Nasib Hutanku Sayang, Hutanku yang Malang

Persoalan kehutanan makin sulit untuk diatasi

Balikpapan, IDN Times - Gubernur Kalimantan Timur (Kaltim) Isran Noor membanggakan pencapaian pengurangan emisi dan deforestasi degradasi hutan melalui Program Forest Carbon Partnership Facilities-Carbon Fund (FCPF-CF) yang dikelola oleh Bank Dunia. 

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada Oktober 2015 menunjuk Kaltim sebagai pelaksana program pengurangan emisi di Indonesia. Hasilnya cukup mencengangkan, di mana keberadaan hutan di Kaltim dianggap sukses dalam penyerapan 30 juta ton emisi karbon di udara.

Fenomena carbon trading mengurangi efek global warming sepertinya akan menjadi salah satu tren pembangunan hijau di masa depan. Dengan mengombinasikan program pelestarian lingkungan sekaligus memperoleh pendapatan bagi daerah. 

Terus seperti sih sebenarnya program perdagangan karbon ini disesuaikan dengan kondisi riil hutan-hutan di Indonesia? Kolaborasi hyperlokal IDN Times mengulas tentang keanekaragaman hayati sekaligus momentum gerakan menanam satu juta pohon di Indoensia pada 10 Januari 2023 lalu. 

1. Kaltim memperoleh dana Rp1,65 triliun dari carbon trading

Nasib Hutanku Sayang, Hutanku yang MalangIDN Times/Surya Aditya

Pidato Isran Noor di Stadion Utama Palaran Samarinda membuat hadirin terdiam, penasaran dengan materi sambutan yang lain sedikit beda.

Seperti biasa dengan logat bicara khas Suku Banjar-nya, Gubernur Kaltim ini berpidato diselingi kelakar yang memang sudah menjadi kebisaannya. Materi disampaikannya pun lumayan berat tentang carbon trading atau istilahnya Forest Carbon Partnership Fasility (FCPF) Carbon Fund. Program kerja sama lingkungan di antara Kaltim dan Bank Dunia pada 2020-2024. 

“Kita jual karbon saja, Kaltim sudah tidak perlu dana APBN,” katanya saat peringatan Hari Menanam Pohon Indonesia dalam akun Instagram Pemprov Kaltim pada 10 Januari 2023 lalu. 

Dalam paparannya itu, Isran menceritakan tentang kerja sama di mana Bank Dunia mewajibkan Kaltim berkontribusi aktif dalam penyerapan 22 juta ton emisi gas karbon selama 2020-2024. Lewat pelestarian konservasi hutam alam di Kaltim yang luasannya mencapai 12,7 juta hektare. 

Uniknya pada tahun pertama, Kaltim dilaporkan mampu melakukan penyerapan hingga 30 juta ton gas karbon atau surplus 8 juta ton dari kewajiban 22 juta ton gas karbon. 

Pengelolaan hutan yang berbuah cuan bagi masyarakat Bumi Etam totalnya sebesar USD110 juta atau bila dirupiahkan berkisar Rp1,65 triliun dari Bank Dunia. Kaltim memang baru memperoleh pembayaran awal advance payment sebesar USD20,9 juta atau setara Rp320 miliar, hasil validasi tim independen Bank Dunia. 

Tapi jumlah tersebut sudah cukup membuat Gubernur Isran Noor girang bukan kepalang. Pemprov Kaltim sepertinya sudah mempunyai strategi baru memanfaatkan kekayaan hayati menjadi sesuatu yang bernilai.  

Sehingga tidak perlu memusingkan pembagian dana bagi hasil (DBH) pemerintah pusat. Pemprov Kaltim bisa berjualan gas karbon, bukan hanya dengan Bank Dunia tetapi juga pihak swasta yang peduli pada program pelestarian lingkungan. 

2. Perdagangan karbon yang menjadi masa depan Kaltim

Nasib Hutanku Sayang, Hutanku yang Malangilustrasi hutan Borneo (Unsplash.com/ Jeremy Bezanger)

Program carbon trading bisa mengubah mindside  tentang sistem konvensional praktik konservasi di masa depan. Sempat tergantung eksploitasi sumber daya alam (SDA) hingga kini mulai melirik kekayaan konservasi hutan. 

"Kaltim masih memiliki kekayaan alam hutan yang nilainya bisa diperdagangkan," kata Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kaltim EF Rafiddin Rizal selaku Koordinator Pokja REDD Plus Pemprov Kaltim kepada IDN Times. 

