya Adalah Kelaparan’.

Lukisan pesan sosial ini mengkritisi kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) di masa pandemik COVID-19. Alih-alih menjadikan masyarakat sehat sebaliknya  menyulut masalah baru di sektor ekonomi.

1. Kasus pembungkaman mural di Yogyakarta

Mural, Suara dari Kaum Pinggiran yang Senyap Terdengar Mural bertuliskan "Dibungkam" di Jembatan Kewek, Kota Yogyakarta dihapus. (IDN Times/Tunggul Damarjati)

Berselang sepekan setelah kasus di Pasuruan, penghapusan mural terjadi di Yogyakarta. Lukisan mural 'Dibungkam' di dinding tembok Jembatan Kleringan Kewek Danurejan Kota Yogyakarta hilang dari peredaran.

Setelah itu, giliran mural bertulis 'Bangkit Melawan atau Tunduk Ditindas' di lokasi sama pun jadi sasaran Satpol PP. 

Akun Instagram @yogya_streetart_studio pertama kali mengungkap penghapusan mural tersebut dalam unggahan. 

"Karya Mural dan Graffiti dengan Kata Di Bungkam, dilindas pagi ini oleh penguasa, karena kata Bungkam di tembok ini belum berumur 24 jam sudah membuat pemerintah makin panik! Bah..... Ini bentuk pengendalian dan memperhangus kesenian yang mengeritik pemerintahan," tulis akun tersebut disertai kolase foto.

Seorang seniman dengan nama jalanan Bamsuck mengaku sebagai pembuat dua mural menghebohkan warga Yogyakarta ini. Pria berusia 27 tahun itu membuat mural 'Dibungkam' dan 'Bangkit Melawan atau Tunduk Ditindas' hampir bersamaan bersama empat temannya pertengahan Agustus lalu. 

Khusus mural 'Bangkit Melawan atau Tunduk Ditindas' dibuatnya sendirian. 

Dalam kesempatan itu, Bamsuck mempertanyakan kenapa karya muralnya dihapus. Padahal sebelumnya dinding Jembatan Kewek, menurutnya secara tak resmi sudah menjadi tempat seniman Jogja dalam berkarya.

Di situ, ia menumpahkan karya tentang rezim berkuasa yang membawanya berurusan dengan aparat. 

"Kita kan, seniman kan juga rakyat. Rakyat berhak bersuara," tegasnya.

Bamsuck mengaku heran karyanya memperoleh respons negatif dari pemerintah. Padahal Polri sebagai institusi penegak hukum, menurutnya telah menyatakan akan berlaku hati-hati dalam penindakan konten semacam itu. 

"Kurang kerjaan banget, menghapus sebuah karya," imbuhnya. 

Meskipun begitu, seniman mural Yogyakarta ini enggan jera membuka karya kritikan  pada penguasa. 

"Kita akan tetap berkarya lagi, gak pernah takut (dihapus). Kita udah tekad. Bisa buatnya nanti sore, bisa besok. Semakin dihapus, pasti semakin muncul lebih banyak," tandasnya.

Baca Juga: Palak Perusahaan Sawit, Lima Preman Diringkus Polda Kaltim 

2. Aksi reaktif aparat daerah membendung karya mural

Mural, Suara dari Kaum Pinggiran yang Senyap Terdengar Gambar mural di Pasuruan , Jawa Timur yang lagi viral karena dihapus Satpol PP. Dok. twitter.com @fullmoonfolks

Penghapusan mural pertama kali terjadi Tangerang dengan karya 'Tuhan Aku Lapar’ dan ‘404: Not Found’ pada bulan Juli lalu. Entah dengan alasan apa, aksi ini berlanjut di Pasuruan di mana Satpol PP menghapus mural berjudul 'Dipaksa Sehat di Negara yang Sakit'. 

Kepala Satpol PP Pasuruan Bakti Jati Permana berdalih, menindaklanjuti laporan dari masyarakat yang mengeluhkan mural yang tak diketahui siapa pelukisnya ini. Apalagi keberadaan mural dianggap melanggar Peraturan Daerah (Perda) Pasuruan tentang Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat.

"Ini harus kita ditindaklanjuti berdasarkan perda kita, aturan kita," tegasnya mempertanyakan izin keberadaan mural itu. 

Ia pun menyoal materi konteks mural yang bernada pesimis di masa pandemik COVID-19 seperti sekarang ini. 

"Kalau menurut saya tidak etis untuk saat ini, seolah-olah mencederai harapan orang-orang yang ingin sembuh. Harus optimislah," ungkapnya. 

Di tempat terpisah, Satpol PP Yogyakarta mengemukakan alasan sama ketika menghapus mural  berjudul 'Bangkit Melawan Atau Tunduk Ditindas' dan 'Dibungkam'. 

