Waspada Praktik Eksploitasi Anak di Perkebunan Kelapa Sawit

Pekerja anak di Indonesia sudah mencapai 1,3 juta jiwa

Anggapan perkebunan kelapa sawit sebagai kantong kemiskinan di Indonesia sepertinya pantas disematkan. Setidaknya itu berdasarkan kesaksian salah seorang mantan pekerja kelapa sawit di Lahat Sumatra Selatan (Sumsel). 

Sedikit yang tahu peliknya kondisi para pekerja dalam perkebunan kelapa sawit. Dari persoalan nominal gaji di bawah upah minimum regional (UMR), ketiadaan perlindungan ketenagakerjaan, kesehatan, kejelasan upah lembur, hingga status karyawan dengan perusahaan. 

"Persoalan hak-hak karyawan tersebut yang akhirnya saya perjuangkan dan dipenuhi perusahaan. Hingga akhirnya perusahaan bersedia memenuhi termasuk pula mengangkat pekerja sudah tua menjadi karyawan," kata Fauzi Azwar (50) saat dihubungi IDN Times, Minggu (25/6/2023). 

Fauzi tujuh tahun lamanya bekerja di perkebunan kelapa sawit di Sungai Laru Kikim Tengah Lahat Sumsel. Hingga akhirnya di PHK perusahaan. Ia dianggap terlalu aktif dalam memperjuangkan hak-hak karyawan lain. 

"Saya dianggap terlalu berani melawan dan membawa dampak negatif bagi karyawan yang lain sehingga harus disingkirkan," paparnya. 

1. Persoalan terjadi di industri kelapa sawit

Waspada Praktik Eksploitasi Anak di Perkebunan Kelapa SawitPekerja anak pada industri perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Foto LSM Sawit Watch

Persoalan dihadapi Fauzi Azwar di Lahat ini hanya menjadi contoh kecil problem terjadi kebun sawit tanah air. Fakta di lapangan ternyata melampaui perkiraan dari masyarakat, mengingat luasnya perkebunan sawit yang mencapai 25 juta hektare. 

Penyebarannya meliputi 16 provinsi di Indonesia yang mayoritas berada di Pulau Sumatra, Kalimantan, hingga sebagian Sulawesi. 

"Makin jauh dari pantauan, biasanya permasalahannya juga makin banyak," kata Direktur Eksekutif  LSM Sawit Watch Achmad Surambo.   

Selama ini, kata Rambo, pemerintah lebih fokus dalam mengatasi persoalan sosial yang biasanya terjadi di perkotaan. Padahal tidaklah demikian. Menurut Rambo, perkebunan kelapa sawitlah yang sebenarnya menjadi kantong-kantong kemiskinan di Indonesia. 

Bagaimana tidak? Perkampungan sawit acap kali banyak masalah sosial, seperti kemiskinan, kebodohan, buruh migran, perdagangan orang, prostitusi, hingga praktik eksploitasi anak. Suatu kondisi yang sebenarnya sudah lazim ditemui di perkebunan sawit di Indonesia, tetapi jarang terekspos ke dunia luar. 

Rambo mencontohkan eksploitasi pekerja anak yang sebenarnya gampang ditemui di sejumlah lokasi perkebunan sawit, tetapi pemerintah tutup mata. Menurutnya, pemerintah daerah, perusahaan, dan para tenaga kerja terkesan abai. 

Sebaliknya malah memberikan kelonggaran menjamurnya praktik seperti ini. Mereka berdalih hanya berpatokan penerapan aturan tidak resmi sudah disepakati bersama. 

"Seperti contohnya, anak di bawah umur boleh turut bekerja dengan catatan harus diawasi orangtuanya atau hanya maksimal 4 jam kerja. Padahal melanggar aturan tetap saja harus dihindari," ungkapnya.  