Kawasan hutan Kaltim dilaporkan memiliki luas 12,7 juta hektare di mana luasan tutupan pohon tersisa 6,6 juta hektare. Itu pula yang menjadi dasar kenapa KLHK menunjuk Kaltim dalam pilot project  Program REDD+ (Reducing Emission from Deforestration and Forest Degradation) diinisiasi Bank Dunia. 

Terutama kawasan hutan yang berada di Kabupaten Berau, Kutai Timur, Kutai Barat, Kutai Kartanegara, dan Mahakam Ulu. 

"Data soal luasan hutan Kaltim berdasarkan data KLHK," papar Rizal. 

Dalam perjanjian delapan tahun silam tersebut, Rizal mengatakan, Bank Dunia meminta Kaltim berkontribusi dalam program penyerapan 22 juta ton gas emisi karbon dunia. 

Per tonnya, Bank Dunia menjanjikan dana kompensasi sebesar USD5 yang bila dihitung-hitung total keseluruhan penyerapan karbon di Kaltim bisa terkumpul USD110 juta. Penetapan target penyerapan karbon yang sebenarnya tidak terlalu berat bagi Kaltim. 

Pasalnya sebelum kerja sama lingkungan ini resmi diteken, hutan Kaltim diestimasikan mampu menyerap hingga 18 juta ton emisi gas karbon. 

Apalagi setelah pemerintah daerah serius dalam penerapan pembangunan hijau, di antaranya rehabilitasi hutan, moratorium izin pertambangan, hingga pemberdayaan masyarakat desa di kawasan hutan. 

Kemampuan penyerapan karbon pun melonjak signifikan.  

Hasilnya memuaskan, di mana audit validasi data tim independen melaporkan hutan di Kaltim berkontribusi penyerapan 30 juta ton gas karbon. Sesuai variabel konservasi lingkungan disepakati dengan pihak Bank Dunia. 

"Terjadi surplus hingga 8 juta ton gas karbon dari sudah ditargetkan sebesar 22 juta ton gas karbon. Pencapaian ini sudah berhasil terealisasi di tahun awal program kerja sama Pemprov Kaltim dan Bank Dunia," ungkap Rizal. 

Nah, surplus 8 juta ton gas karbon inilah nantinya yang akan coba diuangkan kembali oleh Pemprov Kaltim, lewat kerja sama dengan swasta maupun negara asing berkomitmen dalam penyelamatan lingkungan. 

Kaltim sudah membuka penawaran harga USD25 per tonnya dengan potensi pemasukan sebesar USD200 juta atau sebesar Rp3 triliun. 

"Kerja sama bisa dengan negara asing maupun perusahaan yang punya komitmen lingkungan. Seperti Norwegia atau pihak swasta di luar negeri," paparnya. 

Perusahaan minyak dan gas dunia Shell dikabarkan yang berminat mengakuisisi surplus penyerapan 8 juta ton gas karbon Kaltim ini. 

3. Hidup bersama alam yang sudah jadi prinsip hidup Suku Baduy

Nasib Hutanku Sayang, Hutanku yang Malangpotret suku Baduy (ANTARA FOTO/Muhammad Bagus Khoirunas)

Prinsip hidup berdampingan dengan alam sudah lama dijalani masyarakat Suku Baduy, kelompok suku tradisional di Banten yang berada di daerah aliran sungai Ciujung, Cisimeut, Ciberang, dan Cimadur.

Selama bertahun-tahun, mereka setia menerapkan amanat nenek moyang mereka, termasuk dalam menjaga kelestarian hutan. Entah ada kaitannya atau tidak, faktanya suku ini jarang tertimpa bencana alam. 

Baik bencana banjir dan tanah longsor di musim penghujan datang. 

"Kami sangat serius menjaga pelestarian hutan dan lahan untuk mengantisipasi bencana alam," kata Tetua Adat merangkap Kepala Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Jaro Saija, seperti dikutip dari Antaranews. 

"Lojor henteu beunang dipotong, pendek henteu beunang disambung" (panjang tidak boleh dipotong dan pendek tidak boleh disambung).

Itulah filosofi masyarakat Baduy dalam menjaga melestarikan kawasan hutan lindung. Komitmen yang kuat itu didasari bahwa hutan merupakan amanat dan titipan leluhur untuk dijaga karena memberikan manfaat luar biasa untuk kesejahteraan dan keberlangsungan hidup manusia.

