Kisah Supardi, Petani Muda Paser yang Belajar Tani hingga ke Jepang

Sebut pertanian Indonesia butuh subsistem untuk berkembang

Balikpapan, IDN Times - Muhammad Supardi (34) tak seperti anak muda pada umumnya. Pemuda kelahiran Tanah Grogot Kabupaten Paser Kalimantan Timur (Kaltim) ini mantap dengan pilihannya menjadi seorang petani. 

Supardi mengatakan, ia memilih menjadi petani karena ini adalah usaha yang mudah diperbarui. Selain itu kapasitasnya juga bisa ditingkatkan. Dirinya juga mengaku memang lebih banyak condong pelestarian lingkungan. Apalagi dengan pertanian bisa memberi banyak orang makanan. 

"Jepang walaupun negara teknologi tapi pertaniannya sangat pesat. Tanpa pertanian, sahabat apapun suatu negara akan percuma. Apalagi di Indonesia grafik petani muda sangat merosot. Rata-rata usia petani di Indonesia di atas 50 tahun. Kalau begini 10 tahun kedepan petani bisa sangat jarang," katanya, Jumat (11/6/2021). 

Beberapa komoditas pertanian ia kembangkan. Pernah pepaya, dan kini ia mulai mengembangkan perkebunan cabai. Lulusan SMK Jurusan Pertanian di Paser ini bahkan sempat memperdalam ilmu soal pertanian dengan magang kerja ke Jepang. 

Selama sesi wawancara dengan IDN Times, Supardi berpendapat, bangsa Indonesia sebenarnya mempunyai modal kuat dalam mengembangkan industri sektor pertanian. Kuncinya hanya satu, saat pemerintah menerapkan kebijakan yang berpihak demi kepentingan para petani. 

1. Petani masih sulit pasarkan hasil panen

Kisah Supardi, Petani Muda Paser yang Belajar Tani hingga ke JepangKebun Pepaya yang dikembangkan Supardi. (Dok IDN Times/ Istimewa')

Supardi pada dasarnya memang punya latar belakang seorang petani. Lahir dan besar dari keluarga petani hingga memilih sekolah kejuruan yang fokus dalam teknik bercocok tanam. 

Wajar saja, ia tidak ingin setengah-setengah dalam mengembangkan profesinya ini. 

"Saya berpikir, bertani juga harus punya skill. Akhirnya saya sekolah pertanian, SMK. Lalu saya memilih skill agronomi. Saya mau fokus bertani," ungkapnya. 

Lewat bidang keilmuan ini, menurut  Supardi,  ia bisa total menekuni pertanian. Di sisi lain, ia pun bisa mengaplikasikan ilmunya pada lahan pertanian milik orangtua.  

"Banyak ilmu saya dapat. Salah satunya dari segi produksi. Bagaimana agar pemasarannya baik. Sayangnya di Indonesia ini sistem pasarnya masih jauh dari baik. Petani masih kesulitan dalam pemasaran," terangnya. 

Supardi mengatakan, Indonesia tidak memiliki sistem pasar yang baik bagi para petani. Permasalahan ini sering ia sampaikan langsung pada instansi di tingkat kabupaten, provinsi hingga kementerian pusat. 

Lain cerita di luar negeri, di mana kebijakan negara sangat berpihak demi kepentingan para petani. Petani di sana hanya fokus bagaimana bertani dengan baik tanpa harus terbebani tentang memasarkan hasil produksi pertanian. 

"Sementara di luar negeri sistem pasarnya jelas. Petani tinggal berproduksi. Ada yang memasarkan. Ada banyak nilai tambah bagi petani," ungkapnya. 

Baca Juga: Marak Tambang Liar, Komisi III DPR RI Kunjungi Polda Kaltim 

2. Belajar pertanian dengan magang di Jepang

Kisah Supardi, Petani Muda Paser yang Belajar Tani hingga ke JepangSupriyadi bersama keluarga angkatnya di Jepang. (Dok. IDN Times/ Istimewa)

Meskipun begitu, Supardi tidak patah arang serta berusaha mengasah ilmu tentang pertanian. Termasuk di antaranya mengikuti pelatihan di Binuang Kalimantan Selatan (Kalsel) hingga lolos seleksi mengikuti magang kerja setahun di Jepang pada tahun 2014 hingga 2015. 

