Seorang sahabat lama saya dari aktivis Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Balikpapan Novi Abdi setengah bercanda sempat berujar, "Ironi kita ini ya, setengah mati membela orang lain, tapi terkadang lupa untuk membela diri sendiri," katanya dalam banyak kesempatan mengomentari profesi yang sudah digelutinya bertahun-tahun.
Entah pernyataan tersebut bercanda ataukah sekadar candaan gabut di antara para jurnalis lain, tetapi itu menjadi bahan renunganku selama bertahun-tahun. Pertanyaan pentingnya adalah, apakah sudah benar yang kulakukan selama ini? Membela kebebasan pers, demokrasi, kebebasan berbicara, hak-hak sipil, kaum marjinal, dan masih banyak lainnya. Tapi di satu sisi, kami para jurnalis ini terkadang malah melupakan hak-hak kami sendiri, hak-hak keluarga kami sendiri, yakni penghidupan layak, kesejahteraan, dan pendidikan.
Suatu prinsip jurnalis di lapangan yang tentunya substansinya beda bila dibandingkan teori para ahli jurnalisme dalam dan luar negeri, seperti Adinegoro, Gunawan Mohamad, Roland E. Wolesely dan Laurence R. Campbell, Walter Lippmann, hingga Bill Kovach.
Pernyataan tersebut bisa jadi sekadar bercanda semata, tetapi bisa juga sebagai bentuk curhatan profesi jurnalis idealnya hanya bisa dikerjakan orang-orang sempurna atau istilahnya "Superman". Kalimat sarkasme untuk mentertawai dirinya sendiri tanpa bermaksud menyinggung orang lain dan bukan pula dikarenakan sudah tidak lagi cinta pada profesi ini.