Suku Baduy meyakini, jika titipan leluhur itu tidak dilakukan maka menimbulkan malapetaka bencana alam. 

Jaro Saija mengungkap, masyarakat Baduy menjaga dan melestarikan kawasan hutan lindung hingga seluas 3.101 hektare. "Dan kondisinya terjaga dengan baik," kata dia.

Berdasarkan tanah hak ulayat adat sesuai Peraturan Daerah (Perda) Nomor 32 Tahun 2001, luasnya 5.101 hektare terdiri dari 3.101 hektare kawasan hutan lindung dan 2.000 hektare pemukiman.

Setiap tahun, warga Baduy melakukan gerakan penghijauan dengan berbagai tanaman agar habitat ekosistem tetap lestari dan hijau. Hal ini lah yang membuat keseimbangan alam di kawasan Baduy terjaga. 

Mereka dilarang menebang pohon yang ada di kawasan hutan lindung karena bisa menimbulkan kerusakan lahan dan hutan. Warga Baduy yang berpenduduk 11.800 jiwa tersebar di 68 perkampungan Baduy Luar dan tiga Kampung Baduy Dalam,  tetap komitmen menjaga hutan lindung sebagai pilar kehidupan.

Selama ini, menurut Jaro Saija, pemukiman kawasan Baduy Luar dan Baduy Dalam relatif aman dari ancaman bencana banjir dan longsor, meskipun cuaca buruk yang ditandai hujan lebat disertai angin kencang.

Sebab, warga Badui yang berada di kaki Gunung Kendeng melindungi hutan dengan pelestarian alam dan penghijauan. "Kami meyakini pelestarian lingkungan dan penghijauan dapat mencegah bencana banjir dan longsor, " katanya 

4. Restorasi cagar alam di Kabupaten Jepara yang membuahkan hasil

Nasib Hutanku Sayang, Hutanku yang MalangKondisi tutupan lahan di Cagar Alam Celering Jepara yang dipotret memakai drone. (IDN Times/bt)

Upaya restorasi alam pun terjadi di tiga cagar alam (CA) Kabupaten Jepara di Jawa Tengah. Pepohonan yang nyaris punah, kini kembali tumbuh subur berkat usaha yang maksimal dari masyarakat dan komunitas peduli konservasi hutan. 

Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK) Pati Barat melaporkan, terdapat tiga cagar alam yang melalui tahapan rekonstruksi atau penanaman kembali. Masing-masing Cagar Alam Keling II-III, Keling I ABC, dan Celering. 

Kepala KPHK Pati Barat Budi Santoso mengatakan, kondisi tutupan kawasan hutan lindung Keling I ABC saat ini relatif membaik. Tutupan lahannya telah mencapai 100 persen. 

Kemudian tutupan lahan wilayah CA Keling II/III kini sudah menunggu proses pemulihan secara berkala. Sedangkan CA Celering telah memiliki tutupan lahan mencapai 80 persen. 

Pria akrab disapa Ambong menjelaskan, ekosistem tumbuhan yang paling subur berada di CA Keling.  Ada 70-8 spesies pohon yang ditanam kembali di CA Keling sebagai pengganti daerah resapan air sekaligus tempat sumber mata air yang baru bagi masyarakat sekitar.

"Dan selama ini kita tanam banyak pohon terutama untuk jenis wuning, asam jawa, salam dan jambu kluthuk. Kalau ditotal ada 70 spesies yang direkonstruksi. Luasnya cagar alam Keling kan 61 hektare yang ditanam 40 hektare. Di situ juga ada pohon kedoya sama pohon beringin," ungkapnya. 

Tahapan rekonstruksi pohon dimaksudkan untuk mengembalikan ekosistem asli supaya kembali pulih. Pendataan yang ia lakukan telah mencatat sudah banyak pohon yang tumbuh besar serta satwa liar yang kembali masuk ke areal hutan lindung. 

"Satwa liar yang hilang bisa masuk kembali. Kita berharap rekonstruksi pohon di kawasan Keling I II dan III bisa menahan rob agar tidak masuk ke kampung. Minimal bisa menghambat air laut biar tidak masuk ke kampung. Karena CA Keling I II dan III di sisi utaranya langsung berbatasan dengan Laut Jawa dan lokasi hutan produksi milik Perhutani," tambahnya. 

