Potret Buruh, Merayakan Hari Kemenangan di Tengah Keterbatasan 

Perayaan "May Day" hari buruh 1 Mei

Balikpapan, IDN Times - Bulan Mei 2022 terasa begitu istimewa bagi masyarakat Indonesia. Bagaimana tidak? Awal bulan bertepatan waktunya dengan perayaan hari raya Idul Fitri 1 Syawal 1443 Hijriah yang jatuh pada tanggal 2 Mei 2022. 

Satu hari di mana umat Muslim merayakan kemenangan setelah sebulan lamanya menahan lapar, haus, dan hawa nafsu.

Meskipun terasa ironis juga, mengingat saat bersamaan masyarakat buruh belum bisa merayakan hari kemenangan seutuhnya. Sehari sebelum lebaran, jatuh pada peringatan hari buruh sedunia atau biasa disebut dengan dengan "May Day". 

Bertepatan hari buruh pada 1 Mei 2022 ini, kolaborasi hyperlokal IDN Times mencoba mengangkat artikel tentang perjuangan para buruh sejumlah kota di Indonesia dalam merayakan kemenangan di tengah keterbatasan.  

Berikut artikel tentang perjuangan para buruh. 

1. Cerita Rara, jurnalis yang THR nya disunat sejak pandemik COVID-19

Potret Buruh, Merayakan Hari Kemenangan di Tengah Keterbatasan Massa Forum Jurnalis Medan menggelar aksi tutup mulut di depan Gedung Pemko Medan, Senin (19/4/2021). Mereka menuntut Wali Kota Bobby Afif Nasution untuk meminta maaf atas insiden dugaan perintangan dan intimidasi oleh tim pengamanan terhadap jurnalis beberapa waktu lalu. (IDN Times/Prayugo Utomo)

Perayaan hari raya Idul Fitri di Indonesia sudah identik dengan tunjangan hari raya (THR) bagi para buruh. Sesuai ketentuan Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan, perusahaan wajib hukumnya membayarkan tunjangan ini kepada pegawainya sesuai perhitungan masa kerja. 

Mendapat THR tentu menjadi momen dinanti para pekerja harian atau pun penuh waktu. Tidak terkecuali bagi Rara (32), seorang kuli tinta di salah satu media lokal di Kota Medan. 

Namun bagi Rara, pembayaran THR bukan menjadi sesuatu hal yang antusias dinanti. Selain besaran yang tak seberapa akibat terkena potongan perusahaan, waktu pembayarannya pun melenceng jauh dari jadwal.  

Tujuh tahun lamanya berprofesi sebagai jurnalis, ia tak menyangka nasibnya akan sama seperti para buruh yang selama ini menjadi tema artikel berita.  Harus mengalami persoalan ketenagakerjaan, dari pemotongan gaji hingga tunjangan karyawan.   

"Terhitung sudah tujuh tahun kerja di sini. Pada lima tahun kerja, aku terima gaji lancar-lancar aja," keluhnya kepada IDN Times, Minggu (1/5/2022).

Semua gara-gara pandemik COVID-19. Sejak dua tahun terakhir, perusahaan media di Medan  tempatnya bekerja terdampak kondisi keuangannya. Perusahaan pun mulai berani melakukan pemotongan gaji secara sepihak, termasuk pula diberlakukan pada jurnalis. 

Tak berhenti sampai di situ, hingga evaluasi besaran pembayaran THR dengan alasan pandemik. Seperti pada tahun 2021 silam, di mana THR karyawan disunat 50 persen dari semestinya. Tahun 2022 ini sedikit lebih baik, THR mampu dibayarkan penuh. 

"Meski gaji tersendat, alhamdulillah THR tahun ini lengkap," ujarnya.

