(OPINI) Momentum Lebaran di Mata Profesi Jurnalis

Melaksanakan puasa di tengah aktivitas media

Seorang sahabat lama saya dari aktivis Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Balikpapan Novi Abdi setengah bercanda sempat berujar, "Ironi kita ini ya, setengah mati membela orang lain, tapi terkadang lupa untuk membela diri sendiri," katanya dalam banyak kesempatan mengomentari profesi yang sudah digelutinya bertahun-tahun.

Entah pernyataan tersebut bercanda ataukah sekadar candaan gabut di antara para jurnalis lain, tetapi itu menjadi bahan renunganku selama bertahun-tahun. Pertanyaan pentingnya adalah, apakah sudah benar yang kulakukan selama ini? Membela kebebasan pers, demokrasi,  kebebasan berbicara, hak-hak sipil, kaum marjinal, dan masih banyak lainnya. Tapi di satu sisi, kami para jurnalis ini terkadang malah melupakan hak-hak kami sendiri, hak-hak keluarga kami sendiri, yakni penghidupan layak, kesejahteraan, dan pendidikan.

Suatu prinsip jurnalis di lapangan yang tentunya substansinya beda bila dibandingkan teori para ahli jurnalisme dalam dan luar negeri, seperti Adinegoro, Gunawan Mohamad, Roland E. Wolesely dan Laurence R. Campbell, Walter Lippmann, hingga Bill Kovach. 

Pernyataan tersebut bisa jadi sekadar bercanda semata, tetapi bisa juga sebagai bentuk curhatan profesi jurnalis idealnya hanya bisa dikerjakan orang-orang sempurna atau istilahnya "Superman". Kalimat sarkasme untuk mentertawai dirinya sendiri tanpa bermaksud menyinggung orang lain dan bukan pula dikarenakan sudah tidak lagi cinta pada profesi ini.  

1. Jurnalis sebagai profesi yang mulia

(OPINI) Momentum Lebaran di Mata Profesi Jurnalisilustrasi Ilmu Komunikasi (IDN TImes/Arief Rahmat)

Pada faktanya memang tidak semua orang mampu menjalani profesi jurnalis, di mana kalian harus siap bertugas apa pun kondisi dan risikonya. Kata "apa pun" sepertinya sedikit berlebihan, tetapi realitas di lapangan adalah demikian.

Sebagai catatan, seorang jurnalis terkadang harus melewatkan waktu intim bersama keluarga, hanya untuk sekadar meliput suatu peristiwa kejadian. Bahkan jam-jam waktunya tidak normal, bisa di tengah malam bahkan pagi-pagi buta. Karena prinsip jurnalisme menyebutkan suatu peristiwa tidak mungkin terulang kembali. Seperti bila kalian terlambat meliput suasana peristiwa kebakaran, tidak mungkin pula rumah yang berhasil dipadamkan apinya, untuk dibakar kembali. 

Seperti pula dalam momentum lebaran di mata jurnalis pun menyimpan banyak cerita tentang suka duka kami menyambut perayaan Idul Fitri. Seperti contohnya dialami saya sendiri seperti halnya jurnalis lainnya, terkadang pula harus melaksanakan tugas-tugas lapangan.  Kala melaporkan situasi arus transportasi jelang lebaran Idul Fitri dari wilayah pelosok dan pedalaman perbatasan Malaysia-Indonesia di Kalimantan Utara (Kaltara). 

Sepekan sebelum lebaran, tanpa sanak dan saudara membuat laporan liputan sembari tetap menjalankan ibadah puasa. Menyesakkan memang, tetapi itu sudah menjadi konsekuensi profesi jurnalis yang dipilih. 

Puncaknya ketika momentum lebaran segera tiba, dan saya pun sudah bersiap mengakhiri tugas dan menemui keluarga. Tetapi patut disadari, situasi di lapangan biasanya tidak sesuai dengan perencanaan kita dari awal. Salah satu yang terjadi adalah, tiket penerbangan pesawat dari perbatasan ternyata sudah diborong pemudik jauh-jauh hari. Hanya ada jalur transportasi laut kelas ekonomi rute Tarakan - Nunukan, dan Balikpapan selama tiga hari pelayaran. 

Saya tidak punya pilihan lain, menggunakan layanan transportasi laut atau menunggu dibukanya kembali jalur penerbangan menuju Balikpapan. Akhirnya toh saya memutuskan menggunakan jasa jalur laut dengan konsekuensi merayakan lebaran di tengah laut. 

Tidak ada teman dan jauh dari keluarga. Sudah begitu, situasi kelas ekonomi transportasi laut sungguh tidak mengenakkan. "Karena hampir seluruh bagian kapal sudah dipenuhi tubuh-tubuh penumpang kelas ekonomi lainnya."  Entah karena tempat tidur kelas ekonomi tidak mampu menumpang  jumlah penumpang atau jumlah penumpangnya sendiri yang overload

Sebagai catatan, situasi seperti ini sudah lazim dialami para jurnalis dalam menjalankan tugas. 