Selain soal ketentraman dan ketertiban umum, Wakil Komandan Operasi Lapangan Wilayah Utara Satpol PP Kota Yogyakarta Achmad Solikin mempermasalahkan, konteks mural yang berbau provokasi.

"Kalau gambar yang sifatnya membangun tidak kita hapus," tukasnya. 

Sikapnya persis sama diutarakan aparat Satpol PP di Bandung Jawa Barat. 

"Kita pengennya semua (aktivitas) mural, vandalisme, yang merusak estetika kota, tinggal ke depannya memperbanyak patrolinya saja. Karena itu biasanya dilakukan malam hari," papar Kepala Satpol PP Bandung Rasdian Setiadi.

Di sisi lain, Poltabes Bandung sedikit melunak dengan mengedepankan upaya persuasif penanganan kasusnya.   

Kasatreskrim AKBP Rudi Trihandoyo mengaku berhati-hati dalam penindakan karya-karya mural. 

Polisi tetap melihat maksud dari pembuat gambar apakah bentuk kritik atau memiliki  tujuan lainnya.

"(Pelaku) akan kami tanya dulu, kalau ketangkep orangnya. Kami interview, apa maksud dan tujuannya. Apakah itu kritik sosial atau bagaimana. Nanti kita imbau dan peringatkan," katanya.

Poltabes Bandung sedang mencari seniman mural yang membuat lukisan mirip Presiden Jokowi. Instruksi sudah diberikan pada Polsek Bandung Wetan untuk mengumpulkan bukti-bukti tentang pembuatan mural itu.

"Enggak (ada indikasi) kalau kritik, tetapi kalau menghina kepala negara atau presiden ada pasalnya. Kami lihat nanti, kalau ternyata tidak ada dasar hukumnya kita tidak akan proses," ungkapnya.

3. Mural, grafiti, dan vandalisme bagi rezim yang baperan

Mural, Suara dari Kaum Pinggiran yang Senyap Terdengar Mural 404 Not Found di Baru Ceper Tangerang. (Facebook.com/Djono W Oesman)

Fenomena di tanah air ini membuat kecewa penggiat seni mural dan grafiti. Pendiri Serikat Mural Surabaya Xgo mengatakan, penghapusan street art di Indonesia ini tak berdasar.

“Mengapa harus langsung dihapus? Padahal kan kita tidak tahu sebenarnya makna apa yang ingin disampaikan si pembuat street art,” ujarnya. 

Street art atau seni jalanan seperti mural, kata dia, merupakan sebuah karya seni yang diciptakan di ruang publik. Ia menyebut ruang publik diciptakan agar bisa diakses oleh masyarakat dan dapat digunakan bersama-sama. 

“Menurut saya, street art adalah bentuk ekspresi diri. Dan banyak macamnya, tidak hanya soal kritik pemerintah,” sambung Xgo. 

“Saya sebenarnya tidak paham tentang apa arti dari kata merusak. Bukannya mural dan grafiti justru tambah mempercantik ruang publik?" imbuhnya. 

Xgo juga mempertanyakan pendapat yang menyatakan bahwa street art adalah sebuah vandalisme. Dua hal tersebut menurutnya sangat berbeda. Baginya vandalisme adalah kegiatan yang mengganggu atau merusak pemandangan. Sedangkan mural sebaliknya.

Street art kan bentuk ekspresi melalui media yang besar. Kami para pegiat street art tidak merobohkan dinding. Kami hanya membuat karya seni.” 

Sebaliknya, ia mempertanyakan banyaknya poster politik yang dipasang di ruang publik dan justru merusak pemandangan, bahkan membahayakan.

“Poster kampanye kan biasanya juga dipasang di tempat yang tidak seharusnya seperti di pohon, tiang listrik, bahkan ada juga umbul-umbul yang diletakkan di pinggir jalan. Kalau kena orang yang ada di bawahnya harus lapor siapa? Siapa yang mau tanggung jawab," ujarnya.

Xgo menegaskan bahwa kritik melalui street art adalah hal yang sah saja asal tahu situasi dan kondisi. Apalagi, Presiden Jokowi dalam pidatonya saat acara Peluncuran Laporan Tahunan Ombudsman RI 2020 juga meminta untuk masyarakat agar turut aktif mengkritik pemerintah.

Masih soal sama di tempat terpisah, seniman Tangerang Edy Bonetski menambahkan, penghapusan mural dengan dalih aksi vandalisme adalah salah kaprah.

"Kalau bicara itu disebut vandal, buka lagi deh di kamus, Wikipedia atau di Google, vandal itu tindakan yang merusak bangunan-bangunan seni tanpa akal sehat," ketusnya. 

Edy mengatakan, ekspresi kesenian melalui mural di Kota Tangerang memang ramai saat mural 'Tuhan Aku Lapar' dan '404 Not Found' dan sebagainya.

