Setengah Hati Bendung Perundungan di Antara Anak Negeri

Persoalan perundungan yang belum menjadi prioritas

Samarinda, IDN Times - Bocah berusia 11 tahun ini terlihat percaya diri, tatapannya tajam bicaranya pun frontal. Sangat berbeda bila dibandingkan mayoritas anak-anak sepantarnya yang terkadang kurang nyaman berbicara di hadapan orang asing. 

Melayani sesi wawancara IDN Times pun tidak membuatnya gentar.

"Ingin jadi profesor om, eh jadi dokter deh cita-cita saya," kata bocah bernama Alvaro Aurelius Tistan Sinaga (11) dengan lugas, Jumat (25/8/2023). 

Siswa kelas 5 SD Katolik Hati Kudus Samarinda di Kalimantan Timur (Kaltim) memang istimewa. Anak ini dikenal punya semangat sekaligus kepercayaan diri tinggi di antara teman-teman seumurannya.      

Prestasi akademik di sekolahnya pun cukup bisa dibanggakan.  

Tujuh tahun silam, Alvaro sempat viral sebagai salah seorang korban serangan bom molotov di Gereja Oikumene Samarinda Kalimantan Timur (Kaltim) pada 13 November 2016. Ini merupakan aksi teror bom pertama kali mengancam masyarakat di Pulau Kalimantan di mana korban seluruhnya adalah anak-anak di bawah umur lima tahun (balita).

Para korban saat itu, Alvaro Aurelius Tristan Sinaga (4), Trinity Hutahaya (3), dan Anita Kristobel (2). Mereka mengalami luka bakar serius kisaran 20 hingga 50 persen.

Bahkan ada satu korban jiwa adalah Intan Olivia Banjarnahor (2) mengembuskan nafas terakhir. 

Pelakunya, Juhanda, alias Jo bin Muhammad Aceng Kurnia dijatuhi vonis penjara seumur hidup di Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Belakangan diketahui, pelaku merupakan residivis atas kasus sama yang sudah berbaiat kepada kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). 

1. Para penyintas bom molotov Samarinda sudah mulai bersekolah

Setengah Hati Bendung Perundungan di Antara Anak NegeriKorban bom molotov di Gereja Oikumene di Samarinda Kaltim Alvaro Aurelius Tistan Sinaga pada bulan Oktober 2020. Foto istimewa

Tahun-tahun sudah berlaku, para penyintas bom di Samarinda satu per satu move on menjalani hidup mereka masing-masing. Alvaro dan Trinity yang berumur lebih tua, memutuskan untuk menempuh pendidikan ke SD Katolik Hati Kudus Samarinda. 

Sedangkan satu korban lain yang dua tahun lebih muda, Anita Kristobel memilih bersekolah di SDN 02 Loa Janan Samarinda.

Orangtua Alvaro dan Trinity menyukai SD Katolik Hati Kudus Samarinda bukannya tanpa alasan. Setelah peristiwa nahas aksi teror tersebut, tidak mengherankan bila keluarga protektif melindungi anaknya. Tujuannya jelas, demi melindungi perkembangan psikologis kejiwaan keduanya.

Di sisi lain, pihak keluarga percaya komitmen sekolah swasta melindungi anaknya selama proses belajar mengajar berlangsung. Terutama bagi mereka yang terbilang rawan menjadi objek perundungan selama di sekolah. 

Patut diketahui, peristiwa bom molotov di Gereja Oikumene Samarinda sudah meninggalkan bekas luka bakar permanen bagi para korbannya, warnanya merah kehitam-hitaman, berbeda dibandingkan kulit normal di sekitarnya.

Lokasinya tersebar di bagian kepala, muka, tangan, dan badan. Perlu olesan salep khusus yang rutin dibalurkan guna melindungi parutan ini dari paparan sengatan sinar matahari. 

"Saya menyekolahkan Alvaro ke sekolah swasta agar terhindar dari perundungan siswa-siswa lain. Bekas luka bakar dan operasi di badannya, bisa menjadi bahan perundungan," kata Martina Piur Novita Tagala (50). Alvaro mengalami luka bakar cukup parah hingga 30 persen. 