Di tempat ini pun ditemukan tanaman buah jeruk jepara yang sempat dinyatakan punah. Sejenis tanaman buah lokal merupakan varietas lokal ditemukan di CA Keling I ABC pada 29 September 2022 silam. Berdasarkan riwayatnya, jeruk jepara merupakan varietas jeruk yang memiliki daya tahan yang kuat. Pertama kali jeruk ditemukan Tahun 1854 silam di Kabupaten Rembang. 

Baca Juga: Serunya Wisata Bahari Susur Teluk Balikpapan dengan Mahligai Phinisi 

5. Aktivitas penambangan galian C yang mengancam Taman Nasional Gunung Merapi

Nasib Hutanku Sayang, Hutanku yang MalangPetugas Dinas ESDM memasang garis kuning untuk tindakan preventif di lokasi tambang ilegal Desa Kemiren Srumbung. (IDN Times/Fariz Fardianto)

Tetapi persoalan lingkungan pun terjadi di sejumlah wilayah Indonesia, seperti praktik penambangan galian C di Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM). Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jawa Tengah mendapati kerusakan wilayah taman nasional yang berada di Desa Kemiren Kecamatan Srumbung Kabupaten Magelang.

Kepala Bidang Mineral dan Batubara Dinas ESDM Jateng Agus Sugiarto mengatakan, praktik penambangan galian C sudah berlangsung bertahun-tahun merambah lokasi TNGM. 

Jika dibiarkan tanpa adanya pengendalian dan pengawasan, ia khawatir nantinya kondisi lingkungan di wilayah Gunung Merapi justru berpotensi semakin parah.

Ia mengaku setelah meningkatkan pemantauan di lokasi penambangan, dirinya menemukan kerusakan kawasan TNGM terlebih lagi aktivitas penambangan juga melibatkan berbagai unsur. 

Di Desa Kemiren, katanya terdapat ribuan truk dan alat berat seperti ekskavator yang beroperasi. Pantauan yang dilakukan petugas Dinas ESDM mendapati lebih dari 15 lokasi tambang yang mengoperasikan 30-40 alat berat. 

Ia mengatakan terdapat ribuan truk yang dioperasikan bersama dengan alat berat. Ia pun mendorong supaya pemerintah pusat dan pemerintah daerah memberi perhatian serius untuk mencari jalan keluar atas kegiatan penambangan tanpa mengabaikan konservasi lingkungan di lereng Gunung Merapi. 

"Kita sudah lihat ada lebih dari 15 lokasi dengan rata-rata alat tiga sampai ada puluhan. Efeknya telah menimbulkan kerugian negara, kerusakan lingkungan, tidak adanya pembayaran pajak, hilangnya sumber daya mineral," tutur Agus.

Desa Kemiren sendiri merupakan areal tambang yang dulunya bernama Desa Ngori. Namun, Desa Ngori telah hancur akibat dilanda bencana erupsi Merapi tahun 1961 silam. Lokasinya hanya berjarak enam kilometer dari puncak Merapi. 

Wilayah Dusun Ngori lambat-laun berubah bentuk menjadi lokasi penambangan. Berdasarkan pendataan Dinas ESDM Jateng, aktivitas penambangan telah berlangsung setahun dan ada juga yang tiga bulan terakhir. 

Agus berkata akibat penambangan ilegal di Dusun Kemiren membuat negara dirugikan sampai triliunan rupiah. "Kerugiannya mungkin sudah triliunan. Sebab ini sudah berjalan bertahun-tahun. Estimasinya harga pasir Merapi per meter kubik Rp100 ribu dengan pajaknya 25 persen atau Rp25 ribu. Itu sudah berapa ratus juta yang sudah hilang," ungkapnya.

6. Nasib hutan lindung di Malang Raya dan masifnya pembalakan di Jawa Timur

Nasib Hutanku Sayang, Hutanku yang MalangRanger Profauna saat melakukan patroli hutan dengan motor. (Instagram/profauna_indonesia)

Senasib kondisinya dengan hutan lindung di Malang Raya yang memprihatinkan. 

"Hutan lindung di Malang Raya dalam kondisi tidak baik-baik saja. Sempat terjadi kebakaran hutan di lereng Gunung Arjuno, Gunung Kawi, hampir semua Malang Raya," kata Ketua Profauna Indonesia Rosek Nursahid. 

Ancaman kedua adalah manusia, di mana warga secara masif membuka lahan pertanian dan perkebunan di area hutan lindung. Padahal menurutnya hutan lindung harus diisi pohon-pohon yang tinggi dan berakar kuat.