Namun baginya, kritikan lewat seni mural sudah lazim dilakukan bangsa ini. Seperti terjadi di masa perang kemerdekaan di mana para pejuang menggelorakan perjuangan lewat karya mural di jalanan. 

"Di Tangerang sudah ditemukan mural tahun 46' bulan Juli, tulisannya jangan jual apa pun kepada musuh-musuh republik, itu mural zaman revolusi," kata Edy.

Di era modern, seni mural makin memperoleh tempat lewat pagelaran pameran seni jalanan dari tahun 2000 hingga 2011. 

"Jauh hari sudah berlangsung dari 2002, 2005, 2011 kita membuat pameran street art Tangerang pertama di Tanah Gocap tepian Sungai Cisadane tepatnya Rumah Belajar Keluarga anak langit," kata dia.

Sehubungan itu, Edy meminta pemerintah menyediakan ruang para seniman dalam berkarya alih-alih memberangus karyanya. Semuanya sudah tertuang dalam Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan Tahun 2017. 

Hal itulah yang harus menjadi dasar bagi pemerintah untuk menyiapkan wadah kesenian.

"Peristiwa ekspresi ini bisa dilihat di lagu Iwan Fals Hey Tuhan. Iwan memprotes Tuhan, bisa aja kok boleh di kesenian mah, Ebiet G Ade ngomong mungkin Tuhan mulai bosan, Iwan bahkan nyanyi manusia setengah dewa, itu bagian dari bentuk ekspresi yang dilindungi oleh UU Pemajuan Kebudayaan," kata dia.

Di Medan Sumatra Utara Komunitas Kampung Sendiri mengingatkan tentang karya mural yang sejatinya merupakan seni dalam melontarkan kritik. Koordinator Kampung Sendiri yang juga pegiat mural Bobi Septian mengatakan, pemerintah sepertinya lupa.

Penghapusan berbagai mural mencermikan betapa tidak demokratisnya negara saat ini. Kritik lewat coretan malah dibalas dengan  penghapusan.

“Jadi pemerintah dan penguasa republik ini jangan baperan. Jangan justru kebakaran jenggot. Di kala kaum yang menggerogoti negara justru terkesan dibela, kaum seniman tidak dibela. Introspeksi saja, tidak perlu dihapus, tidak perlu dicari siapa pekaryanya. Mereka bukan kriminal, bukan monster, bukan penjajah. Mereka hanya beraspirasi lewat coretan,” tukasnya.

Sejauh pengamatan Bobi, di Kota Medan memang belum ditemukan mural dengan visual kritik yang pedas dan frontal. Komunitasnya pun saat ini lebih sering membuat mural yang berkampanye soal pelestarian lingkungan.

Menurut Bobi, mural menjadi media yang cukup efektif untuk menanamkan pemahaman alam bawah  sadar masyarakat.

“Kita sering berkampanye pelestarian lingkungan. Baru-baru ini di Pamah Semelir, kita mengaktualisasikan kampanye soal satwa langka orangutan. Kampanye ini juga bagian dari kritik. Seperti di Pamah Semelir kita itu sebenarnya kritik. Jangankan manusia, orangutan harusnya pemerintah hadir dan mencari solusi. Jadi pemerintah jangan baperan,” ulangnya lagi.

Baca Juga: Seniman Mural Samarinda, Hidup Segan Mati pun Tak Mau

4. Seniman mural Makassar mengajak untuk terus berkarya

Mural, Suara dari Kaum Pinggiran yang Senyap Terdengar Mural "Declare Climate Emergency!" yang dibuat oleh kelompok seni Extinction Rebellion di salah satu sudut Kota Makassar. (Dok. Istimewa)

Terbang jauh di Makassar Sulawesi Selatan, para seniman mural di negeri Anging Mamiri  turut bersuara lantang melawan ancaman penghapusan karya-karya mereka. 

Salah satunya Muhammad Akram Sulaiman, anggota komunitas Extinction Rebellion di Makassar. Komunitas seniman Makassar yang berfokus pada isu perubahan iklim. Beberapa mural karya mereka bisa ditemukan di beberapa sudut Kota Makassar.

Akram, sapaan akrabnya, mengatakan bahwa aspek legalitas lebih banyak menjadi sudut pandang menyikapi  mural sebagai karya seni.

"Argumentasinya selama ini cuma dari sisi apakah ini legal atau tidak, menyerupai simbol negara atau tidak. Kita tidak pernah masuk ke topik tentang bagaimana menghargai suatu karya, melihat si seniman sebagai pekerja seni yang karyanya harus dihargai. Sangat kontras dengan di luar (negeri)," ungkapnya saat berbicara dengan IDN Times. 

Lebih jauh, ia menyebut perkara isi atau muatan mural sama sekali luput dari proses pengambilan keputusan oleh aparat.