Novita menilai guru-guru sekolah swasta lebih memiliki kepedulian dalam menangani persoalan perundungan antar siswa. Dasar penilaiannya lebih pada kapasitas daya tampung muridnya per kelas yang mencukupi, membuat gurunya efektif dalam mengawasi kegiatan siswa. 

Seperti ruang kelas Alvaro yang hanya diisi sebanyak 25 murid saja. Tentunya jauh berbeda dibandingkan sekolah negeri pada umumnya yang bisa menerima murid hingga 38 siswa per kelasnya. Salah satu faktor yang mendorong maraknya praktik perundungan di sekolah-sekolah. 

Kekhawatiran Novita ini ternyata cukup beralasan. Entah kebetulan atau tidak, perundungan ternyata sempat dialami Anita Kristobel (9) yang bersekolah di SDN 02 Loa Janan Samarinda. Sebagai mana korban bom molotov Samarinda lainnya, Anita pun sempat mengalami luka bakar di tubuhnya. Meskipun luka bakarnya paling ringan, sekitar 20 persen, namun tetap saja meninggalkan bekas parutan yang bisa menjadi bahan olok-olokan siswa lain.  

"Tahun lalu terjadi perundungan dari siswa lain kepada Anita karena luka bekas bakar di tubuhnya," kata Tetty Siahaan (43), orangtua Anita Kristobel. 

Ironisnya lagi, pihak sekolah tidak ada satu pun yang berinisiatif untuk melakukan pembelaan. Hingga akhirnya Tetty mengaku terpaksa harus turun tangan sendiri dalam melindungi anaknya dari gangguan siswa lain, dengan memperingatkan pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya. 

"Saya bilang aja, kalau masih mengganggu Anita, akan saya laporkan ke polisi," tuturnya kesal. 

Kesehariannya, Anita tumbuh menjadi pribadi yang cenderung tertutup dan kesulitan menjalin pergaulan sosial di antara teman-temannya. Baik saat di lingkungan sekolah maupun di masyarakat sekitar rumahnya. Setelah bertahun-tahun peristiwa bom molotov Gereja Oikumene Samarinda berlalu, pergaulan sosial Anita bisa dihitung dengan jari. 

Salah satunya teman akrabnya hanyalah Trinity Hutaya yang sama-sama menjadi korban serangan bom ini. Kondisi bekas luka bakar Trinity bahkan sekitar 50 persen. 

"Kebetulan rumah kami cukup berdekatan, sehingga terkadang Anita bermain boneka bersama Trinity," ungkap Tetty. 

2. Peran serta sekolah dalam mengantisipasi perundungan antar siswa

Setengah Hati Bendung Perundungan di Antara Anak NegeriAlvaro Aurelius Tistan Sinaga mengikuti kegiatan Berbalas Pantun Kemerdekaan RI ke 78. Screeshoot akun YouTube SD Katolik Hati Kudus Samarinda

Kepala SD Katolik Hati Kudus Samarinda M Liza mengaku bertemu langsung dengan orangtua Alvaro dan Trinity, sebelum akhirnya keduanya memutuskan menyekolahkan anaknya di tempatnya. Selama sesi wawancara khusus itu, mereka secara terus terang menyampaikan kegelisahannya pada kondisi psikologis anak-anaknya. 

Terutama soal praktik perundungan yang dikhawatirkan mengganggu perkembangan kejiwaan Alvaro dan Trinity. Para orangtua ini sepakat bahwa Alvaro dan Trinity perlu memperoleh perlakuan khusus dari para gurunya. 

Termasuk memberikan dispensasi dari kegiatan outdoor yang membutuhkan kekuatan fisik siswa. 

"Kebiasaan sekolah kami selalu melakukan wawancara khusus pada masing-masing anak dan kesimpulannya adalah mereka anak-anak khusus yang perlu memperoleh perlakuan istimewa," papar Liza.

Atas masukan dari orangtua, Liza lantas menggelar rapat para guru guna membahas perlakuan khusus seperti apa yang akan diterapkan dalam menghadapi kasus seperti itu. Sebagai tenaga pendidik anak yang cukup berpengalaman, menurutnya, kasus seperti dialami Alvaro dan Trinity ini cukup unik untuk ditangani. 

