Biaya Akomodasi Jadi Masalah bagi Penyandang Thalassemia di Kalbar

Belum semua RS di Kalbar bisa layani transfusi thalassemia

Pontianak, IDN Times - Penyandang thalassemia di wilayah Kalimantan Barat (Kalbar) hingga saat ini berjumlah 250 orang, mereka terdiri dari bayi, anak-anak, remaja, hingga usia dewasa. Para penyandang thalassemia perlu perhatian khusus karena peningkatan hemoglobin di dalam tubuhnya tidak seperti orang normal lainnya.

Penyandang thalassemia tidak bisa menghasilkan sel darah merah sendiri karena ada kelainan genetika pada pembentukan sel darah merah, sehingga mereka harus dibantu dengan transfusi darah.

Angka 250 orang terbilang cukup banyak, ini adalah sebagian yang terdeteksi. Penyandang thalassemia terbanyak ada di Pontianak, kedua ada dari Kabupaten Sambas. Mereka melakukan transfusi darah atau pengobatan di RSUD Soedarso Pontianak.

Namun masih ada juga rumah sakit di kabupaten kota yang belum menyediakan layanan transfusi darah untuk penyandang thalassemia. Dalam hal ini, Dinkes provinsi Kalbar terus bersinergi dan akan membuka layanan pengobatan untuk mereka.

Di Kalbar sendiri, ada suatu perhimpunan para orang tua penyandang thalassemia. Wadah ini dibuat untuk para orang tua saling menguatkan, saling bertukar informasi. Persatuan Orangtua Penyandang Thalassemia Indonesia (POPTI) Provinsi Kalbar dibentuk sejak tahun 2001, diketuai oleh Windy Prihastari.

“Inilah cikal bakal kita membangun POPTI, para orangtua ini perlu interaksi, saling menguatkan satu dan lainnya agar bisa merawat anaknya,” jelas Windy, Sabtu (11/11/2023).

1. Pelayanan thalassemia di Pontianak sudah memadai

Biaya Akomodasi Jadi Masalah bagi Penyandang Thalassemia di KalbarAnak-anak penyandang thalassemia berwisata di Pontianak. (IDN Times/Istimewa).

Windy menyebutkan, pelayanan thalassemia di Kalbar sudah termasuk baik dengan adanya Rumah Sakitku Rumah Keduaku, di RSUD Soedarso Pontianak. Para penyandang thalassemia bisa melakukan transfusi one day care.

“Itu dapat penghargaan dari Menpan. Itu bisa jadi rumah mereka sendiri, jadi jangan sampai mereka merasa terbebani saat mereka transfusi, di sana disediakan game, buku-buku, televisi, internet, video game, dan mainan lainnya. Dan mereka bisa saling interaksi, baik para penyandang thalassemia dan orangtuanya,” ungkap Windy.

Namun dalam hal ini, belum semua daerah di Kalbar bisa melakukan transfusi untuk penyandang thalassemia. Sehingga beberapa dari mereka yang datang dari daerah mengalami kesulitan pada akomodasi, karena transfusi dilakukan setiap satu bulan sekali.

“Ada di beberapa daerah di Kalbar sudah bisa lakukan transfusi. Secepatnya akan menindaklanjuti bersama Dinkes dan Kabupaten Kota agar setiap daerah bisa lakukan transfusi darah dan tidak perlu ambil di Pontianak. Yang sudah siap ada di Kapuas Hulu, dan Mempawah. Ada beberapa yang sudah siap, dan ada yang belum siap,” ucapnya.

Baca Juga: Imigrasi Pontianak Imbau Pemohon Manfaatkan Aplikasi M-Paspor

2. Biaya akomodasi masih jadi permasalahan proses pengobatan

Biaya Akomodasi Jadi Masalah bagi Penyandang Thalassemia di KalbarKetua POPTI Kalbar, Windy Prihastari rekreasi bersama anak-anak penyandang thalassemia. (IDN Times/Istimewa).

Windy menceritakan, masih ada para penyandang thalassemia dari sejumlah Kabupaten di Kalbar yang datang ke Pontianak hanya untuk transfusi darah. Hal ini tentu sangat memberatkan mereka, terlebih, kata Windy, mereka berasal dari keluarga yang kurang mampu.

“Permasalahannya adalah para orangtua penyandang thalassemia adalah kebanyakan orangtua yang tidak mampu, memang ditanggung BPJS dan obat-obatannya tapi akomodasinya tidak ditanggung. Kita kadang mencari bantuan oleh para relawan untuk mengantar mereka dari RS mengambil darah agar nanti darahnya yang diambil dari PMI bisa langsung transfusi,” ujarnya.

Sampai saat ini, pengobatan penyandang thalassemia di Kalbar ditanggung oleh BPJS, begitu pula dengan obat-obatannya. Namun sampai saat ini, kata Windy, mereka masih membutuhkan donatur, baik itu berupa relawan yang dapat membantu menghibur anak-anak saat transfusi ataupun berupa dana untuk membantu akomodasi mereka yang kekurangan.

“Kita sebenarnya sudah ada sahabat thalassemia cuman kita memang masih membutuhkan masyarakat yang ingin jadi sahabat thalassemia, bukan hanya donasi berupa uang, tapi juga waktunya untuk menemani mengajak anak-anak thalassemia bermain, melakukan pemeriksaan psikolog penyandang thalassemia remaja,” sebutnya.