Pandemik COVID-19 sepertinya sudah menjadi alasan klasik perusahaan. Sebagai seorang jurnalis memiliki masa kerja 7 tahun, ia hanya memperoleh penghargaan Rp2 juta per bulan. Besarannya pun masih di bawah ketentuan upah minimum kota (UMK) Medan yang ditetapkan sebesar Rp3.370.645 per bulan. 

Apalagi bila dibandingkan hasil survei Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta yang menetapkan upah layak jurnalis muda kisaran Rp8,3 juta per bulannya. 

"Gaji yang biasanya lengkap tanpa potongan, tapi sekarang itu dipotong untuk biaya Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dan Ketenagakerjaan," ungkapnya. 

Persoalan ini akhirnya yang menjadi pertanyaan para karyawan. Bersama dengan sejumlah rekannya, ia mencoba berdialog dan mediasi ke pihak perusahaan. Hasilnya nihil, jawaban perusahaan tidak memuaskan. 

Ini pula yang akhirnya melatari Rara, menerima side job  penulisan buku biografi, salah seorang kepala daerah di Sumatra Utara. Pekerjaan sampingan yang dikerjakan di luar jam kerja tugasnya sebagai seorang wartawan. 

"Ikut proyek seperti ini bisa membantu keuangan per bulannya, di tengah kondisi gaji yang tidak lancar dari perusahaan," ceritanya.

Meskipun begitu, jurnalis ini tetap bersyukur masih diberi kesempatan untuk merasakan momen Ramadan bersama keluarga. Ia juga mengatakan pendapatannya terbilang cukup untuk pemenuhan kebutuhan di Kota Medan. Apalagi, dirinya menyenangi profesi sebagai pekerja media. Ia pun berujar sudah merasa puas dengan rezeki yang diberikan Allah padanya.

“Kalau disyukuri, ya rezeki ini sudah cukup. Gaji segitu cukup untuk kebutuhan, tapi kalau untuk gaya hidup pasti kurang. Aku nikmati saja apa yang ada sekarang, pasti ada saja kok rezekinya. Untuk profesi saat ini masih nyaman-nyaman aja,” ungkapnya.

Status Rara masih bujang dan tinggal bersama ibu dan kakak. Meskipun dengan gaji pas-pasan, ia masih masih bisa membantu kebutuhan rumah tangga keluarganya. 

2. Lapor karena tak mendapatkan THR, malah dipecat perusahaan

Potret Buruh, Merayakan Hari Kemenangan di Tengah Keterbatasan Ilustrasi PHK. (IDN Times/Aditya Pratama)

Lain lagi cerita, seorang karyawati perusahaan rintisan di Mojokerto Jawa Timur (Jatim) bernasib lebih malang. Genap setahun bekerja, perempuan inisial WA (22) ini harus mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) dari perusahaannya. Padahal, ini adalah pekerjaan pertamanya selepas lulus dari bangku perkuliahan. 

Alasannya sederhana, ia sekadar memperjuangkan hak karyawan memperoleh THR di masa lebaran. Untuk itu, WA pun nekat mengadukan perlakuan perusahaannya ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya. 

Alih-alih memperoleh respons positif, perusahaan malah melayangkan surat PHK. Padahal, perusahaan jelas-jelas melanggar ketentuan Surat Edaran Kementerian Tenaga Kerja RI tentang Pelaksanaan Pemberian THR Keagamaan Tahun 2022. Membayar ketentuan THR lebaran bagi karyawan. 

Jangan kan dirinya yang baru bekerja setahun, sedangkan temannya yang sudah bekerja 7 tahun pun mengalami nasib sama. "Ini semua karyawan tidak dapat, teman saya yang sudah 7 tahun lebih kerja juga tidak dapat," ujarnya. Perusahaan beralasan tidak memiliki cukup dana disebabkan penurunan pendapatan. 

"Tapi pihak perusahaan bilang itu sambil ketawa-ketawa. Terus ditanya lagi sama teman saya, dan memang tidak ada sampai sekarang," ungkap WA.