Menyinggung perizinan, ia mengaku sempat mengernyitkan dahi saat mendengar pernyataan bahwa seniman diminta membawa rancangan karya muralnya ke penegak hukum lebih dulu.

"Saya tidak pernah melihat pelaku seni mural minta izin ke Satpol PP atau kepolisian. Seni itu kan kebebasan," kata Akram.

Kendati demikian, Akram menyebut diskursus akibat mural ini justru memberi momentum bagus bagi para pegiat seni. Masyarakat pun jadi lebih kritis.

"Dengan viralnya isu mural ini bisa membangkitkan semangat kawan-kawan seniman dan aspirasi masyarakat. Ini jadi semangat baru. Karena tidak semuanya sepakat dengan apa yang dikatakan oleh pemerintah. Tolok ukur kenyamanan publik kan sangat subyektif," tutur pria yang juga anggota Badan Pekerja KontraS Sulawesi tersebut.

5. Seniman mural melawan dengan menggelar Gejayan Memanggil

Mural, Suara dari Kaum Pinggiran yang Senyap Terdengar Lomba mural Gejayan Memanggil . Instagram/gejayanmemanggil

Aksi represif aparat ini pula yang akhirnya memunculkan ide penyelenggaraan Lomba Mural Dibungkam dicetuskan Gejayan Memanggil. Para seniman jalanan se-Indonesia diundang turut serta dalam lomba mural diadakan sejak tanggal 23 Agustus 2021 hingga seminggu ke depan.

Humas Gejayan Memanggil yang namanya minta disamarkan sebagai Mimin Muralis menjelaskan, mencorat-coret tembok layaknya melukis mural ini adalah cara ketika kebebasan bersuara terbatas.

"Dan sekarang coretan itu pun dibatasi," kata Mimin saat dihubungi, Rabu (25/8/2021).

Pihaknya melihat upaya penghapusan konten-konten bernuansa kritis selama ini sebagai pemberangusan. Pemerintah, menurutnya justru bersikap kelewat responsif, destruktif, sekaligus anti kritik. 

"Melihat fenomena ini kami berusaha untuk melihat generasi sekarang yang tertekan dengan kebijakan-kebijakan pemerintah menangani pandemik dengan cara-cara otoriter," jelasnya.

Di masanya,  mural menjadi cara negara di Eropa dan bekas jajahan dalam mereformasi politiknya. Walau bernuansa satire, bahkan mengancam politisi sekalipun, tetap dibiarkan mejeng di muka-muka umum.

Banyak yang kemudian jadi atraksi pariwisata.

Miris, ketika menengok kembali ke puluhan tahun lalu, mural pernah menjadi senjata menyuarakan kemerdekaan Indonesia melawan penjajahan Belanda.

"Jadi, lomba ini merespons itu, memarakan perlombaan revolusi 17 Agustus," sebut Mimin.

Bagi para seniman yang ingin ikut lomba, Mimin menerangkan aturan main yang menurutnya cukup sederhana. Peserta cukup mengunggah karya mural melalui Instagram pribadi dan menandai akun @gejayanmemanggil, serta melakukan konfirmasi ulang dengan kode Lomba Dibungkam lewat direct message (DM).

Tema karya bebas, asal sesuai dengan kriteria dewan juri. Yakni, keberanian konten, menggambarkan semangat perlawanan, diapresiasi rakyat, dan tak mengandung unsur SARA.

Sejalan dengan tema lomba ini, peserta nantinya juga harus melaporkan ke @gejayanmemanggil manakala karya mereka dihapus.

"Sebab penghapusan mural oleh aparat menjadi nilai lebih bagi penilaian juri untuk setiap karya yang akan ditetapkan sebagai pemenang," imbuhnya.

Penghapusan karya kritis menjadi bukti ketiadaan apresiasi terhadap aspirasi masyarakat.

Selain juri internal, publik juga dilibatkan dalam menimbang berbagai karya yang terkumpul. Sederet hadiah telah dipersiapkan bagi pemenang ajang ini.

Mulai dari ekspos oleh akun @gejayanmemanggil, hadiah merchandise, sampai dipasarkan ke dalam bentuk desain baju atau paperart.

6. Seni mural memperoleh tempat di Kabupaten Klungkung Bali

Mural, Suara dari Kaum Pinggiran yang Senyap Terdengar Peninjauan rombongan Pemkab Klungkung ke rest area perbatasan Klungkung dan Gianyar, Selasa (23/3/2021) pagi. (Dok.IDN Times/Humas Pemerintah Kabupaten Klungkung)

Seniman mural sedang berkonflik di sejumlah daerah, tetapi lain cerita terjadi di Kabupaten Klungkung Bali. Di tempat ini, pemerintahnya justru mengkritik pola hidup masyarakat lewat karya-karya mural.