Cita-cita Windy sejak dulu adalah membuat rumah singgah untuk penyandang thalassemia. Bukan hanya sebagai rumah singgah, namun juga bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan keahlian mereka.

“Bahkan cita-cita saya ingin membuat rumah singgah, bukan hanya sebagai tempat singgah mereka, rumah itu juga sebagai tempt pelatihan anak-anak thalassemia yang sudah usia remaja, menjahit misalnya, membuat kue, desain grafis, sehingga mereka punya keahlian-keahlian sendiri,” ucap Windy.

3. Kisah Denis penyandang thalassemia kejar mimpi menjadi dokter

Biaya Akomodasi Jadi Masalah bagi Penyandang Thalassemia di KalbarKeseruan anak-anak penyandang thalassemia saat rekreasi di Pontianak. (IDN Times/Istimewa).

Pertama kali tahu anaknya menjadi penyandang thalassemia pada saat anaknya, Denisa berusia 3 tahun. Windy kaget saat pertama kali tahu anaknya terdiagnosis thalassemia, bahkan pada saat itu Windy baru mengetahui soal thalassemia.

“Pasti kaget pada saat itu saya tidak tahu thalassemia. Di tahun pertama kita merasa lemah, karena tidak ada yang menguatkan kita karena tidak selamanya kita merasa kuat.  Merasa lemah makanya kita saling menguatkan di POPTI, saling memberikan informasi dan saling menguatkan dan mengingatkan,” paparnya.

Saat ini Denis berusia 19 tahun, dia sedang menyelesaikan studinya di Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura Pontianak. Cita-citanya menjadi dokter, karena sejak kecil dia sudah terbiasa melihat jarum suntik.

“Denis penyandang thalassemia mayor setiap bulan harus transfusi darah. Dia mau jadi dokter karena sudah terbiasa dengan jarum dan rasa penasaran dengan keadaan yang dia alami ini,” kata Windy.

Semasa sekolah SMP, dan SMA, bukan rasa cemburu atau minder, Denis malah menjadi contoh atau memotivasi teman-temannya di sekolah. Dia juga sering ikut kegiatan-kegiatan sosialisasi thalassemia dengan ibunya.

Sejak kecil, Windy terus mengajarkan dan memberi pengertian kepada Denis agar tetap semangat menjalani hidup. Keduanya bisa saling menguatkan, sampai saat ini Denis sudah mandiri bisa pergi transfusi darah sendiri.

Alhamdulliah Denisa bisa melewati itu semua dan waktu sekolah dia jadi motivasi untuk yang lain. Sejak kecil saya selalu ajarkan untuk disiplin. Saya ASN, dia sekolah pada saat mau transfusi kita punya kesepakatan, sama-sama izin untuk pergi transfusi saya menemani dia,“ paparnya.

4. Penyandang thalassemia di Kalbar masih butuh pendonor darah tetap

Biaya Akomodasi Jadi Masalah bagi Penyandang Thalassemia di KalbarPj Gubernur Kalbar, Harisson bersama anak-anak penyandang thalassemia. (IDN Times/Istimewa).

Selama ini, kata Windy, Palang Merah Indonesia (PMI) selalu memprioritaskan para penyandang thalassemia. Karena harus setiap bulan melakukan transfusi darah, mereka setidaknya harus memiliki 20 pendonor darah tetap.

“Tapi kadang-kadang kosong mereka perlu adanya pendonor darah tetap maka kita punya aplikasi Sidoremi, setiap anak harusnya punya 20 pendonor darah tetap.

Kadang kan si pendonor ini tidak selalu siap, maka dibutuhkan 20 pendonor darah tetap agar mereka aman. Sampai sekarang kami masih membutuhkan masyarakat yang ingin menjadi pendonor darah tetap bagi penyandang thalassemia,” ungkapnya.

5. Pasangan pranikah harus screening thalassemia

Biaya Akomodasi Jadi Masalah bagi Penyandang Thalassemia di KalbarKetua POPTI Kalbar, Windy Prihastari saat berbelanja baju lebaran untuk anak thalassemia. (IDN Times/Teri).

Agar mencegah peningkatan angka penyandang thalassemia, Windy berharap agar setiap pasangan pranikah dapat melakukan screening thalassemia. Screening tersebut dapat dilakukan di laboratorium di Pontianak.

“Ketika kita melakukan screening thalassemia yang kita cegah ini jangan sampai membawa gen thalassemia karena 30 persen akan membawa anak thalassemia. Bisa jadi ketika punya anak semuanya thalassemia,” jelasnya.

Jika keduanya didiagnosis thalassemia, hanya kesadaran masing-masing bahwa mereka tidak boleh menikah. Jika pun mereka harus menikah, harus dibuat perjanjian bahwa mereka tidak boleh memiliki anak biologis.

“Harusnya dihindari, kalau sudah saling menyayangi tapi harus memikirkan ke depan, kasihan anaknya. Kita kemarin bekerja sama dengan dokter patologi klinik dia membawa alat screening untuk thalassemia dan hasilnya langsung ada di situ,” tukasnya.

Baca Juga: Kurir Narkoba di Pontianak Selundupkan Sabu 1 Ons di Lubang Anus

Topik:

  • Sri Wibisono

Berita Terkini Lainnya