Selepas LBH Surabaya turun tangan menyurati perusahaan, sikap pimpinan mendadak berubah. Perusahaan sepertinya curiga, surat dari LBH Surabaya tersebut ada sangkut paut dengan karyawan. Secara tertutup, beberapa karyawan memang mengisi formulir pelaporan yang disodorkan pihak LBH.  

"Sikap bos saya berbeda, saya gak tau kenapa. Teman-teman saya juga merasakan demikian. Dia pun mengira kalau LBH ini ada sangkut pautnya sama saya," cerita WA.

Puncaknya baru-baru ini terjadi, Sabtu (30/4/2022). WA mendadak menerima surat PHK dari perusahaan. Perusahaan berdalih sedang melakukan proses restrukturisasi sehingga melakukan pengurangan karyawan, tujuannya untuk menyelamatkan keuangan kantor. 

"Teman saya sebelumnya juga ada yang di-PHK, dia juga melapor ke LBH," kata WA.

WA pun mengaku kecewa. Buyar sudah impiannya berbagi kebahagiaan bersama para keponakan. Sebuah pencapaian yang diagendakan jauh hari menikmati hasil kerja pertamanya sebagai karyawan. 

Seperti ungkapan, "Sudah Jatuh Tertimpa Tangga". Haknya sebagai karyawan tidak dibayarkan dan kini menjadi pengangguran. Sampai di sini, harapan karyawan hanya bisa disampaikan kepada pemerintah. 

"Pemerintah juga harus mengejar perusahaan-perusahaan yang melanggar aturan, apalagi yang memberi upah di bawah UMR," pungkasnya. 

Baca Juga: Sopir Pikap Laka di Balikpapan, Meninggal Dunia di RS Samarinda

3. Kisah buruh di Balikpapan, gaji masih dipotong sejak pandemik

Potret Buruh, Merayakan Hari Kemenangan di Tengah Keterbatasan Ilustrasi pekerja pabrik. (ANTARA FOTO/Siswowidodo)

Nasib kurang lebih sama dialami buruh di Kalimantan Timur (Kaltim), tepatnya di Kota Balikpapan. Persoalan masih berkuat persoalan pemotongan gaji hingga THR yang urung dibayar. 

Ini dialami seorang karyawati swasta bernama Mawar (27) bukan nama sebenarnya. Ia yang sehari-hari bekerja di perusahaan swasta masih harus mengalami pemotongan gaji 20 persen dari gaji setara UMR Balikpapan sebesar Rp3,2 juta. 

Pemotongan ini dialami sejak akhir tahun 2021 lalu, tepatnya di bulan November. 

Mawar sudah bekerja di perusahaan swasta ini kira-kira lima tahun. Pekerjaan pertama selepas lulus dari kuliah yang ditekuninya sampai sekarang. Meskipun gajinya pas-pasan, tapi sesuai dengan bidang keterampilannya. 

Di pekerjaan ini, Mawar mengalami pemotongan gaji sebesar 20 persen. Perusahaan tempatnya bekerja juga kerap terlambat membayar gaji. Kendati begitu ia tidak punya pilihan lain, beberapa kali melamar kerja di tempat lain belum berbuahkan hasil. 

Karena itu, Mawar mulai berusaha sampingan menjadi reseller produk tanaman, demi mendapatkan penghasilan lebih. Menurutnya, uang dari hasil menjadi reseller tersebut dapat digunakan untuk tambahan-tambahan kebutuhan maupun jajan dirinya atau anak. 

Ia sendiri masih belum tahu apakah akan memulai usaha ke depannya. Yang jelas saat ini ia ingin pekerjaan yang bisa memenuhi kebutuhan keluarga kecilnya. Sebagai pekerja atau buruh, ia memang bergantung pada gaji dari perusahaan.

Meskipun kini dengan berjalannya waktu, perusahaan dianggap mulai berbenah dalam mengupayakan hak-hak karyawan. 