Salah satunya yang terpajang di tembok tempat olah sampah setempat (TOSS) Dusun Karangdadi Desa Kusamba Kabupaten Klungkung. Lukisan mural sepanjang 500 meter yang tujuan utamanya menggugah kepedulian masyarakat tentang lingkungan hidup.  

Mural ini diinisiasi Bupati Klungkung, I Nyoman Suwirta, dan rampung dilukis pada awal tahun 2021.

"Mural di Karangdadi itu dilukis oleh seniman-seniman lokal Klungkung," ungkap Suwirta.

Konsep mural tersebut juga sesuai dengan keinginan Suwirta tentang pengelolaan lingkungan. Suwirta enggan menyebut berapa biaya dari mural itu. Namun pembiayaannya juga dibantu oleh CSR (corporate social responsibility) dari pihak swasta.

Mural tersebut menggambarkan bagaimana pola hidup masyarakat sekitar, dan dampaknya terhadap lingkungan. Dari tembok paling sisi timur, tergambar jelas bagaimana sampah menumpuk di tempat pembuangan akhir (TPA) akibat dari pengelolaan sampah yang belum berjalan di setiap desa.

Bagaimana sampah-sampah itu mengotori lingkungan perumahan dan bahkan laut. Lalu ada pula gambaran sungai dan parit yang tercemar sampah, hingga akhirnya menimbulkan bencana banjir.

Sampah yang dibakar juga menghasilkan gas berbahaya dan dapat memicu kebakaran, serta bagaimana lingkungan yang kotor membuat kesehatan masyarakat terganggu dan merusak ekosistem.

Sisi sebaliknya tergambar di tembok sebelah barat. Digambarkan bagaimana perilaku masyarakat yang mau mencoba mengelola sampahnya. Seperti pemilahan sampah dari rumah, dan dikelola dengan baik oleh tempat pengolahan sampah terpadu (TPST) di setiap desa.

Sampah organik yang telah dipilah lalu dikelola menjadi pupuk organik yang dapat menyuburkan tanaman. Kemudian mural berupa sampah plastik yang dapat dijual dan memberikan tambahan penghasilan bagi masyarakat.

Selain itu, ada pula mural lingkungan yang asri dan indah setelah masyarakatnya mampu mengelola sampah dengan baik.

Menurut Suwirta, mural itu sebenarnya sebagai media edukasi yang dapat menarik minat anak-anak dan masyarakat untuk belajar mengolah sampah. Sekaligus mengkritisi pola hidup masyarakat masa kini yang masih mengabaikan dampak lingkungan.

"Mural edukasi ini dibuat untuk memberikan pemahaman yang lebih, agar kesadaran masyarakat memilah sampah dari rumah tentunya semakin meningkat," ujarnya. 

Ia enggan berkomentar ketika disinggung mengenai mural-mural yang dihapus oleh aparat karena mengkritik pemerintah. Tetapi ia menilai, mural hanyalah media berekpresi yang seharusnya dilindungi oleh undang-undang.

"Mural hanyalah media, tergantung bagaimana kita mengekspresikan pesan kita. Kalau mengedukasi, tidak mungkin dihapus aparat kan? Kecuali kalau menulisnya di tembok orang dan tidak ada izin," ungkapnya sembari tertawa.

Baca Juga: Enam Oknum Polisi Balikpapan Mulai Jalani Sidang Tewasnya Tahanan

7. Seni mural sempat dipandang sebelah mata di Bali

Mural, Suara dari Kaum Pinggiran yang Senyap Terdengar Salah satu seniman mural di Bali yang akrab dipanggil Mang Gen (IDN Times/Ayu Afria)

Seperti halnya daerah-daerah lain di Indonesia, seni mural dulunya dipandang sebelah mata di Bali. Kehadiran mural dianggap mengotori ruang publik. Karenanya, perlu waktu yang lama hingga seni mural bisa diterima oleh pelbagai kalangan seperti saat ini.

Salah satu seniman mural di Denpasar yang meminta dipanggil Gennitik (33), alias Mang Gen, dalam wawancara bersama IDN Times, menyebutkan bahwa pada zaman perang banyak seni mural yang digunakan untuk propaganda.

Di Indonesia pun seni mural digunakan pada tempat-tempat ibadah, seperti di atap gereja.

Pada era sebelum kehadiran media sosial, keberadaan seni mural tidak se-booming seperti saat ini. Meski demikian, diakuinya saat itu seni mural di Bali sudah eksis, meskipun belum populer.

Ia menilai seni mural mulai populer di Pulau Dewata pada tahun 2013. Bersama komunitasnya, ia kerap bermain di jalanan, hingga kemudian lama-lama jejaknya diikuti oleh anak-anak muda lainnya.

“Sekarang mural populer. Sekarang lagi naik trendnya. Mural dengan adanya isu yang kemarin, gambar mural Bapak Jokowi 404 itu ya,” ungkapnya.

