Kaum Kaharingan di Kalimantan Mempertanyakan Hak sebagai Warga Negara 

Penghayat kepercayaan ini masih mengalami diskriminasi hak

Balikpapan, IDN Times - Masyarakat Suku Dayak Kalimantan Tengah (Kalteng) meminta pengakuan agama Kaharingan sebagai bagian kelompok penghayatan kepercayaan. Penganut kepercayaan nenek moyang Borneo ini merasa masih mengalami diskriminasi dari negara.

“Tidak ada pencantuman agama aliran kepercayaan di kolom e-KTP saat ini,” keluh Sekretaris Majelis Agama Kaharingan Indonesia (MAKI) Nesiwati (53), Minggu (15/2/2021).

Negara sudah mengakui pencantuman kelompok penghayatan kepercayaan dalam sistem administrasi kependudukan. Dalam gugatan uji materi kelompok Baduy 2017 lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan penulisan aliran kepercayaan masuk kolom elektronik kartu tanda penduduk (e-KTP) dan kartu keluarga (KK). 

1. Warga Suku Dayak bahagia agama Kaharingan diakui

Kaum Kaharingan di Kalimantan Mempertanyakan Hak sebagai Warga Negara Upacara adat Suku Dayak di Kalimantan Tengah/Nesiwati

Atas turunnya putusan negara ini,  Nesiwati menyebutkan, mayoritas masyarakat Dayak sudah suka cita melestarikan Kaharingan sebagai warisan nenek moyang. Sebelumnya, pemuja Orai Langit dan Dara Bura Orai Tiana atau roh leluhur ini terpaksa harus mencantumkan agama lain diakui negara; Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu.

“Menjadi mimpi kami memperkenalkan agama leluhur,” ujarnya.

Nesiwati mengatakan, keputusan MK memang tidak secara eksplisit mengakui keberadaan Kaharingan sebagai agama negeri ini. Setidaknya, agama leluhur mereka masuk dalam aliran penghayat kepercayaan.

Menurutnya, keputusannya menjadi angin segar dimana Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mengakui keberadaan aliran kepercayaan. 

“Saya sudah merubah identitas agama e-KTP menjadi aliran kepercayaan,” ungkapnya.

Namun berubah sejak ada pergantian pucuk pimpinan Kemendagri. Negara tidak lagi menyediakan kolom agama aliran kepercayaan  di layanan e-KTP.

“Sekarang sudah tidak bisa lagi saat mendaftar e-KTP di catatan sipil,” ungkap Nesiwati.  

Penganut Kaharingan jumlahnya mencapai ribuan perwujudan Dayak Kalimantan. Kelompok ini menjaga ritual leluhur meskipun mencantumkan agama lain di kolom e-KTP.

Sehubungan itu, Nesiwati meminta negara mengakui Kaharingan sebagai bagian penghayatan kepercayaan. Tercatat sebagai secara resmi d e-KTP dan KK.

Baca Juga: Jarang Terekspos, 6 Tradisi Suku Dayak yang Menarik dan Unik

2. Kaharingan adalah filosofi hidup kearifan lokal Suku Dayak

Kaum Kaharingan di Kalimantan Mempertanyakan Hak sebagai Warga Negara Warga Suku Dayak merawat kelestarian alam Kalimantan/Putes Lekas

Pemuda Dayak Taboyan Barito Utara Kalteng Putes Lekas (34) menambahkan, Kaharingan merupakan filosofi hidup tentang kearifan lokal Kalimantan. Bagaimana interaksi antara manusia hidup berdampingan lestari bersama alam.

 “Kami menenung (semadi) untuk memperoleh firasat dari leluhur dalam melakukan segala hal,” ungkapnya.

Putes mencontohkan ritual khusus  berladang Suku Dayak yang harus melalui proses panjang. Sebelum membuka kawasan hutan, mereka wajib hukumnya memperoleh petunjuk leluhur.