"Sehingga sebagai karyawan setidaknya kami cukup mengetahui alasan tidak terpenuhinya hak-hak karyawan dua tahun terakhir. Perusahaan saat ini juga mulai mengupayakan pemenuhan hak karyawan seperti gaji, meski dengan kondisi yang jauh dari ideal," ungkapnya. 

Melihat kondisi buruh, termasuk dirinya, Mawar mengakui bahwa peran pemerintah masih belum terasa. Terutama dalam memberikan kesejahteraan bagi kaum buruh. Layanan pengaduan yang dimaksud ini dikelola Dinas Tenaga Kerja Kota Balikpapan. Namun tetap saja penetapan kenaikan upah minimum di tahun ini pun tidak sebanding dengan kondisi harga kebutuhan yang kian melonjak. 

"Apa mungkin pemerintah sudah merasa cukup menjalankan tugas mereka sebagaimana mestinya. Padahal ada aturan yang harus dipastikan apakah berjalan sesuai ketentuan atau tidak. Jujur saja saya merasakan belum ada upaya lebih pemerintah dalam memperjuangkan nasib kami para buruh," tandasnya. 

Untungnya saja, kekurangannya terpenuhi oleh kondisi perekonomian sang suami yang mencukupi. Bekerja di perusahaan swasta bidang alat berat, suaminya tidak mengalami persoalan ketenagakerjaan seperti sudah dialaminya. 

Jadilah kebutuhan rumah tangga cukup aman, dari pembayaran cicilan rumah, keperluan sehari-hari, hingga mengirim uang ke orangtua. Sisa pendapatan pasangan suami istri ini dianggap mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari. 

"Ya kalau sebelum dipotong cukup pendapatan kami digabung. Tapi sejak dipotong jadi ngepas. Karena uang suami juga dialokasikan untuk nyicil rumah sampai 50 persen. Suami juga masih ngasih ke orangtua, jadi yang tersisa gak sampai Rp1,5 juta per bulan. Makanya ditambahan dari pemasukan saya. Eh, dipotong," ungkapnya. 

Mawar saat ini masih tinggal bersama keluarga kecilnya di rumah orangtua. Selain orangtua, ia juga tinggal dengan dua adik kandungnya. 

4. Buruh perempuan pembersih toilet, berjibaku dengan kotoran dan berharap jadi karyawan tetap

Potret Buruh, Merayakan Hari Kemenangan di Tengah Keterbatasan Ngatimah, buruh pembersih toilet di pusat perbelanjaan di Kota Semarang. (IDN Times/Anggun Puspitoningrum)

Perempuan bertubuh kecil berseragam warna abu-abu itu tampak sigap mengambil alat pembersih lantai lalu masuk ke bilik toilet. Dia mengeluarkan kantong plastik berisi kotoran muntahan pengunjung yang pingsan di bilik toilet tersebut lalu membuangnya. 

Selanjutnya, ia membantu mengangkat pengunjung yang pingsan itu dan memindahkan ke kursi roda kemudian mengeluarkan dari toilet umum tersebut. Tidak ada rasa jijik atau panik dari wajah perempuan itu saat harus menangani masalah yang sedang terjadi di sana.

Pekerjaan itu sudah menjadi rutinitas Ngatimah, buruh pembersih toilet di sebuah pusat perbelanjaan di Kota Semarang. Sudah enam tahun ia bekerja di tempat orang biasa membuang hajat itu. Mulai dari membersihkan WC, wastafel dan kadang kala juga area mal.

Bagi seorang pekerja pembersih toilet seperti Ngatimah, berjibaku dengan kotoran setiap hari tidak membuatnya jijik atau panik. Duka lain selama menjalani profesi itu adalah bertemu dengan pengunjung dengan berbagai karakter. 