Mang Gen mengungkapkan, apabila dibandingkan dengan kesenian lainnya, para kurator menilai seni mural sebagai seni pinggiran. Ia pun menceritakan pengalamannya bahwa suatu hari pernah bersama Komunitas Djamur ingin mengadakan pameran, namun ditolak oleh salah satu pihak galeri.

Alasannya saat itu adalah karena pihak galeri bingung bagaimana cara menjual mural yang akan dipamerkan.

Tak patah semangat, mereka terus berkarya hingga kemudian seiring berjalannya waktu, para seniman juga bisa mendapatkan penghasilan dari mural. Misalnya untuk konsep hotel dan tempat-tempat nongkrong agar lebih menarik pembeli.

“Barulah ketika populer, diakui sama seni-seni yang lain,” ucapnya sambil terkekeh.

Menurut Mang Gen, seni mural memang merupakan propaganda karena kehadirannya di ruang publik. Sifatnya membawa pesan yang harus disampaikan ke berbagai kalangan. Para seniman mural ini juga memiliki idealisme tersendiri bahwa mereka tidak akan mencoret-coret bangunan yang juga bernilai seni.

Tidak asal menggambar, para seniman mural ini juga meminta izin ke pemilik tembok dan mengajukan proposal. Mereka juga melengkapi dengan surat pernyataan dan desain mural. Pada surat tersebut ada bubuhan tanda tangan berbagai pihak, di antaranya pemilik tembok, seniman mural, dan kepala lingkungan setempat sehingga menguatkan izin pembuatan mural.

“Itu pun temboknya juga sering kami temukan di ruang-ruang publik," ungkapnya.

Sebagai pelaku street art, Mang Gen mengingatkan seniman mural di jalanan, tidak boleh marah apabila karyanya dihapus atau ditindih dengan karya seniman mural lainnya.

“Ketika kita bermain di jalanan, kita nggak boleh marah ketika karya kita ditumpuk sama orang lain, dihapus, atau ditindih tanpa sepengetahuan kita. Kalau menurut saya dan teman-teman, itu merupakan sebuah apresiasi bagi kita. Oo ditumpuk, ya gak apa-apa. Tapi dengan syarat, gambarmu lebih bagus dari gambar saya,” jelasnya.

8. Kaltim sebagai pemain baru dalam seni mural

Mural, Suara dari Kaum Pinggiran yang Senyap Terdengar Seni mural karya seniman Balikpapan Kaltim. Foto istimewa

Berpindah ke Borneo, Kaltim sendiri menjadi pemain baru dalam seni mural dan grafiti di tanah air.

Kiprahnya masih masih sekadar menjual jasa ke mereka yang membutuhkan keterampilan. Belum ada di antara seniman mural ini yang mencoba menyuarakan karya dalam menyoroti permasalahan sosial. 

Ini pula dilakukan Dimas anggota Komunitas Balikpapan Grafiti ketika lebih sibuk melayani beberapa kepentingan bisnis. Seperti ketika karyanya terpampang di dinding KANEE Cafe kawasan Gunung Guntur Balikpapan.

Goresan tangan anak muda ini dihargai cukup mahal, kisaran Rp400 ribu hingga Rp550 ribu per meternya.  

"Kalau dari harga itu sebanding lah dengan bahan premium dan biaya jasa saya, walau ada yang kaget dengan harga itu," ujarnya sembari tertawa.

Kondisi hampir sama pun dilakukan seniman mural Samarinda, sebagai kota terbesar di Kaltim. Para seniman di sini pun memilih bermain aman dibanding berkonflik dengan pihak luar. 

“Itu kritik sebagai ungkapan hati kami untuk kota tercinta ini. Tapi kalo seperti yang sekarang lagi viral, yang buat lukisan untuk presiden. Belum pernah. Lagian saya, gak begitu memikirkan  ke sana. Saya kan apatis,” kata seniman mural bernama Ojan. 

Tetapi itu semua bukan tanpa sebab. 

Para seniman mural di Kaltim terkendala keterbatasan sarana berkreasi dalam penyaluran karya-karyanya. Masih ada penolakan, baik itu dilontarkan aparat daerah maupun masyarakat Kaltim itu sendiri. 

Padahal para seniman mural di Samarinda, menurut Ojan sangat berhati-hati dalam mengekspresikan karyanya. Mereka jarang sekali menciptakan karya mural bernuansa kritikan tajam ditujukan pada pemerintah daerah maupun pusat. 

Hanya sesekali saja, para seniman ini membuat karya mural sindiran satir ditujukan kepada pemerintah daerah. Sisa lainnya, para seniman ini membuat karya mural sekadar penyaluran hobi agar menyenangkan masyarakat secara luas. 

