Sekretaris Jenderal Komisi Yudisial, Tubagus Rismunandar Ruhijat (Dok. IDN Times/Humas Komisi Yudisial)
Pertama berkaitan sarana prasarana (sarpras) badan peradilan tentunya menjadi hal primer yang harus tersedia dalam alokasi anggaran belanja. Ketersediaan sarpras memiliki relevansi dalam menjaga marwah peradilan yang agung dan mulia. Kelengkapan instrumen peradilan yang bersifat fisik (gedung, ruang sidang, toilet, ruang khusus anak maupun ibu menyusui, akses bagi disabilitas, pengamanan dan keamanan persidangan, dll) merupakan aspek prioritas yang wajib terpenuhi, agar dalam pelaksanaan tugas, pokok dan fungsi badan peradilan dapat maksimal serta optimal. Kedua, pelayanan publik badan peradilan sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman pada pasal 4 (2) menyebutkan bahwa pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Implikasi pelayanan publik dalam lingkup badan peradilan menjadi wajah terselenggaranya kehendak pelayanan yang sederhana, cepat dan biaya ringan serta terpenuhinya SDM pelayanan juga menjadi catatan penting yang harus dipenuhi. Masyarakat pun perlu menyikapi hal ini, dengan ikut andil berpartisapasi melakukan pengawasan. Ketika adanya pungutan liar (pungli) yang secara ilegal dilakukan oleh oknum badan peradilan patut diadvokasi secara serius dengan melibatkan pihak berwenang demi melakukan upaya preventif untuk menjaga pelayanan publik yang prima dan sesuai aturan sebagaimana mestinya.
Ketiga, integritas hakim yang tak kalah penting dalam menjaga trust public terhadap profesi mulia seorang Hakim. Hakim dalam hal ini memiliki kewajiban melaksanakan dan mematuhi Kode Etik Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) yang terdiri dari 10 butir, yaitu berperilaku adil, berperilaku jujur, berperilaku arif dan bijaksana, bersikap mandiri, berintegritas tinggi, bertanggung jawab, menjunjung tinggi harga diri, berdisiplin tinggi, berperilaku rendah hati dan bersikap profesional.
Hakim secara semiotika sebagai wakil Tuhan merupakan benteng terakhir kepercayaan publik yang sedang berhadapan dengan hukum. KEPPH bukan hanya menjadi buku saku yang dibawa ke sana kemari di saat diklat cakim (calon Hakim) semata, namun harapan terbesar dapat terimplementasikan pada perilaku (behavior) dan pola pikir (mindset). Proses pengawasan pada hakim di Negara Indonesia memiliki 2 pengawas yang signifikan memiliki kewenangan dalam menjaga dan menegakkan KEPPH, di antaranya Komisi Yudisial Republik Indonesia sebagai pengawas eksternal dan Badan Pengawas Mahkamah Agung sebagai pengawas internal. Dua lembaga ini yang sampai saat ini menjadi penjaga marwah Badan Peradilan untuk terwujudnya Peradilan yang bersih, berintegritas dan bermartabat di mata masyarakat pencari keadilan dalam memperjuangkan haknya yang sedang berhadapan hukum.
Pada akhirnya partisipasi dan kontribusi civil society dalam menjaga kehormatan Badan Peradilan tetap harus dilaksanakan dengan kesadaran dan kepedulian. Semangat terbentuknya badan peradilan merupakan harapan dan cita-cita luhur yang harus dipertahankan dan diperjuangkan, maka ketika publik hadir memberikan masukan dan saran tentunya menjadi ruang terbuka dalam perbaikan sistem ke depan, untuk mendapatkan trust public demi terwujudnya peradilan yang bersih, berintegritas dan bermartabat.