2. Eksploitasi anak melanggar UU Ketenagakerjaan dan Perlindungan Anak

Waspada Praktik Eksploitasi Anak di Perkebunan Kelapa SawitPekerja anak pada industri perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Foto LSM Sawit Watch

Apa pun alasannya, eksploitasi pada anak tetaplah melanggar aturan Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang tentang Perlindungan Anak di Indonesia. 

LSM Sawit Watch mencatatkan pekerja perkebunan kelapa sawit di Indonesia yang jumlahnya mencapai 20 juta jiwa, baik formal maupun informal. Dari total jumlah pekerja sawit ini, sebanyak 7 juta jiwa tercatat sebagai karyawan langsung perusahaan dan sisanya pekerja bayang-bayang. 

"(Pekerja bayang-bayang) Bisa meliputi keluarga pekerja seperti istri maupun anak-anak mereka yang diperbantukan secara tidak langsung," paparnya.

Atas kejadian ini, Rambo pun menuding pemerintah kurang serius dalam penerapan aturan ketenagakerjaan, terutama berkaitan dengan industri sawit. Pasalnya ia berpendapat, pemerintah semestinya sudah tahu adanya permasalahan ini. 

Alih-alih memberikan hak masyarakat perkebunan, seperti pembangunan akses infrastruktur jalan, pendidikan, maupun kesehatan. 

Rambo mengatakan, mayoritas pekerja sawit di Indonesia adalah buruh migran yang didatangkan dari provinsi miskin di Indonesia, seperti Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT).

Para buruh migran ini biasanya datang dengan membawa anak dan istrinya.  Sedangkan di perkampungan sawit biasanya minim sarana prasarana pendidikan. 

"Hingga akhirnya anak-anak mereka menjadi buruh kebun sawit juga, atau kalau sekolah hanya sampai sekolah dasar saja. Setelah itu akhirnya juga menjadi buruh sawit seperti orangtuanya," ungkapnya. 

3. Komnas Perlindungan Anak

Waspada Praktik Eksploitasi Anak di Perkebunan Kelapa SawitIDN Times/Imam Rosidin

Komisi Nasional Perlindungan Anak menyatakan, persoalan pekerja anak di Indonesia sudah masuk dalam tahap memprihatinkan. Pada tahun 2023 ini saja, Komnas memperkirakan jumlahnya sudah menembus angka 2,1 juta jiwa. 

Mereka adalah para pekerja yang berusia 18 tahun ke bawah dengan profesi sebagai buruh perkebunan, anak jalanan, nelayan, pengemis, hingga prostitusi. Sektor industri perkebunan dianggap paling bertanggungjawab atas tingginya jumlah pekerja anak. 

"Persentasenya adalah 42 persen didominasi sektor perkebunan di Indonesia dan terus meningkat setiap tahunnya," papar  Ketua Komnas Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait. 

Ia menamai kelompok ini sebagai pekerja anak dalam situasi buruk. 

"Karena mereka bekerja dalam situasi buruk bersama-sama dengan orang dewasa." 

Menurut Arist, situasi mental dan sosial anak-anak ini sebenarnya belum siap untuk masuk dalam situasi kerja. Di mana mereka harus berinteraksi dengan pekerja dewasa secara otomatis membawa pengaruh pada situasi kejiwaan anak-anak ini. 

Pada usia anak-anak, mereka semestinya berada pada situasi belajar sekaligus bermain. 

"Kita tidak boleh merebut hak anak-anak untuk bermain dan belajar," tegasnya. 

4. Pemerintah diminta tegas memberantas adanya pekerja anak

Waspada Praktik Eksploitasi Anak di Perkebunan Kelapa SawitArist Merdeka Sirait saat berada di ashram. (IDN Times/Imam Rosidin)

Adanya eksploitasi anak di perkebunan, Arist menilai pemerintah mengabaikan aturan sudah diatur dalam UU Ketenagakerjaan dan UU Perlindungan Anak. Karena tidak langsung menerapkan sanksi bagi perusahaan yang jelas-jelas melanggar aturan. 

"Ini terjadi pada seluruh perkebunan, bukan hanya sebatas pada kelapa sawit," tuturnya. 