Baca Juga: Pemprov Kaltim Distribusi Logistik Korban Kebakaran di Balikpapan

2. Penghargaan para jurnalis sebagai seorang pekerja

(OPINI) Momentum Lebaran di Mata Profesi Jurnalisilustrasi THR (IDN Times/Aditya Pratama)

Kondisi ini pula banyak di antara orang-orang awam beropini tingkat kesejahteraan para jurnalis di negeri ini sudah cukup sejahtera. Sebagai pilar keempat demokrasi, jurnalis semestinya memperoleh bayaran tinggi dari industri media mainstream. Mengingat goresan tinta tangannya bisa berperan akan maju mundurnya suatu bangsa. 

Organisasi profesi AJI Indonesia pada tahun 2023 lalu bahkan sempat mempublikasi gaji minimal wartawan baru di Jakarta adalah sebesar Rp8.420.000 per bulan.  Estimasi penetapan gaji minimal berdasarkan tingkat kebutuhan dasar jurnalis sehingga dia diharapkan bisa mempertahankan independensi profesinya. Seperti diketahui, AJI selalu mengkampanyekan "No Amplop" bagi jurnalis dalam menjalankan tugas. 

Sehingga perusahaan diminta terus meningkatkan kesejahteraan para jurnalis sesuai masa pengabdian dan jabatannya.  

Namun realitas di lapangan ternyata jauh dari harapan di mana mayoritas jurnalis di Indonesia memperoleh gaji jauh di bawah standar AJI. Bahkan tidak sedikit pula jurnalis di lapangan ternyata diketahui sama sekali tidak menerima gaji dari perusahaan sudah memperkerjakannya. Jangan kalian tanya, dari mana para wartawan ini memperoleh penghasilan untuk memenuhi kebutuhannya. Karena saya sama sekali juga tidak tahu seperti halnya kalian ini, trully I have no idea about it

Kalaupun sekarang banyak jurnalis mengeluh tidak memperoleh tunjangan hari raya (THR) selama lebaran Idul Fitri 1445 Hijriah, itu tidak lagi mengherankan. Karena faktanya, industri media di dalam negeri belum menempatkan jurnalisnya sebagai sebuah aset terpenting perusahaan. 

Itu pula yang mendasari kenapa pihak  AJI secara tegas meminta perusahaan media menaati ketentuan THR mengacu Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/2/HK.04/III/2024 tentang Pelaksanaan Pemberian THR Keagamaan Bagi Pekerja atau Buruh di Perusahaan. 

Riset AJI pada 21 Februari 2023 hingga 10 April 2023 menemukan 50,1 persen jurnalis hanya menerima upah bulanan tanpa tambahan lainnya. Ini artinya masih banyak jurnalis di pelbagai daerah yang belum mendapatkan tunjangan seperti THR. Khususnya pekerja lepas yang telah lama diabaikan hak-hak dasarnya sebagai pekerja media.

3. Saya sebagai jurnalis IDN Times

(OPINI) Momentum Lebaran di Mata Profesi Jurnalisilustrasi bulan puasa (IDN Times/Mardya Shakti)

Dan sebagai catatan, saya sendiri sudah empat tahun lamanya dipercaya menjadi Editor IDN Times di Kalimantan Timur (Kaltim). Meskipun terkesan subyektif dalam menilai almamater sendiri, saya harus "angkat topi" terhadap komitmen IDN Times menempatkan jurnalisnya sebagai salah satu aset penting perusahaan. 

Sebagai perusahaan media online baru tidak berafiliasi dengan grup perusahaan mainstream manapun, IDN Times memang belumlah sempurna. Namun setidaknya, perusahaan ini punya komitmen dalam memberikan hak-hak dasar pada seluruh karyawannya, bahkan dalam banyak kasus melampauinya. Seperti contoh di masa-masa susah, pandemik COVID-19, IDN Times tetap percaya situasi akan membaik dan perusahaan tumbuh kembali. Selama dua tahun berlalu, perusahaan bahkan tidak berpikir mengambil jalan pintas dengan merumahkan karyawan. 

Kebijakan yang lazim diambil perusahaan media mengingat lesunya perekonomian global saat itu. 

Sebagai jurnalis belasan tahun di lapangan, saya mengetahui fakta ironi di mana kecenderungannya jurnalis sering dikorbankan industri media. Baik kasus jurnalis tidak memperoleh THR, gaji di bawah upah minimum kota (UMK), hingga kebijakan demosi bagi karyawan yang membantah perintah atasan. 

Namun sampai di sini, IDN Times sudah menunjukkan upayanya menjadi sebuah perusahaan media profesional yang "baik" kepada karyawannya.  Sesuatu yang menjadi berkah menyambut Hari Raya Idul Fitri 1445 Hijriah ini.

So selamat lebaran guys.  

Penulis opini: Sri Gunawan Wibisono/Editor IDN Times Kaltim

Baca Juga: Hipmi Balikpapan Sumbang Rp15 Juta untuk Korban Kebakaran Klandasan

Topik:

  • Sri Wibisono

Berita Terkini Lainnya