‘’Pernah saya dituduh mengambil HP milik pengunjung. Jadi ada kejadiannya ada pengunjung yang handphone-nya ketinggalan di toilet lalu saat dia kembali handphone-nya sudah tidak ada. Dia marah-marah menuduh saya yang mengambil. Padahal, sebelum saya membersihkan bilik toilet ada pengunjung lain yang masuk. Itu bikin saya panik banget,’’ ceritanya saat ditemui IDN Times, Kamis (28/4/2022).

Dongkol dan marah sepertinya sudah jadi "makanan" setiap hari. Tapi Ngatimah harus profesional, menerapkan 5S, yakni senyum, salam, sapa, sopan-santun, dan melayani dengan hati. Sebab, perempuan berusia 37 tahun itu harus bekerja sebagai pembersih toilet untuk membantu ekonomi keluarga. Penghasilan suaminya sebagai sopir tidak menentu. 

‘’Maka, untuk menambah pemasukan keluarga ya saya harus kerja,’’ tuturnya.

Jadilah Ngatimah pulang pergi dari rumahnya di Demak menuju tempat kerjanya pusat perbelanjaan di Simpang Lima Semarang. Jarak di antara kedua kota ini cukup lumayan, satu jam perjalanan darat. Di mal ini, ia mengemban tugas dua sif, yakni mulai pukul 07.00 - 15.00 dan 15.00 - 23.00 Wib. 

‘’Kalau masuk sif pagi, saya jam 06.00 sudah berangkat dari rumah. Lalu, jam 07.00 sudah mulai bekerja membersihkan area mal kemudian berjaga di toilet dan membersihkan bilik-biliknya tiap setelah pengunjung menggunakannya,’’ kata ibu dua anak itu.

Dari pekerjaannya itu, Ngatimah menerima gaji sebesar nilai UMK Semarang Rp2.835.000. Upah tersebut dibayar penuh jika ia bekerja selama 26 hari tanpa henti. Namun, jika ia tidak bekerja secara penuh, siap-siap akan ada pengurangan upah.

Ngatimah juga tidak menerima tunjangan lain selain gaji tersebut. Ia baru mendapatkan tambahan penghasilan jika ada temannya yang libur atau izin, sehingga honor lembur masuk ke kantong Ngatimah. Tentu dengan perhitungan seperti itu sangat sulit baginya untuk izin tidak masuk kerja.

Meski demikian, upaya Ngatimah untuk setia dengan pekerjaannya sempat pupus ketika pandemik COVID-19 melanda. Berbagai aturan seperti pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) berdampak pada pemasukan.

‘’Jadi, karena pandemik dan PPKM ada kebijakan dari perusahaan bahwa kami harus sehari masuk sehari libur. Itu tentu berdampak pada upah yang saya terima, karena per bulan saya hanya menerima separuh gaji. Pandemik pun juga berimbas pada suami saya, ia menjadi tidak punya pekerjaan karena ada pembatasan sosial. Ya, akhirnya pemasukan untuk keluarga yang cuma dari saya harus dicukup-cukupkan,’’ jelasnya.

Kini, Ngatimah cukup lega dengan melandainya pandemik COVID-19. Artinya, ia bisa kembali bekerja secara penuh dalam sebulan. Dengan segala lika-liku yang dihadapi, ia bersyukur masih bisa bekerja memenuhi kebutuhan keluarga, sekaligus menerima hak-haknya sebagai karyawan. 

Apalagi perempuan ini masih menggantungkan cita-cita, agar nantinya statusnya permanen sebagai karyawan perusahaan.  

‘’Selama enam tahun bekerja hingga sekarang status saya masih sebagai pekerja outsourcing (alih daya) dari perusahaan pihak ketiga mal. Setiap tahun saya masih harus memperbaharui kontrak dengan perusahaan yang mempekerjakan saya,’’ ujarnya.