Dalam banyak kasus, mereka berpotensi akan tumbuh menjadi pribadi yang cenderung tertutup, rendah diri, dan susah bergaul. Sikap mental yang tidak sehat bagi pertumbuhan kesehatan kejiwaan anak-anak ke depannya. 

Untuk itu perlu dibangun suasana belajar mengajar ceria di antara guru, siswa, hingga lingkungan sekolah. "Kami menanamkan nilai-nilai baik pada anak, tidak membuat anak merasa berbeda dari yang lain. Kami memberikan kesempatan pada mereka untuk tampil, agar mereka tidak merasa berbeda, tampil karena bakat dan kemampuan anak," ujarnya. 

3. Penanganan perundungan di SD Katolik Hati Kudus Samarinda

https://www.youtube.com/embed/qfeijtRbbx4

Semenjak SD Katolik Hati Kudus berdiri, menurut Liza, para guru secara aktif sudah memperingatkan tentang bahayanya praktik perundungan di antara siswa. Persoalannya adalah pembentukan mental kejiwaan anak-anak di masa depan,  dalam hal ini adalah pelaku dan korban. 

Pasalnya banyak faktor yang menyebabkan seorang anak merundung anak lain, antara pelaku dan korban adalah sama. 

"Sama-sama korban, hanya mencari perhatian saja (pelaku) ini," ujarnya. 

Untuk itu, para siswa pada umumnya membutuhkan sosok guru yang mampu memperlakukan mereka dengan baik, sekaligus mengangkat harkat dan martabat anak. "Pendidikan dasar penting menjadi dasar pembentukan karakter manusia. Membangun karakter suatu bangsa," tuturnya. 

Semaksimal mungkin, pihak sekolah mengupayakan agar para siswa bisa merasa aman dan nyaman mengikuti proses belajar mengajar. Termasuk pula menyiapkan lokasi bermain bagi seluruh siswa, seperti fasilitas dimiliki sekolah taman kanak-kanak. Tujuannya sederhana, menciptakan kenyamanan di antara siswa dalam berinteraksi satu dengan lainnya di lingkungan sekolah.  

"Banyak yang menyebut sekolah kami seperti TK di mana banyak lokasi playing ground. Itu tujuan kami agar anak-anak bisa nyaman bermain bersama-sama. Alvaro termasuk anak yang aktif bermain di playing ground," tukasnya. 

Menurut Liza, Alvaro saat ini tumbuh menjadi pribadi yang periang sekaligus percaya diri. Temannya cukup banyak di mana mereka tidak pernah menyoal tentang kekurangan fisik dimiliki Alvaro. 

Dalam banyak kegiatan, Alvaro sering kali mewakili SD Katolik Hati Kudus Samarinda mengikuti pelbagai ajang lomba dan kegiatan sekolah. "Acara peringatan HUT Kemerdekaan Indonesia, Alvaro tampil bersama Program Berbalas Pantun Kemerdekaan RI ke 78 di akun YouTube sekolah," papar Liza.

Meskipun demikian, Liza mengakui praktik perundungan beberapa kali masih terjadi di sekolahnya. Frekuensinya tidaklah terlalu mengkhawatirkan dan mampu diselesaikan secara berjenjang di tataran komite sekolah dengan melibatkan wali kelas dan siswa. 

Bila belum berhasil, SD Katolik Hati Kudus akan mengundang mediasi antara orantua murid. Langkah terakhir dilakukan dengan melibatkan kepala sekolah. "Saya akan menyelesaikan bila langkah-langkah penyelesaian sebelumnya tidak membawa hasil dan masing-masing pihak tetap pada pendiriannya," tegas Liza.  

Baca Juga: Pedagang Miras Ilegal di Samarinda Ditertibkan oleh Satpol PP

4. Keterbatasan jumlah guru BK di Samarinda

Setengah Hati Bendung Perundungan di Antara Anak NegeriIlustrasi Profesi (Guru) (IDN Times/Mardya Shakti)

Di sisi lain, Pemkot Samarinda sebenarnya juga memberikan perhatian penting dalam mengantisipasi maraknya praktik perundungan siswa di jenjang pendidikan SD hingga SMP. Pada prinsipnya mereka menyadari dampak negatifnya bagi perkembangan kejiwaan pelajar. 

