Permasalahan Perkawinan Anak yang Masih Fluktuatif di Kaltim

Tren perkawinan yang yang cukup tinggi di Kaltim 

Samarinda, IDN Times - Fenomena perkawinan anak masih menjadi persoalan di antara masyarakat Kalimantan Timur (Kaltim). Pengadilan Agama Kaltim melaporkan data perkawinan anak yang  fluktuatif selama tahun 2018 (953 anak), 2019 (845 anak), dan 2020 meningkat jadi (1.159 anak). 

“Namun pada tahun 2021, angka perkawinan ada sedikit mengalami penurunan 70 anak, sehingga totalnya menjadi 1.089 anak. Meski demikian, jauh sebelum pandemik, perkawinan anak memang menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah Indonesia,” kata Kepala Dinas Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A) Kaltim Noryani Sorayalita dalam akun Instagram Pemprov Kaltim. 

1. Nilai di dalam masyarakat

Soraya menambahkan, perkawinan anak di Indonesia tidak terlepas dari adanya nilai-nilai yang tertanam di masyarakat sejak lama yang mendukung  perkawinan anak. Seperti perspektif agama yang berpandangan bahwa menikah adalah cara untuk mencegah terjadinya perbuatan zina.

“Selain itu, perspektif keluarga yang berpandangan bahwa perkawinan anak sudah menjadi kebiasaan yang dilakukan secara turun temurun, sehingga tidak menjadi masalah jika hal serupa tetap dilakukan dan perspektif komunitas yang beranggapan bahwa perempuan tidak perlu menempuh pendidikan yang tinggi. Pandangan-pandangan ini menjadikan perkawinan anak direstui dan difasilitasi oleh orangtua, keluarga dan masyarakat,” ujarnya.

Soraya mengatakan pemerintah telah berupaya untuk mencegah perkawinan anak terjadi, di antaranya mengubah batas usia minimal untuk perkawinan dari 16 tahun menjadi 19 tahun melalui UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Baca Juga: Dukungan Pemprov Kaltim, Lanud Dhomber Kembangkan 3 Detasemen

2. Prioritas pembangunan nasional

Permasalahan Perkawinan Anak yang Masih Fluktuatif di Kaltimhttps://www.bbc.com/indonesia/indonesia

Perkawinan anak ujarnya, telah menjadi prioritas kebijakan pembangunan nasional di Indonesia yang tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN 2020 - 2024).
.
Selanjutnya dalam Sustainable Development Goals (SDGs), pencegahan perkawinan anak masuk ke dalam tujuan kelima mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan semua perempuan dan anak perempuan.
.
“Kemudian, dalam Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak (Stranas PPA), pemerintah secara spesifik menargetkan penurunan angka perkawinan usia anak dari 11,21 persen pada tahun 2018 menjadi 8,74 persen pada akhir tahun 2024 dan 6,9 persen pada tahun 2030,” tandasnya.

3. Keluarga garda terdepan menekan perkawinan anak

Soraya melanjutkan, dalam perlindungan anak, selain upaya kuratif juga diperlukan upaya preventif dan promotif agar meminimalisir terjadinya kasus perkawinan anak. Keluarga atau orang tua merupakan garda terdepan yang berperan dalam mengasuh, mendidik dan membentuk karakter anak.

Pengasuhan anak oleh orang tua merupakan salah satu kunci penting dalam sebuah keluarga yang akan menentukan baik buruknya karakter seorang anak kelak.

“Sementara DKP3A Kaltim memfasilitasi layanan informasi, konseling dan layanan rujukan terkait pengasuhan berbasis hak anak yang mudah diakses dan dikenal masyarakat melalui Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga) Kaltim Ruhui Rahayu. Dan mengharapkan melalui kelembagaan Puspaga meningkatkan peran pengasuhan keluarga, meningkatkan kualitas kehidupan menuju keluarga sejahtera dan pemenuhan hak anak,” pesan Soraya. 

Baca Juga: Instansi di Kaltim Wajib Mendukung Percepatan Pembangunan IKN

Topik:

  • Sri Wibisono

Berita Terkini Lainnya