"Sehingga hutan lindung yang seharusnya melindungi manusia dari bencana banjir, longsor, dan kekurangan air menjadi tidak optimal fungsinya," jelasnya.

Sayangnya kedua faktor ini tidak segera diselesaikan oleh Perum Perhutani. Sehingga terjadilah bencana banjir bandang yang menimpa Kota Batu pada 2021.

Persoalan lain yang juga mengganggu adalah pembalakan liar di hutan lindung Malang Raya. Sedihnya lagi, hutan yang ditebang bukan hanya satu dua pohon, tetapi hingga ribuan hektare luasannya. 

Salah seorang pelakunya, bernama Sunari yang sudah ditangkap petugas KLHK dan kasusnya naik ke persidangan.

Lebih lanjut,  Profauna menyatakan, luas hutan lindung di Malang Raya sekitar 42 ribu hektare di mana 90 persen kawasan pohon sudah habis dibabat. Sebagian kecil kawasan hutan masih tersisa berada di antara Pantai Balekambang sampai Pantai Kondang Merak. 

"Sementara yang lain sudah menjadi kebun pisang," tandasnya.

Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Timur (Jatim) melaporkan, ratusan ribu hektare lahan hutan lindung setempat yang jadi gundul selama 20 tahun terakhir. Perkiraannya sepanjang 2001-2021 terdapat 232 ribu hektare hutan primer sudah lenyap. Berada di Banyuwangi, Jember, Malang, Bondowoso, dan Tulungagung. 

Jatim mempunyai 1.361.146 hektare hutan, terdiri hutan lindung (344.742), suaka alam (233 632), dan hutan produksi (782.772). 

7. Kawasan hutan di Jawa Barat yang turun hingga 41,6 persen

Nasib Hutanku Sayang, Hutanku yang MalangIlustrasi kebakaran hutan dan lahan (Karhutla). (ANTARA FOTO/Anis Efizudin)

Hampir serupa kasusnya, Walhi Jawa Barat mencatatkan pengurangan kawasan hutan secara signifikan sudah terjadi sejak 1999 hingga 2019. Direktur Eksekutif Walhi Jabar Meiki W Paendong menyebutkan, wilayahnya semestinya memiliki luasan kawasan hutan hingga 252 ribu hektare. 

Ini berdasarkan data milik KLHK, tetapi fakta di lapangan tidaklah demikian. Namun pada 2019 jumlah itu mengalami pengurangan drastis.

"Kami komparasi, kami cek di data hasil hitungan 2019 ini, kami memang tidak hitung lapangan tapi kelola informasi 2019 total kawasan hutan di angka 147 ribu hektare. Artinya ada pengurangan dari 252 ribu menjadi 147 ribu, seperti itu faktanya," kata Meiki.

Meiki menjelaskan, pengurangan kawasan hutan ini terjadi karena berbagai macam faktor, mulai dari pembukaan izin pertambangan dari pemerintah, hingga persoalan lain. Namun, ia bilang yang paling memiliki dampak paling negatif adalah aktivitas pertambangan.

Pengurangan kawasan hutan ini tidak hanya terjadi pada kawasan hutan sekunder. Kata dia, kawasan hutan primer juga mengalami dampak serupa.

Adapun kawasan hutan primer memiliki tiga jenis, hutan lindung, konservasi dan hutan produksi.

Dengan terjadinya pengurangan hutan, ekosistem di dalam hutan sendiri menjadi berkurang. Termasuk dari kepadatan antar-pohon di dalam hutan yang ada di Jabar. Apalagi, saat ini tren pertambangan panas bumi ada di hutan primer tepatnya di lapisan dalam hutan.

"Kalau ada potensi geotermal harus dilakukan aktivitas di atas permukaan, artinya pemerintah buat aturan untuk tidak ada aktivitas. Ini malah mengeluarkan izin, artinya mereka buat aturan, mereka juga yang melanggar," katanya.

8. Ratusan ribu hektare hutan di NTB berubah jadi ladang jagung

Nasib Hutanku Sayang, Hutanku yang MalangPerambahan hutan untuk tanaman jagung. (dok. Gakkum Dinas LHK NTB)

Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nusa Tenggara Barat (NTB) mencatat ratusan ribu hektare lahan kritis berada di dalam maupun luar kawasan hutan. 

