BPOM: Komitmen Dunia dalam Perketat BPA pada Kemasan Pangan

Komitmen Indonesia menunggu untuk diberlakukan 

Balikpapan, IDN Times - Mayoritas negara di dunia cenderung memperketat regulasi dan penggunaan senyawa kimia bisphenol A (BPA) dalam campuran kemasan plastik makanan dan minuman. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sudah berkomitmen untuk melakukan hal serupa. 

Sinyal positif bahwa Indonesia pada akhirnya akan mengikuti tren dunia, agaknya sudah ditunjukkan oleh perwakilan BPOM. 

“Isu BPA ini bukan lagi isu nasional, tapi sudah jadi isu global,” kata Direktur Standarisasi Pangan Olahan BPOM Anisyah dalam satu forum dialog baru-baru ini.

1. Regulasi baru yang dianggap belum tepat sesuai hasil riset

BPOM: Komitmen Dunia dalam Perketat BPA pada Kemasan PanganLabel bebas BPA (BPA Free) pada kemasan pangan (IDN Times/Istimewa)

Anisyah menyatakan, beberapa mengatur regulasi baru yang dianggap belum tepat sesuai hasil riset termutakhir tentang BPA. Bahwa ada risiko senyawa ini terhadap kesehatan manusia. 

Negara-negara maju seperti Uni Eropa sudah merevisi batas ambang migrasi BPA dari sebelumnya 0,6 PPM menjadi 0,05 PPM pada 2018 lalu. Aturan soal BPA diperketat dari sebelumnya. 

Pun demikian negara tetangga Thailand dan negara America Selatan seperti Argentina, Brazil, dan Uruguay pada 2021 dan 2022. Mereka mengadopsi aturan Eropa tentang batas migrasi BPA hingga sebesar 0,05 PPM. Artinya, risiko kemasan BPA dianggap sangat berbahaya dan harus dihindari. 

Eropa pun menurunkan angka asupan harian (total daily intake/TDI) pada asupan tercemar BPA yang dikonsumsi manusia setiap hari. “Otoritas Keamanan Pangan Eropa (EFSA) melakukan penilaian ulang terhadap TDI atau asupan harian yang bisa ditoleransi terhadap BPA,” katanya. 

Baca Juga: Krisis Air di Balikpapan, Air Baku Hanya Cukup Tiga Pekan ke Depan

2. Aturan TDI untuk BPA sebesar mikogram berat badan per hari

BPOM: Komitmen Dunia dalam Perketat BPA pada Kemasan PanganIlustrasi galon. (Dok. IDN Times)

Pada 2015, EFSA menetapkan TDI untuk BPA sebesar 4 mikrogram per kilogram berat badan per hari. Namun, pada April 2023 lalu, ada pemberitahuan dari EFSA bahwa TDI yang baru sudah ditetapkan dengan nilai 0,2 nanogram per kilogram berat badan per hari.

Nilai TDI yang baru ini 20 ribu kali lebih rendah. Asupan harian BPA yang bisa ditoleransi menjadi lebih ketat. Ini salah satu yang melatarbelakangi BPOM melakukan penilaian ulang terhadap regulasi yang ada. 

BPOM melakukan kajian ulang karena mempertimbangkan dampak kesehatan dan risiko terjadinya pelepasan BPA. Termasuk sejumlah temuan BPOM pada 2021-2022 di mana ada peningkatan migrasi BPA pada kemasan galon isi ulang. 

“Mengkhawatir, karena hasil ujinya ini ada di kisaran 0,05 sampai 0,6 PPM, ini cukup tinggi. Ada juga yang sudah melebih ketentuan yang ada di atas 0,6 PPM," tegasnya. 

3. Peraturan BPOM tentang Kemasan Pangan

BPOM: Komitmen Dunia dalam Perketat BPA pada Kemasan PanganIDN Times/Helmi Shemi

Peraturan BPOM Nomor 20 Tahun 2019 tentang Kemasan Pangan menetapkan batas migrasi BPA pada kemasan galon polikarbonat di level 0,6 PPM. Bilangan batasnya sangat jauh dibandingkan negara-negara lainnya, di mana mayoritas sebesar 0,05 PPM.

Bercermin pada EFSA yang telah mengambil kebijakan sangat ketat, panel ahli mereka menyimpulkan bahwa orang dari semua kelompok usia, termasuk anak-anak kecil, berisiko terhadap kesehatan akibat kemasan jenis BPA. Zat kimia ini diketahui meniru hormon estrogen dapat bocor dari kemasannya, sehingga berdampak serius terhadap kesehatan dan lingkungan.

Jutaan orang berpotensi terpapar BPA melalui produk konsumen yang lazim digunakan. Zat ini diproduksi dalam jumlah besar dan banyak digunakan untuk memproduksi barang seperti dispenser air, wadah penyimpanan makanan plastik, dan galon/botol air minum plastik yang dapat digunakan berulang-ulang.

Namun, mirip dengan di Indonesia, produsen BPA di Eropa juga melakukan perlawanan. PlasticsEurope, misalnya, telah mengajukan lima prosedur hukum untuk menantang keputusan Badan Kimia Eropa (ECHA) dalam mengklasifikasikan BPA sebagai SVHC (zat kimia berisiko tinggi) karena sifat pengganggu endokrinnya.

Baca Juga: Krisis Air di Balikpapan, Air Baku Hanya Cukup Tiga Pekan ke Depan

Topik:

  • Sri Wibisono

Berita Terkini Lainnya