Seperti salah satu contohnya kasus penikaman seorang siswa di SMAN 7 Banjarmasin Kalimantan Selatan (Kalsel) yang sempat viral pada akhir bulan Juli 2023 lalu. Usut punya usut, penikaman ini buntut kekesalan pelaku yang kerap menjadi sasaran perundungan dari korban. 

Kemarahan korban perundungan yang terpendam seperti Api dalam Sekam yang akan meledak sewaktu-waktu. Kemarahannya pun dilampiaskan dengan menganiaya korban menggunakan senjata tajam. Ironisnya, antara korban dan pelaku adalah sama-sama anak di bawah umur. 

Peristiwa ini terjadi di kelas, jelang prosesi upacara pengibaran bendera di SMAN 7 Banjarmasin.

"Kejadian di Banjarmasin menjadi peringatan bagi kita semua menangani perundungan," kata Kepala Dinas Pendidikan Samarinda Asli Nuryadin. 

Kasus seperti di Banjarmasin bisa saja terjadi di Samarinda. Persoalannya, kata Asli, sekolah-sekolah terbentur dengan keterbatasan jumlah guru balai bimbingan dan konseling (BK) yang kemampuannya kompeten dalam menangani masalah perundungan. 

Kualitas guru BK ini tentunya harus mengantongi kemampuan personal tentang psikologis kejiwaan para siswa. Selain itu, kuantitasnya pun harus mencukupi di masing-masing sekolah.  

Asli menyebutkan, idealnya 1 orang guru BK semestinya ditugaskan untuk mengurusi maksimal 150 murid di suatu sekolah. Total siswa SMP di Samarinda sebanyak 32 ribu sehingga bisa diasumsikan kebutuhan guru BK sebanyak 213 guru. 

"Saya lupa jumlah pastinya guru BK di Samarinda,  baik itu PNS maupun PPPK. Tapi bisa dipastikan jumlahnya masih kurang untuk ukuran ideal," ungkapnya. Asli mengatakan, kondisi seperti ini sudah lazim terjadi di kota/kabupaten di Indonesia dan bukan hanya dialami Kota Samarinda. 

Sementara ini, Asli menunggu petunjuk teknis Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 46 Tahun 2023 tentang Perundungan. Kementerian sudah menggarisbawahi tentang ancaman kekerasan fisik, kekerasan psikis, perundungan, kekerasan seksual, diskriminasi dan intoleransi, kebijakan yang mengandung kekerasan, dan bentuk kekerasan lainnya.

"Agar bisa bisa punya buku panduan dalam mengatasi persoalan perundungan di sekolah Samarinda," katanya. 

5. Status darurat perundungan pada anak

Setengah Hati Bendung Perundungan di Antara Anak NegeriSMAN 7 Banjarmasin atau yang dikenal SMAVEN, Kamis (2/2/2023). (IDN Times/Hamdani)

Akhir-akhir ini muncul begitu banyak kasus perundungan yang berujung timbulnya permasalahan lebih serius lainnya. Dua bulan terakhir sudah terjadi kasus melibatkan anak di bawah umur, seperti pembakaran gedung SMPN di Temanggung hingga penusukan siswa SMAN di Banjarmasin. 

Itu pula menjadi alasan Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Jasra Putra menyatakan, situasinya darurat kasus perundungan pada anak.

Hingga bulan Juni 2023 lalu, KPAI mencatatkan kasus perundungan pelajar di Indonesia yang totalnya sebanyak 101 kasus. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi pun mengungkapkan, data 24 persen asesmen khusus bagi pelajar di Indonesia yang jumlahnya 6 juta jiwa. 

Jumlahnya sendiri diperkirakan jauh lebih tinggi mengingat mayoritas korban yang enggan melaporkan. 

Dalam hal ini, menurut Jasra Putra, publik akhirnya tersadarkan saat terjadi peristiwa pidana yang mengejutkan di mana pelakunya anak-anak. 