Dayak Taboyan terbiasa menggelar ritual diakhiri prosesi menenung dalam menjalin komunikasi dengan leluhur.  Doa biasanya dijawab dengan pertanda sebilah kayu sudah tertancap dalam tanah.

“Leluhur akan memberi tanda, bila kayu bertambah panjang artinya kami dilarang berladang. Bila kayunya bertambah pendek, artinya dipersilakan dan tanahnya subur,” tuturnya.

Demikian pula saat mereka dewasa dan harus berumah tangga. Proses menemukan jodoh paling tepat pun dilakukan dengan menenung.

Prosesi sama, menenung dilakukan di sejumlah lokasi keramat bagi Kaharingan. Seperti contohnya jalur Pegunungan Lumut, Muller, dan Meratus.

“Leluhur berkomunikasi dengan kami secara langsung, seperti berbicara lewat telpon saja. Prosesi menenung dilakukan untuk berburu, kesaktian dan lainnya,” papar Putes.

Sebagai putra asli Dayak, Putes mengaku terus mengamalkan warisan Kaharingan dalam kehidupan sehari-hari. Ia tidak ingin terkena tulah atau bala kesialan menimpa keluarga saat mengabaikan tradisi diajarkan para leluhur sejak dulu.

“Saya punya ruangan khusus menenung saat berkomunikasi dengan leluhur,” ungkapnya. 

3. Negara diminta mengakomodasi kepentingan seluruh warga negara

Kaum Kaharingan di Kalimantan Mempertanyakan Hak sebagai Warga Negara Warga Suku Dayak di pedalaman Kalimantan Tengah/Putes Lekas

Sementara itu, Deputi Direktur Human Rights Working Group, Daniel Awigra menyatakan, negara harus mengakomodasi kepentingan seluruh warga. Dimana dalam hal ini, penganut agama dan aliran kepercayaan.

Menurutnya, persoalan kepercayaan dan agama merupakan hak mendasar dimiliki setiap manusia.

“Semuanya harus mempunyai hak yang sama, tidak bisa berlaku beda dengan lainnya,” tegasnya.

Daniel mengatakan, bangsa Indonesia merupakan kelompok heterogen terdiri pelbagai suku, bangsa, agama dan golongan. Suku-suku ini sejak zaman dahulu sudah percaya aliran kepercayaan seperti contoh; Kaharingan, Kejawen, Sunda Wiwitan, dan lainnya.

Pemerintah semestinya harus adil dalam memperlakukan kepentingan seluruh warganya, penganut agama dan aliran kepercayaan. Sehingga penganut aliran kepercayaan diakui dalam sistem administrasi kependudukan seperti enam agama lainnya.

“Ada puluhan aliran kepercayaan di Indonesia. Memang akan merepotkan dalam pendataan sistem administrasi kependudukan. Namun ini menjadi hak mereka,” ungkap Daniel.

Daniel mengatakan, Kementerian Agama harus menjadi perwujudan seluruh agama dan aliran kepercayaan di Indonesia. Menurutnya, kementerian berlaku sewenang-wenang dengan hanya memfasilitasi kepentingan kelompok mayoritas. 

“Kelompok minoritas juga menjadi warga negara Indonesia. Mereka punya hak dan kewajiban yang sama,” tegasnya.

Baca Juga: 8 Peribahasa Dayak Maanyan yang Bermakna Dalam, Sudah Tahu?

4. Lempar wacana penghapusan kolom agama di e-KTP

Kaum Kaharingan di Kalimantan Mempertanyakan Hak sebagai Warga Negara Ilustrasi KTP Elektronik atau E-KTP (IDN Times/Feny Maulia Agustin)

Sehubungan itu, Daniel lantas melemparkan wacana penghapusan kolom agama dalam sistem kependudukan Indonesia. Menurutnya, penghapusan kolom agama efektif mengurangi keruwetan dalam sistem kependudukan.

“Mungkin hanya Indonesia dan Israel saja yang masih mencantumkan kolom agama di e-KTP. Lebih banyak mudarat dibanding manfaatnya,” ujarnya.