Di antaranya adalah kawasan hutan yang benar-benar gundul seluas 96.238,24 hektare tersebar di 9 kabupaten, yakni Lombok Barat (12.330), Lombok Tengah (6.686), Lombok Utara (4.299), Lombok Timur (9.002), Sumbawa Barat (53), Sumbawa (30.291), Dompu (16.690), Bima (15.790), dan Kota Bima (1.093). 

Lahan kritis tersebut akibatnya maraknya aktivitas perambahan kawasan hutan untuk tanaman musiman seperti perkebunan jagung. Kerap terjadi di Bima, Dompu, dan Kabupaten Sumbawa bagian timur. 

"Kita terus berusaha menekan bagaimana perkembangan tanaman jagung di wilayah Pulau Sumbawa, supaya jangan bertambah luas," kata Kepala Bidang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Rehabilitasi dan Pemberdayaan Masyarakat Dinas LHK NTB Lalu Saladin Jufri. 

Masyarakat merambah kawasan hutan dalam pengembangan perkebunan jagung setempat. Mayoritas terjadi di Pulau Sumbawa seperti Kabupaten Sumbawa bagian timur, Bima, Kota Bima, dan Dompu.

Keterbatasan jumlah personel petugas kehutanan membuat praktik perambahan hutan sulit dikendalikan. Bahkan beberapa tahun lalu, petugas kehutanan di Kabupaten Dompu dikeroyok warga saat berupaya menghentikan perambahan hutan. 

"Kita pusing bagaimana mencegahnya. Petugas dikeroyok kalau ke sana. Polhut dikeroyok gara-gara menghentikan perambahan hutan," tuturnya.

Data Pemprov NTB 2020 menyebutkan, luas lahan kritis di dalam dan luar kawasan hutan mencapai ratusan ribu hektare. Dengan rincian, lahan sangat kritis (23.218,61), kritis (154.538,31), agak kritis (400.730,46), dan potensial kritis (1.275.700,48).

Setiap tahunnya, Pemprov NTB menargetkan rehabilitasi 5 ribu hektare dengan mempergunakan kolaborasi anggaran pusat, provinsi, dan swasta. Ini yang membuat proses rehabilitasi diperkirakan membutuhkan waktu puluhan tahun. 

Baca Juga: Tahanan Polresta Balikpapan Kabur, Seorang Istri Jadi Tersangka

9. Kerusakan hutan di Lampung yang mengancam keanekaragaman hayati setempat

Nasib Hutanku Sayang, Hutanku yang MalangPolisi hutan bersama masyarakat rutin melakukan patroli di kawasan Taman Nasional Batang Gadis (TNBG), Kabupaten Mandailinatal. Pelibatan masyarakat dalam perlindungan hutan dinilai cukup efektif untuk mengurangi tekanan terhadap kawasan hutan. (IDN Times/Prayugo Utomo)

Kerusakan hutan di Lampung saat ini berdasarkan data Walhi mencapai 30 sampai 40 persen. Kerusakan tersebut dinilai cukup parah karena melebihi angka 10 persen. Bahkan hingga hari ini belum ada perubahan atau perbaikan signifikan untuk kondisi hutan lindung di Bumi Ruwa Jurai ini.

Direktur Walhi Lampung Irfan Tri Musri menyampaikan, kawasan hutan primer di Lampung hanya tersisa sedikit lagi dan sebagian besar berada di Kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan.

“Angka kerusakan 30 persen itu cukup mewakilkan untuk menyatakan status kerusakan hutan cukup parah. Kecuali masih di bawah 10 persen, masih relatif rendah. Hutan lindung sendiri bisa dibilang kuantitasnya cukup kecil,” kata pria berkacamata itu kepada IDN Times. 

Proses deforestasi hutan di Lampung disebabkan banyak faktor, di antaranya aktivitas pembalakan liar, pinjam pakai kawasan hutan, hingga perambahan masyarakat. Tiga hal tersebut menurutnya cukup mendominasi sebagai sumber perubahan kawasan hutan di Provinsi Lampung.

Ironisnya, proses rehabilitasi lahan berbanding terbalik dengan laju deforestasi. Di mana laju deforestasi mencapai angka 200 ribu hektare sedangkan rehabilitasi kawasan hutan kisaran 50 ribu hektare. 

Irfan mengatakan, upaya rehabilitasi hutan Lampung adalah selama 30 sampai 50 tahun. Sebab realitanya, perbaikan hutan yang rusak tidak bisa dipulihkan dalam waktu bersamaan.