Itu pula sebabnya, aktivis di Kaltim memandang seniman mural di Samarinda dan Balikpapan masih sungkan menuangkan karya kritikan permasalahan sosial pada pemerintah. Bisa dikatakan, hampir tidak ada karya mural yang cukup tajam bisa ditemui di sini.  

“Secara psikologi kawan-kawan komunitas mural mulai takut berekspresi dan berkarya. Padahal seni, terkhusus mural juga bagian kanal untuk menyampaikan pandangan," keluh Ketua Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Kaltim Muhammad Akbar. 

Apalagi di masa sekarang ini, ketika aparat berlaku represif dengan menghapus karya mural. Kondisi sudah terjadi sejumlah tempat di Indonesia. 

9. Street art mural, karya seni yang tak bisa dibungkam

Mural, Suara dari Kaum Pinggiran yang Senyap Terdengar Mural pria mirip Presiden Jokowi mejeng di Jembatan Pasupati, Bandung. IDN Times/Debbie Sutrisno

Langkah sejumlah aparat di daerah yang menghapus mural justru mendapat serangan balik dari para seniman jalanan. Bak peribahasa Mati Satu Tumbuh Seribu, mural yang mengkritik pemerintah menjamur di berbagai daerah.

Di Kota Bandung misalnya, beberapa waktu lalu sempat ada mural seorang pria yang perawakannya mirip dengan Presiden Jokowi, di salah Jembatan Pasupati. Mural dari cetakan kertas tersebut menggambarkan mata dan hidup pria tersebut tertutup masker. Setelah viral di media massa, hanya butuh hitungan jam, aparat dari Satpol PP langsung menghapusnya.

Pun dengan grafiti tulisan 'Jadikan Koruptor Pahlawan Cara Firli Bahuri Berantas Korupsi' sempat mejeng pada tembok di bawah Jembatan Viaduct. Sama halnya dengan mural mirip Jokowi, dalam waktu singkat aparat lantas mengecat tembok ulang tersebut. 

Terkait kondisi ini, Alga Indria yang didapuk sebagai Wali Kota Mural Bandung mengatakan, berbagai karya seni yang muncul di jalanan Kota Bandung bisa jadi sebagai bentuk keresahan masyarakat selama pandemik COVID-19. Para seniman mural pasti turut terdampak pandemik ini.

Apalagi seniman biasanya mencari uang dari seni yang mereka hasilkan secara harian. Ketika banyak aktivitas dibatasi, mereka jelas kesulitan memperoleh pendapatan. 

"Yang resah pasti banyak. Kalau orang biasa mungkin nulis di medsos (media sosial), kalau musisi ada panggungnya bikin event, pembuat film juga bisa di bioskop. Nah keresahan seniman mural ini karena tidak ada medianya, mereka jadi gambar di tembok," ujar Alga. 

Dengan kondisi sekarang, Alga berharap pemerintah lebih visioner dalam menanggapi banyaknya mural kritik. Misalnya, dengan memberikan ruang kepada para seniman mural untuk berkarya dalam bentuk apa pun sesuai dengan keinginan mereka.

Mereka pun bisa diajak bekerja sama untuk membuat lukisan yang menginformasikan kepada masyarakat tentang bahaya virus corona, atau hal lainnya yang baik di lakukan di saat pandemik ini.

Untungnya pula, Wali Kota Bandung Oded M Daniel cukup memberikan respons positif agar seni mural diarahkan dalam koridor semestinya. 

"Di gang-gang juga bagus, arahkan ke situ saja. Dari pada ga karuan," ujar Oded.

Menurutnya, seni mural memang tidak melulu bernada positif, karena banyak juga yang bersifat kritikan kepada pemerintah. Meski demikian, kritik seharusnya bisa membangun dan itu alangkah baiknya tidak dilakukan sembarang.

"Kritik membangun itu kan pakai etika lah. Tidak setiap sesuatu yang baik saja ketika disampaikan berujung baik. Maka kalau kita penyampaiannya baik, ikhlas, hasilnya pasti akan benar," kata dia.

Setali tiga uang, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil pun menanggapi mural dengan santai. Sebagai seorang arsitek yang punya hobi menggambar dan melukis, Emil, sapaan akrabnya, menilai bahwa kritik politik harusnya ditanggapi biasa saja.

Dirinya sendiri tidak mempermasalahkan hal tersebut mengingat urusan pemberian ruang pada seni sudah jadi tradisi saat menjabat Wali Kota Bandung.

"Tradisi seni kota ini saya mah sangat senang. Dulu saya zaman wali kota kan memberikan ruang-ruang. Tiangnya Pasupati dimural, di dinding Siliwangi dimural, tidak masalah,” katanya dalam jumpa pers daring di Bandung. 

Namun karena persoalan seni mural yang tampil bermuatan politik, dia menilai yang perlu didorong adalah etika budaya dan batasan-batasan yang harus dimengerti para pelaku mural.