5. Kisah sopir Shuttle Bus Soetta, tetap bersyukur meski tak bisa mudik

Potret Buruh, Merayakan Hari Kemenangan di Tengah Keterbatasan Terminal 2 Soekarno Hatta. (IDN Times/Hana Adi Perdana)

Setelah dua tahun tak pulang ke kampung halaman, Surya (50) kembali harus menahan rasa rindu untuk sanak saudara, lebih lama lagi. Tahun ini, ia harus bekerja saat Idul Fitri.

Bukan tanpa sebab, hal tersebut lantaran ia kembali dipekerjakan sebagai sopir Shuttle Bus Bandara Soekarno-Hatta (Soetta). "Baru satu minggu ini kerja jadi sopir Shuttle Bus Bandara Soetta lagi," kata Surya, Sabtu (30/4/2022).

Dia pun harus menunda agenda mudiknya tahun ini. Padahal, ia telah merencanakan bakal pulang kampung tahun ini.

"Sudah bilang sama orangtua dan istri (mau mudik), tapi tiba-tiba saya dipanggil lagi buat kerja, jadi batal mudik. (Saya) sedih, tapi sekaligus senang, karena kalau jadi sopir gajinya alhamdulillah jauh dari jadi buruh kaya kemarin," tuturnya.

Di sisi lain, Surya pun harus pasrah tidak menerima THR lebaran periode kerjanya juga terbilang baru.  "Gapapa juga (gak dapat THR), yang penting saya dapat kerjaan lebih enak, gajinya juga," kata dia.

Pantas saja Surya bersyukur di situasi sekarang ini. Pasalnya sebelumnya selama hampir dua tahun, ia sempat jadi pengangguran. Itu terjadi saat pengelola Bandara Soekarno - Hatta menghentikan operasional shuttle bus tahun 2020. Otomatis, pria yang bekerja sebagai sopir bus terkena dampak PHK. 

 "Karena waktu itu dibatasi ya angkutan umum, terus shuttle itu kan selalu penuh, jadi distop waktu itu," kata Surya.

Setelah di-PHK, Surya pun lantas banting setir menjadi buruh pabrik penghasilan Rp100 ribu untuk 12 jam waktu kerja. Di tempat ini, ia harus banting tulang mengangkat-angkat barang dengan gaji tak seberapa. 

Tambahan pemasukan hanya mengandalkan jam lembur hingga malam hari. 

"Dari jam 7 pagi sampai jam 7 malam gajinya Rp100 ribu per hari, kalau lembur sampai jam 10 malam Rp9 ribu, ya lumayan," jelasnya.

6. Buruh Bandar Lampung sambut lebaran 2022 dengan keterbatasan

Potret Buruh, Merayakan Hari Kemenangan di Tengah Keterbatasan Ma’in, buruh taman di Bandar Lampung. (IDN Times/Rohmah Mustaurida).

Isu kesejahteraan buruh memang tiada habisnya untuk dibahas. Sudah menjadi rahasia umum, jika buruh di Indonesia merupakan salah satu pekerjaan yang memiliki gaji relatif rendah. Apalagi adanya pandemik COVID-19, buruh merupakan salah satu kelompok paling rentan terdampak persoalan ketenagakerjaan. 

Seperti kisah dua buruh di Bandar Lampung ini. Mereka harus memenuhi kebutuhan lebaran tahun ini dengan pendapatan yang minim. 

Ma’in merupakan buruh lepas di dua tempat berbeda. Warga Kecamatan Kedamaian Bandar Lampung ini bekerja sebagai office boy kolam renang, dan buruh taman yang jasanya tak menentu. 

“Di kolam renang sudah setahun lebih, tapi saya kerjanya dua minggu sekali karena cuma perawatan saja. Makanya saya nyambi buruh taman, lumayan pas ada yang ngajak. Kalau di kolam saya dapat satu jutaan lebih lah sebulan, kalau buruh taman gini harian, sehari 80 ribu. Sebenarnya cukup-cukup aja ya, soalnya kalau mengikuti hawa nafsu mah tak pernah cukup," kata Ma’in di sela waktu kerjanya menanam tumbuhan di halaman depan Lampung City Mal, Jumat (29/4/2022).