Jika menebang kawasan hutan seluas 10 hektare bisa selesai dalam waktu 3 sampai 5 tahun, maka upaya untuk menumbuhkan kembali butuh waktu puluhan tahun.

“Belum lagi, kalau kita dikaitkan dengan alasan klasik pemerintah masalah keterbatasan anggaran. Jadi upaya rehabilitasi lingkungan itu, biaya dan waktu pemulihan tidak berbanding lurus dengan apa yang telah didapatkan," paparnya.

Menurut Irfan, hutan di Lampung memiliki karakteristik geografis cukup bervariasi. Mulai dari kawasan hutan berada di dataran rendah, rawa, dataran sedang sampai di dataran tinggi. Ciri khasnya adalah menjadi bagian dari ekosistem landscape Bukit Barisan yang membentang sampai Provinsi Lampung serta keanekaragaman satwa flora dan fauna endemik, seperti harimau, badak, gajah yang tidak bisa ditemukan di wilayah lain.

Total luasan kawasan hutan seluas 948.641,07 hektare dengan persentase tutupan pohon 28.14 persen. 

10. Banjir melanda Ogan Komering Ilir akibat hutan mangrove yang rusak

Nasib Hutanku Sayang, Hutanku yang Malangilustrasi kawasan mangrove (Unsplash.com/David Clode)

Sementara itu, persoalan banjir rob terus mengancam masyarakat di Ogan Komering Ilir (OKI) Sumatra Selatan (Sumsel). Penyebabnya tak lain karena kerusakan ekosistem mangrove yang menjadi benteng terakhir air laut menuju darat.

Direktur Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Bakau Sumsel Paisal melaporkan, kerusakan kawasan mangrove di pesisir pantai timur yang bersebelahan dengan Lampung.

Dari data Dinas Kehutanan (Dishut) Sumsel, ada sekitar 171.629 hektare hutan mangrove tersebar di sepanjang pantai timur Sumsel yang membentang dari Kabupaten OKI, Banyuasin, hingga Kabupaten Musi Banyuasin (Muba).

Dari keseluruhan mangrove tersebut tercatat ada 49.540 hektare sudah rusak, karena faktor manusia hingga alam. 

Berkaitan ini, Direktur Program Mangrove Ecosystem Restoration Alliance (Mera) Yayasan Konservasi Alam Nusantara M Imran Amin mengatakan, mangrove adalah sejenis tanaman yang efektif dalam penyerapan emisi gas karbon. 

Berkurangnya hutan mangrove, menurut Imran, berdampak langsung terhadap pemanasan global. Hal ini yang menyebabkan terjadinya perubahan iklim, penurunan muka tanah, hingga semakin seringnya banjir rob melanda warga OKI.  

Imran bahkan mendapat fakta bahwa masyarakat yang tinggal di pesisir dengan kehidupan sehari-hari dari hasil tambak mulai terdampak. Mereka mendapati tambak udang atau bandeng miliknya mulai terendam air yang meningkat dari sebelumnya.

Indonesia memiliki kawasan hutan mangrove sepertiga dari kawasan mangrove dunia. Sedangkan Sumsel merupakan wilayah dengan luasan mangrove kedua terbesar setelah Riau di Pulau Sumatra. Dari kondisi ini, Imran menilai dunia sangat bergantung dengan Indonesia dalam kaitan pemanasan global. 

Dibandingkan kawasan hutan tropis, mangrove menjadi ekosistem alam yang mampu menyimpan karbon. Untuk di wilayah OKI, hasil riset Mera mencatat, mangrove dapat menyimpan 1.000 ton karbon per hektare.

"Dari segi global, dunia sangat bergantung dengan mangrove. Mangrove mampu menyimpan karbon empat kali lebih besar dari hutan tropis," jelas dia.

Mera juga mencatat total luasan hutan mangrove di Kabupaten OKI sebesar 40.020,16 hektare di mana 39.655,37 hektare menjadi tambak masyarakat. 

11. Perambahan hutan di Aceh yang melaju drastis

Nasib Hutanku Sayang, Hutanku yang MalangKawasan Suaka Margasatwa Rawa Singkil di Gampong Lhok Raya, Kecamatan Trumon Tengah, Kabupaten Aceh Selatan, Aceh, yang dirambah untuk membuka perkebunan sawit. (IDN Times/Muhammad Saifullah)

Provinsi Aceh tidak luput dari ancaman deforestasi tutupan hutannya hingga 71.552 hektare. Staf Komunikasi Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh Irham Hudaya Yunardi mengatakan, deforestasi hutan terjadi di hampir seluruh daerah setempat pada 2017-2021.  