"Alhamdulillah berhasil. Akhirnya ada tawaran pelatihan di Binuang Kalsel, Saya ikut pelatihan. Di sana mulai membahas tentang magang di Jepang," terangnya. 

Pria kelahiran 1987 ini memperoleh pembinaan sebulan tentang tradisi budaya sekaligus bahasa Jepang. Akomodasi dan transportasi ditanggung Pemerintah Indonesia. Selanjutnya seluruh biaya ditanggung pihak Jepang.

Di sini, Supardi belajar tentang bagaimana Jepang sebagai negara dengan luas lahan terbatas serta beriklim sub tropis mampu memproduksi hasil pangan dengan baik. Ia magang di Japan Agriculture (JA) sebagai perusahaan negara yang fokus dalam pengelolaan pertanian di Jepang. 

"Kami di sana tinggal di bapak angkat. Kami bertugas di sana sama seperti bertani di sini," terangnya yang kini tergabung dalam organisasi Ikatan Keluarga Alumni Magang Jepang (Ikamaja).

"Saya juga lebih banyak belajar tentang bagaimana menanam Jeruk di Jepang. Tanaman jeruk sepanjang waktu ada di Jepang," paparnya.

Selama setahun di Jepang, Supardi mengaku takjub tentang bagaimana Jepang sebagai negara maju dunia malahan sangat mengutamakan sektor pertanian. 

3. Teknik pertanian di Jepang dengan mengoptimalkan teknologi

Kisah Supardi, Petani Muda Paser yang Belajar Tani hingga ke JepangOrang-orangan sawah di kebun ubi Iyashi No Sato Nenba. 7 Desember 2019 (IDN Times/Febriyanti Revitasari)

Supardi mengungkapkan, teknik pertanian di Jepang pada prinsipnya tidak jauh berbeda dengan di Indonesia. Bahkan, tantangan di Jepang jauh lebih berat mengingat negara ini masuk kelompok sub tropis di mana dalam setahun terdapat empat musim. 

Ini membuat proses bercocok tanam di Jepang tidak semudah di Indonesia. Warga Jepang harus mampu memperkirakan sejak awal pertanian hingga memasuki batas waktu pergantian musim. 

"Misal jenis padi usianya tiga bulan. Maka sebelum tiga bulan harus dipersiapkan," papar Supardi. 

Sehingga tidak mengherankan pula bila etos kerja warga Jepang jauh di atas semangat masyarakat Indonesia pada umumnya. Mereka harus mampu mengoptimalkan potensi mengingat beratnya tantangan kondisi geografis di Jepang. 

"Yang membedakan etos kerjanya saja. Satu menit saja kita terlambat mereka akan sangat marah," jelas Supardi. 

Selain itu, Supardi juga menyebutkan, teknik pertanian di Jepang juga sudah banyak memanfaatkan teknologi pertanian. Pemanfaatan teknologi pertanian sangat efektif dalam memangkas waktu dalam bekerja. 

Seperti contohnya penggunaan traktor bajak sawah hingga teknik penjemuran padi dalam ruangan. Mereka pun lazim bercocok tanam tanam di gedung atau media selain sawah. Namun hasilnya, secara kualitas dan kuantitas hasilnya jauh lebih melimpah. 

"Tradisional berkurang dan jarang ditemukan. Salah satu contohnya penjemuran padi di Indonesia menggunakan matahari. Di Jepang di dalam ruangan," terangnya.

"Umumnya di Jepang mereka tetap menggunakan traktor. Hanya traktor yang mereka miliki, dari jenis roda empat yang kecil, hingga yang paling besar mereka ada. Kalau kita menggunakan hand tractor," imbuh Supardi. 