”Tinggal kita menyepakati secara etika budaya, batas-batasnya aja ya, selama memenuhi kearifan lokal, etika yang disepakati, saya kira tidak ada masalah," kata Emil. 

Ranah seni, menurutnya, mengundang kontroversi atau perdebatan ketika mengetengahkan kritik politik. Karena itu,dia menilai penting mendiskusikan hal ini dengan para budayawan dan seniman. Pemerintah menurutnya harus memfasilitasi ruang diskusi.

Di sisi lain, pelaku mural juga harus paham dan jangan sakit hati karena karyanya suatu hari akan hilang. Apalagi tanpa izin pemilik tembok, mural bisa pudar tersapu hujan, dihapus aparat ataupun oleh hilang ditimpa pemural lainnya.

10. Mural kritik itu simbol perlawanan

Mural, Suara dari Kaum Pinggiran yang Senyap Terdengar Mural bertuliskan "Dibungkam" di Jembatan Kewek, Kota Yogyakarta dihapus. (IDN Times/Tunggul Damarjati)

Ketua Pusat Studi Industri Kreatif Pasca Sarjana Universitas Airlangga (Unair) Igak Satrya Wibawa menyatakan, seni mural dikenal sebagai media berekspresi menuangkan kritik di ruang publik.

Seni ini dikenal menjadi media komunikasi bagi masyarakat.

"Mural adalah salah satu bentuk street art, menjadi media komunikasi yang cukup sering digunakan masyarakat dalam menyampaikan pesan, harapan dan kritik kepada pihak yang punya privilege atau kekuasaan tertentu," ujarnya.

Igak menerangkan, mural berbeda dengan grafiti meski sama-sama termasuk seni jalanan. Grafiti menonjolkan ekspresi pelukis secara tersurat, dan kadang sifatnya sangat personal. Sebab, hanya berupa tulisan atau simbol yang mewakili entitas tertentu.

"Sedangkan mural yang memiliki makna dan pesan lebih dalam, kebanyakan ditempatkan di ruang publik dengan tujuan dilihat banyak orang," katanya.

Lebih lanjut, pengajar mata kuliah Visual Culture & Creative Arts di departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Fisip Unair ini menambahkan, etika dan perizinan dalam penempatan di ruang publik dapat dilihat dari beberapa dimensi.

"Jika dikaitkan dengan dimensi etis, tentunya public property idealnya tidak dapat dipakai tanpa adanya izin. Namun ini menjadi paradoks bila dilihat dari dimensi perlawanan, yaitu kasusnya harus menabrak etika, karena namanya juga perlawanan," jelasnya.

Dalam dimensi seni, sambut Igak, mural dianggap wajar jika dijadikan sebagai simbol perlawanan, kritik atau pun harapan, dan sah saja bila penempatannya dalam ruang publik agar didengar dan dilihat publik.

Untuk itu agak susah bila menghadapkan seni dan aturan, karena dalam seni kadang harus membenturkan keduanya.

Terkait mural berisi kritik sosial sama halnya dengan baliho yang berisi pesan-pesan politis. Yakni sama-sama memanfaatkan ruang publik sebagai saluran penyampaian pesan. Hanya bedanya, mereka yang ofisial punya kuasa, wewenang dan memiliki privilege tertentu menggunakan baliho.

"Sedangkan masyarakat yang tidak memiliki privilege dan melihat ruang-ruang penyampaian pendapat banyak tersumbat di sana-sini, akhirnya memilih mural sebagai media yang frontal dan efektif dalam menyampaikan pesan," ujar Igak.

Seperti ungkapan Ahmad Syafii Maarif akrab disapa Buya Syafii yang menilai wajar ketika masyarakat melontarkan kritikan atas kinerja pemerintah. Tokoh senior cendekiawan muslim ini  menyatakan kritikan lewat karya mural tetap dianggap sah, dengan catatan tak melanggar norma kesopanan dan menjaga estetika ruang publik.

"Dan juga pemerintah mendengar kritik itu. Jadi jangan jor-joran kekuasaan, itu namanya kita tidak punya kepekaan," ujarnya.

 

Tim Penulis : Tama Wiguna (Lampung), M Iqbal (Tangerang), Ach Hidayat Alsair (Makassar), Sahrul Ramadan (Makassar), Wayan Antara (Bali), Ayu Afria Ulita Ermalia (Bali), Ardiansyah Fajar (Jatim), Tunggul Damarjati (Yogyakarta), Debbie Sutrisno (Bandung), Nina Iskandar (Samarinda), Riani (Balikpapan), Prayugo Utomo (Medan), Siti Umaiyah (Yogyakarta), Fariz Fardianto (Jateng)

Baca Juga: Preman Makin Nekat, Polda Kaltim akan Lakukan Tindakan Tegas 

Topik:

  • Sri Wibisono

Berita Terkini Lainnya