Yakni, Aceh Tengah, Aceh Timur, Aceh Utara, Gayo Lues, dan Aceh Selatan.

“Kehilangan tutupan hutan paling banyak terjadi di hulu sehingga menimbulkan dampak -bencana ke hilir,” kata Irham.

Ia mencontohkan, seperti kerusakan hutan di Gayo Lues yang kemudian memicu banjir di Aceh Tamiang, dan Aceh Timur. 

“Ini bisa menimbulkan bencana seperti kekeringan dan banjir yang telah terjadi di Aceh Utara dan Aceh Timur,” ujarnya.

Sehubungan dengan itu, Irham mengungkapkan, kerusakan hutan Aceh hingga kini belum bisa dibendung. Pada Tahun 2022, Aceh Selatan menjadi penyumbang terbesar laju deforestasi terbesar, yakni 1.704 hektare.

Koordinator Perubahan Iklim (Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan) DLHK Aceh, Rikky Mulyawan mengatakan, praktik perambahan hutan mulai terjadi pada 1996 hingga 2000. 

Dengan luas kerusakan hutan mencapai 86 ribu hektare.

“Setelah periode tersebut, luas deforestasi tahunan cenderung menurun dan meningkat kembali pada periode tahun 2006 hingga 2013 pascaperistiwa gempa bumi dan tsunami Aceh, sejalan dengan kebutuhan rehabilitasi dan rekonstruksi,” kata Rikky. 

Rikky menambahkan, pengelolaan hutan yang telah dilakukan secara bersama pada masa lalu terbukti belum seluruhnya mampu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar belantara.

12. Catatan dari Walhi Kaltim dalam pemanfaatan dana carbon trading

Nasib Hutanku Sayang, Hutanku yang MalangYohana Tiko, Direktur Eksekutif WALHI Kaltim, (IDN Times/Dok. Walhi Kaltim)

Pelbagai fakta-fakta ini yang akhirnya membuat Direktur Eksekutif Walhi Kaltim Yohana Tiko meminta, kepala daerah di tempatnya tidak jemawa dalam perolehan carbon trading dari Bank Dunia. 

Secara terus terang, ia meragukan akurasi validasi data kondisi riil hutan di Kaltim hingga memperoleh dana kompensasi Rp1,6 triliun. 

Tiko mengacu pada masifnya persoalan kehutanan yang terjadi di Kaltim dari praktik pertambangan, perkebunan sawit, perambahan, hingga kebakaran hutan. Persoalan klasik kehutanan yang terjadi di seluruh wilayah Indonesia. 

Selain itu, Tiko pun mempertanyakan sudut pandang negara-negara maju dalam penilaian kondisi kehutanan di suatu negara. 

"Negara-negara maju kan tidak punya hutan yang luas, tidak seperti di Indonesia," paparnya. 

Dalam kasus ini, Tiko tetap berpendapat terjadi deforestasi yang masif di wilayah kehutanan Kaltim. Indikatornya yang mulai dirasakan masyarakat, seperti pemanasan global, perubahan iklim, dan lainnya. 

Ia menyebutkan, kondisi perubahan iklim sudah mulai terjadi di Kaltim di mana suhu siang hari bisa mencapai 38,4 derajat celcius. Suhu ini terbilang paling panas dibandingkan provinsi lain di Indonesia.

Tetapi meskipun begitu, Tiko tetap mengimbau agar Pemprov Kaltim bisa memaksimalkan dana carbon trading dalam kepentingan konservasi kehutanan. Sekaligus transparan dalam penggunaannya dengan melibatkan stakeholder terkait, seperti masyarakat adat dan lainnya. 

Pasalnya masyarakat adat ini yang biasanya terlibat langsung dalam proses penyelamatan kawasan hutan di Kaltim. 

 

Tim penulis: Hamdani (Banjarmasin), Fariz Fardianto (Jateng), Ita Lismawati (Banten), M Saifullah (Sumut), Rangga Erfizal (Sumsel), Ardiansyah Fajar (Jatim), Rizal Adhi Pratama (Jatim), Juliadin JD (NTB), M Nasir (NTB), Silviana (Lampung), dan Azziz Zulkhairil (Jabar).

Baca Juga: Balikpapan Peringkat Pertama Panji Keberhasilan Pembangunan di Kaltim

Topik:

  • Sri Wibisono

Berita Terkini Lainnya