Kaltim Jadi Ibu Kota Baru, Minimalkan Potensi Gegar Budaya

Jangan sampai budaya asli menghilang

Samarinda, IDN Times - Pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) ke Kaltim di sebagian Kutai Kartanegara (Kukar) dan sebagian lagi di Penajam Paser Utara (PPU) membawa sejumlah dampak baik positif dan negatif.

Selain mendongkrak pertumbuhan ekonomi, namun juga menanggung risiko persoalan sosial dan budaya. Paling bikin waswas ialah tergerusnya budaya asli tatkala terjadi eksodus besar-besaran dari Jakarta sebanyak sekitar 1,5 juta jiwa menuju Benua Etam.

"Ya, itu memang membuat kita khawatir," ucap sosiolog budaya dari Universitas Mulawarman (Unmul), Aji Qamarah Hakim, Selasa (3/9).

1. Gegar budaya pasti terjadi

Kaltim Jadi Ibu Kota Baru, Minimalkan Potensi Gegar BudayaDok.IDN Times/istimewa

Walau demikian, Aji menuturkan, pemerintah tentu punya skema terbaik untuk menghindari hal tersebut terjadi di Kaltim. Sebab siap atau tidak, budaya dan suku-suku asli di Kaltim harus bisa menerima setiap perubahan yang ada.

"Gegar budaya atau culture shock itu sudah pasti. Tapi pemerintah pasti punya solusi," terangnya.

Kata Aji, dari sekian persoalan yang ada di Kaltim, urusan konflik suku dan selisih budaya itu jarang terjadi. Alasannya sederhana saja, sebagian besar penduduk Benua Etam itu welcome dengan siapa saja. Saat ini warga Kaltim itu cenderung heterogen. Namun demikian, saat terjadi migrasi besar-besaran heterogenitas itu makin bertambah."

2. Sama-sama mengalami gegar budaya

Kaltim Jadi Ibu Kota Baru, Minimalkan Potensi Gegar BudayaIDN Times/Mela Hapsari

Boleh jadi dalam prosesnya budaya asli bertahan atau bisa juga eksklusif dan kurang bisa beradaptasi kemudian menghilang. Itu yang bahaya, jadi harus siap-siap," terang alumnus Universitas Indonesia itu.

Dia menambahkan, yang kaget ketika ibu kota pindah itu bukan hanya warga Kaltim, tapi juga penghuni ibu kota yang akan pindah ke IKN baru. "Enggak mungkin 1,5 juta orang itu bisa langsung beradaptasi semua. Dari kota pindah ke kawasan yang baru berkembang," imbuh anggota Dewan Kesenian Kaltim.

Baca Juga: Antisipasi Tingginya Angka Kriminalitas di Ibu Kota Baru

3. Bila tak sepaham, gegar budaya akan menggiring kepada konflik sosial

Kaltim Jadi Ibu Kota Baru, Minimalkan Potensi Gegar BudayaANTARA FOTO/Wahdi Septiawan

Terpisah, pengamat sosial-politik Unmul, Lutfi Wahyudi tak menampik bila relokasi ibu kota itu akan membawa perubahan baru, pun demikian gegar budaya. Sebab, dua budaya bertemu. Persoalannya apakah keduanya bisa saling berdampingan atau tidak? Bisa saling menerima atau sebaliknya. "Saya pikir itu yang harus diperhatikan," sarannya.

Menurut dia, hal kecil yang harus diperhatikan ialah mereka yang sudah terbiasa hidup di Jakarta tentu akan merasa canggung saat bertemu budaya baru, lalu tahapan selanjutnya gegar budaya itu akan menggiring kepada konflik alias gesekan. "Tapi itu masih bisa dihindari, asalkan setiap warganya sudah siap dengan perubahan yang ada," tegasnya.

4. Mencoba dua gabungan kata ibu kota, ikam dan gue

Kaltim Jadi Ibu Kota Baru, Minimalkan Potensi Gegar Budayanews.cgtn.com

Dia menambahkan, hal paling mudah ditemui ialah persoalan bahasa. Misal, elu (kamu) dan gue (saya) bersanding dengan ikam (kamu) dan ulun (saya). Bayangkan saja jika keduanya bersatu, jadi ikam dan gue dicampur lagi dengan bahasa Inggris yang erat kaitannya dengan warga Jakarta Selatan. Dari segi makanan hal senada bisa juga terjadi kerak telur dengan lempeng pisang. "Jadi enggak selamanya negatif, bisa juga hal-hal yang menarik dan baru," jelasnya.

Kata Lutfi dalam ilmu sosiologi kontemporer dikenal tiga tahapan, yakni eksternalisasi ialah momen adaptasi diri dengan dunia sosio kultural, lalu objektivasi, interaksi dalam diri dalam dunia sosio kultural dan yang terakhir ialah internalisasi, saat bisa melakukan identifikasi diri dalam dunia sosio kultural. "Intinya harus bisa beradaptasi dan saling menyesuaikan diri," tegasnya.

5. Dinilai sudah tepat pindahkan ibu kota dari sisi administrasi bukan politik

Kaltim Jadi Ibu Kota Baru, Minimalkan Potensi Gegar BudayaIDN Times/Arief Rahmat

Dosen Fisip Unmul itu menerangkan, langkah yang dilakukan pemerintah itu sudah tepat karena hanya memindah administrasi pemerintahan bukan yang lain. Sehingga sekarang tak bisa lagi disebut, menguasai Jakarta bisa menjadi orang nomor satu di Indonesia. "Jadi bisa steril dari kepentingan politik," pungkasnya.

Baca Juga: Ini Profil Segitiga Emas Kecamatan, Pusat Pembangunan Ibu Kota Baru

Topik:

  • Mela Hapsari

Berita Terkini Lainnya