Negara semestinya kembali pada fungsinya untuk menyejahterakan seluruh rakyat. Persoalan agama menjadi urusan pribadi masing-masing terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

“Agama merupakan hak pribadi setiap orang,” papar Daniel.

Saat ini, sejumlah aktivis penggiat hak asasi manusia (HAM) tanah air sudah mulai mempertanyakan urgensi pencantuman agama di kolom identitas. Langkah pengajuan uji materi Undang-Undang Kependudukan sudah disiapkan agar diajukan dalam persidangan di MK.

“Harus ada kesadaran di level masyarakat dan hakim konstitusi dalam memutuskan masalah ini,” papar Daniel.

5. Aliran kepercayaan belum dilayani dalam output sistem administrasi kependudukan

Kaum Kaharingan di Kalimantan Mempertanyakan Hak sebagai Warga Negara ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha

Sementara itu, Dirjen Kependudukan dan Catatan Sipil Kemendagri Zudan Arif Fakrulloh mengatakan, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Administrasi Kependudukan mengamanatkan aliran kepercayaan belum dilayani dalam output sistem administrasi kependudukan. Meskipun begitu, Dukcapil tetap diminta memasukkan data-data aliran kepercayaan dalam database kependudukan.

“Tetap masuk dalam data-data aliran kepercayaan ini,” ungkapnya.

Pasca putusan MK Tentang aliran kepercayaan, Mendagri pun menerbitkan surat edaran dimulainya pencatatan kependudukan aliran penghayat kepercayaan. Semisal tentang pencatatan perkawinan, dan pengakuan anak bagi aliran ini.

“Penghayat kepercayaan telah ditegaskan dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 96 Tahun 2018,” papar Zudan.

Zudan mengatakan, layanan dokumen kependudukan penghayat kepercayaan sudah mulai dijalankan sejak tahun 2019 lalu. Seperti pencatatan biodata, penerbitan nomor induk keluarga (NIK), KK, e-KTP, dan pencatatan perkawinan.

Kemendagri bahkan sudah meluncurkan tiga jenis format KK bagi penghayat kepercayaan. Format KK memeluk salah satu agama, pemeluk aliran kepercayaan, dan bila memilih agama dan aliran kepercayaan.

6. Polemik adanya agama Hindu Kaharingan di Kalimantan Tengah

Kaum Kaharingan di Kalimantan Mempertanyakan Hak sebagai Warga Negara Upacara adat Suku Dayak di Kalimantan Tengah/Nesiwati

Sedangkan, Kantor Agama Wilayah Kalteng menyatakan, Kaharingan sudah masuk jadi bagian Hindu sejak 1980. Menteri Agama di zaman itu, menurutnya sudah menerbitkan Surat Keputusan Nomor 37 Tahun 1980 Tentang Majelis Besar Kaharingan sebagai Badan Keagamaan Hindu.

“Kaharingan sudah berintegrasi ke Hindu agar bisa memperoleh pengakuan dari negara,” ungkap Kepala Bidang Hindu Kantor Agama Wilayah Kalteng Sistohartati.

Sistohartati mengatakan, Kaharingan satu-satunya aliran kepercayaan yang diakui keberadaannya oleh negara. Kementerian Agama membina langsung Kaharingan yang sudah menjadi bagian umat Hindu.

“Kalau aliran kepercayaan lain masuknya dalam Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,” tukasnya.

Sehubungan itu, Sistohartati meminta umat Kaharingan yang ingin memisahkan diri agar menghormati kesepakatan di masa lalu. Ia memastikan, pemerintah hanya mengakomodasi keberadaan enam agama dalam proses perekaman sistem administrasi kependudukan.

“Tidak ada kolom agama Aliran Kepercayaan di e-KTP. Hanya ada enam agama sudah diakui negara,” tegasnya.

Baca Juga: 6 Fakta Unik Tari Hudoq Suku Dayak Bahau Kalimantan Timur

Topik:

  • Sri Wibisono

Berita Terkini Lainnya