Sementara dari segi cara pemupukan tidak jauh berbeda. Selain pemupukan mereka juga melakukan penyemprotan seperti petani di Indonesia.

"Pemupukan mereka, walau petani senior tetap menggunakan ukuran. Kalau di Indonesia mereka tidak menggunakan takaran detail angka dosisnya," sebutnya.

Selain itu petani senior sekalipun tetap bersikap baik pada yamg lebih junior atau magang. Dan mereka yang magang pun juga sangat tanggap.

3. Indonesia butuh subsistem untuk jual hasil pertanian

Kisah Supardi, Petani Muda Paser yang Belajar Tani hingga ke JepangMuhammad Supardi, petani muda dari Kabupaten Paser. (Dok. IDN Times/ Istimewa)

Nah, ilmu dari negeri Jepang inilah yang sekarang coba diterapkan dengan mengolah lahan tidur miliknya di Paser. Lahan warisan orangtua yang sudah selama lima tahun terakhir ini terbengkalai akhirnya menjadi produktif dengan tanaman padi. 

Hanya sayangnya saja, sistem pemasaran produksi hasil pertanian di Indonesia memang tidak sebaik di Jepang. Padahal sebagai negara agraris, menurut Supardi, Indonesia semestinya menerapkan kebijakan sistem pemasaran yang lebih memberikan keuntungan bagi petani. 

"Indonesia bisa berproduksi lebih dari pada Jepang, kalau saja ada sistemnya. Indonesia bisa lebih maju, karena di sini lebih banyak hasil olahan dan bisa membangun industri," terangnya. 

Supardi menyebutkan, sistem pemasaran produk pertanian di Indonesia yang tergantung pada tengkulak. Para tengkulak ini punya kekuatan menentukan standar harga produksi hasil pertanian petani. 

Ia mencontohkan, hasil panen cabai di pasaran hanya dihargai Rp40 ribu per kilogram. Sedangkan tengkulak sendiri menuai untung besar dengan menjual Rp70 ribu hingga Rp80 ribu per kilogram. 

Kondisi seperti terjadi di seluruh hasil panen pertanian. 

"Harga sangat tidak sesuai. Jadi sulit maju kalau hanya mengandalkan tengkulak. Karena kami harus menanam, merawat dan menyiapkan. Tengkulak dapat untung besar tanpa harus menunggu waktu panen seperti kami," tuturnya. 

Ia berharap di Indonesia ada subsistem seperti di Jepang. Sehingga akhirnya semua harga bisa sama. Yang membedakan hanya pemasaran di pasar tradisional atau modern. Dengan begitu juga harga bisa tetap stabil. 

"Di Jepang tidak ada pemerintah membeli cabai atau hasil pertanian demi menyeimbangkan harga. Yang terpenting adalah sub sistem pasar untuk jangka panjang. Karena dengan membeli untuk menyeimbangkan harga itu hanya ilusi dan sifatnya jangka pendek," bebernya. 

Dengan subsistem pasar, maka petani tidak perlu mencari tempat berjualan. Menurutnya, pupuk gratis atau subsidi juga tak membantu petani. Petani lebih membutuhkan subsistem pasar yang jelas. 

"Selama ini kami memasarkan konvensional. Jauh dari negara maju. Ini yang dikeluhkan petani, artinya kita membutuhkan sistem. Mulai petani mengumpulkan di koperasi, hingga distribusi bahkan Industri atau ekspor. Semua harusnya ada yang memegang," katanya. 

Dengan begitu petani hanya bertugas memproduksi dan tak harus mencari pasar. Petani tinggal melakukan nego harga, bukan menjualnya langsung. "Saat ini petani masih menjual ke tengkulak atau pasar. Ini yang membuat petani sulit mendapatkan peningkatan ekonomi," ujarnya.

Baca Juga: Belajar Online Dikhawatirkan Menurunkan Kualitas Pelajar di Kaltim

Topik:

  • Sri Wibisono

Berita Terkini Lainnya