Sementara itu ada Udin warga Kecamatan Kedaton, bekerja sebagai kuli tinta di salah satu media online di Lampung. Ia mengaku mencintai pekerjaannya, meskipun dari mata pencahariannya tersebut Ia hanya digaji Rp2,6 juta per bulan. Pas senilai UMR Kota Bandar Lampung. 

Baik Ma’in maupun Udin sudah memiliki keluarga kecil mereka sendiri. Ma’in tinggal di rumah bersama istri dan dua anaknya. Meski hanya rumah sederhana, ia bersyukur status kepemilikannya rumah sendiri. 

Istri Ma'in seorang tukang pijat dengan pendapatan tak menentu. Sedangkan istri Udin adalah seorang ibu rumah tangga yang fokus mengurusi keluarga. 

Ma’in secara pribadi ingin wiraswasta dengan memberdayakan istri membuka kios di rumah. Namun Istri Ma’in tidak memiliki niat dan tekat untuk berdagang sama sekali.

Lain halnya dengan Ma’in, Udin sudah merasa puas dengan rezekinya. Pekerjaannya saat ini membuat hidupnya cukup bahagia.

“Kalau saya nikmati saja apa yang ada sekarang, pasti ada saja kok rezekinya. Kalau mau pindah ke sebelah (pekerjaan lain) belum tentu lebih bagus, kalau saya dagang mungkin akan dapat uang lebih banyak tapi badan capek. Sedangkan kerja begini meski (gaji) kecil, tapi pikiran dan badan juga santai,” ungkapnya.

Paling tidak, mereka berdua mampu memenuhi kebutuhan primer keluarga termasuk di masa lebaran ini. Salah satunya membelikan baju baru bagi istri dan anak-anaknya. Keduanya sama sekali tidak memikirkan keperluan pribadi. 

“Istri juga Alhamdulillah sudah beli, tapi kalau saya mah enggak usah lah, paling beli sandal saja untuk salat,” imbuh Ma’in singkat.

Selain juga tetap berusaha merayakan hari lebaran dengan sajian lumayan mewah. Ada penganan kue kering, hingga ketupat plus lauknya tersaji lengkap di meja makan.  

Apalagi tidak setiap hari juga mereka menjamu para tamu yang mayoritas adalah sanak saudara. 

“Alhamdulillah kalau untuk lebaran nanti di rumah rencananya ada ketupat dan gulai ayam. Itu saja sudah cukup,” imbuh Ma'in yang diamini juga Udin. 

Persoalan dialami pekerja buruh harian lepas memang masih jadi pekerjaan rumah. Contohnya kasus Ma'in dan Udin. Bantuan pemerintah di masa pandemik COVID-19 tidak mengena kepada kelompok masyarakat ini. 

Hanya gara-gara tidak memiliki Kartu BPJS Ketenagakerjaan hingga fasilitas bantuan negara luput diterima. Semestinya bantuan diperuntukkan kepada mereka yang benar-benar membutuhkan, namun kenyataannya masyarakat harus memenuhi syarat-syarat tertentu untuk mendapatkan haknya.

“Bansos seharusnya tepat sasaran, diberikan kepada yang memang membutuhkan tanpa harus ada syarat punya ini lah itu lah. Karena kenyataan di lapangan begitu kan, banyak buruh yang mestinya dapat tapi tidak dapat,” kata Udin.

Tim penulis: Fatmawati (Balikpapan), Khusnul Hasan (Surabaya), Maya Aulia Aprilianti (Tangerang), Rohmah Mustaurida (Lampung), Anggun Puspitonngrum (Semarang), dan Masdalena Napitupulu (Medan). 

Baca Juga: Kisah Buruh di Balikpapan, Gaji Masih Dipotong Sejak Pandemik

Topik:

  • Sri Wibisono

Berita Terkini Lainnya