"Kita jangan seperti petugas pemadam kebakaran, kaget saat suatu peristiwa sudah terjadi. Peristiwa pembakaran sekolah dan penikaman hanyalah situasi puncak korban perundungan," ujarnya. 

Dalam banyak kasus, Jasra Putra menilai para korban perundungan menyimpan kemarahan yang sewaktu-waktu bisa meledak. Selama dua bulan terakhir, kasus terjadi di Temanggung Jawa Tengah dan Banjarmasin Kalimantan Selatan.

Kasus pembakaran gedung sekolah di Temanggung dan penikaman siswa lain di Banjarmasin. Kasusnya sendiri harus ditangani pihak kepolisian. 

Jasra Putra mengaku tidak sepenuhnya bisa menyalahkan kedua pelaku anak ini. Pasalnya saat ditelusuri diketahui, pelaku melakukan tindakan kriminal sebagai puncak kekesalannya menjadi korban perundungan. Hingga mereka nekat melakukan tindakan berbahaya membalas pihak-pihak dianggap menjadi musuhnya.

Bahkan pelaku perundungan juga dianggap sebagai korban.  

6. MoU 8 kementerian/lembaga tentang kekerasan pada satuan pendidikan

Setengah Hati Bendung Perundungan di Antara Anak NegeriIDN Times/Afriani Susanti

Awal bulan Agustus lalu, delapan kementerian/lembaga menandatangani MoU tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan pada Satuan Pendidikan. Kesepakatan melibatkan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Menteri Dalam Negeri, Sosial, Agama, Ketua Komisi Nasional Disabilitas, Ketua Komnas HAM, Ketua KPAI, serta Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan. 

Nota kesepahaman ini wujud semangat kolaborasi dalam pencegahan kekerasan terhadap anak, khususnya di lingkungan pendidikan. Kementerian nantinya akan mengumumkan daerah-daerah yang dianggap tidak serius dalam menangani kasus-kasus kekerasan anak di wilayahnya. 

Karena itu, KPAI pun meminta seluruh institusi pendidikan melengkapi instrumen penerimaan siswa baru dengan rekam jejak psikologis kejiwaan, bukan sekadar kemampuan akademis pelajaran. 

"Kalau perlu menggandeng institusi profesi psikolog di tempatnya masing-masing bila dianggap kurang guru BK," papar Jasra Putra. Agar sekolah mengetahui stabilitas emosional anak bersangkutan di dalam lingkungan sekolah. 

Sekolah pun harus lebih terbuka dan proaktif dalam menampung pengaduan para muridnya. Keluhan dari murid semestinya memperoleh perhatian serius dari para guru, terutama mereka yang bergerak di bidang bimbingan dan konseling. 

Pihak sekolah harus menuntaskan keluhan kasus perundungan dengan sebaik-baiknya agar persoalannya tidak makin runyam ke depannya. Sehingga puncaknya muncul kasus seperti yang terjadi di Temanggung maupun Banjarmasin di mana murid akhirnya melakukan aksi "main hakim sendiri". 

Negara pun berkewajiban agar implementasi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2022 tentang Pendidikan dan Layanan Psikologi (UU PLP) mampu membantu sekolah dalam peningkatan bimbingan dan konseling siswa. Agar program ini ditangani oleh mereka yang memiliki kemampuan dan profesionalitas di bidangnya. 

UU ini secara tegas mengharuskan setiap anak mendapatkan layanan psikologis yang layak dari profesional. Kasus perundungan menjadi sinyal bahaya dan tidak bisa dianggap sepele. 

"Perundungan ini ada dan tidak boleh dianggap sepele, bukan sekadar bercanda. Setiap perilaku perundungan itu dampaknya luar biasa sekali terhadap korban," katanya. 

Saat korban perundungan tidak mendapat pemulihan, maka yang terjadi adalah korban memendam rasa dendam dan dapat berulang. Penghukuman terhadap pelaku bukanlah sebuah solusi, pendekatan rehabilitasi perlu dikedepankan kepada pelaku dan korban perundungan.

Baca Juga: Pemkot Samarinda Menggiatkan Kampanye Sekolah Sehat bagi Pelajar

Topik:

  • Sri Wibisono

Berita Terkini Lainnya