Semisal kebijakan perusahaan menerapkan pencapaian target yang kelewat tinggi kepada buruh, tanpa dibarengi dengan imbalan memadai. Seperti pelaksanaan panen tandan buah segar (TBS) pada perkebunan kelapa sawit dengan jumlah tertentu. 

Imbasnya adalah, karyawan kesulitan mencapai target sehingga untuk memenuhinya mereka akhirnya memberdayakan keluarga masing-masing. 

"Akhirnya anak dan istrinya ikut membantu pekerjaan kepala keluarga. Secara administrasi perusahaan mereka tidak tercatat dalam perusahaan, tetapi ikut bekerja," sesalnya. 

Persoalan seperti ini, kata Arist, semestinya mampu ditangani lewat koordinasi di antara pemerintah pusat dan daerah. Apalagi praktik eksploitasi anak ini sudah lazim diketahui publik dan terjadi di masyarakat. 

Sehingga perlu ada tindakan tegas dari pemerintah dalam menegakkan aturan ketenagakerjaan maupun perlindungan anak. 

"Yang bisa melakukan perlindungan anak tentunya adalah negara, tidak ada yang lain. Meskipun industri kelapa sawit menjadi sektor ekonomi utama saat ini, negara tidak boleh takut untuk menerapkan aturan," tegasnya. 

Intervensi negara sangat diperlukan mengingat praktik eksploitasi anak terus meningkat dalam lima tahun terakhir ini. 

Baca Juga: RDMP Kilang Pertamina Balikpapan Jadi Kilang Modern Ramah Lingkungan

5. Indonesia bebas pekerja anak di kebun sawit pada 2023

Waspada Praktik Eksploitasi Anak di Perkebunan Kelapa SawitMenteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah. (dok. Humas Kementerian Ketenagakerjaan)

Dalam laman resminya, Kementerian Ketenagakerjaan sudah mencanangkan gerakan stop pekerja anak di sektor perkebunan kelapa sawit pada tahun 2023 ini. Total jumlah pekerja anak sendiri sebanyak 1,3 juta jiwa.  

Ada 16 provinsi yang menjadi fokus kebijakan ini karena memiliki luas perkebunan lebih dari 100 ribu hektare sesuai laporan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2021. 

Menaker Ida Fauziyah menyampaikan, keberadaan industri kelapa sawit berperan penting dalam perekonomian nasional. Industri ini telah melibatkan banyak pelaku usaha dari berbagai kelompok ekonomi. 

"Dengan kondisi tersebut, kelapa sawit merupakan komoditas ekspor yang sangat berpengaruh, sehingga risiko kehadiran pekerja anak sangat mungkin terjadi," katanya. 

Untuk mengatasi persoalan pekerja anak di industri kelapa sawit haruslah dilakukan secara terencana dan terpadu, serta memperhatikan kepentingan terbaik untuk anak. 

Upaya penghapusan pekerja anak, lanjut Menaker, bukanlah suatu hal yang mudah, butuh proses yang panjang dan berkelanjutan dari berbagai pihak, baik Pemerintah Pusat dan Daerah, Serikat Pekerja/Serikat Buruh, pengusaha, serta organisasi masyarakat untuk bersama-sama menanggulangi pekerja anak. 

"Ini berarti penguatan kolaborasi antara stakeholder sangat penting dalam mendukung visi Indonesia Bebas Pekerja Anak," ungkap Ida Fauziyah. 

Selain itu, pada momentum Hari Dunia Menentang Pekerja Anak yang diperingati setiap tanggal 12 Juni, Menaker mengajak semua pihak untuk merumuskan program-program strategis sebagai langkah percepatan penanggulangan pekerja anak. 

Peran aktif semua pihak sangat diperlukan, dalam mewujudkan generasi penerus bangsa yang berkualitas, adil makmur dan sejahtera," katanya.

6. Daerah berlomba-lomba membantah keberadaan pekerja anak di wilayahnya

Waspada Praktik Eksploitasi Anak di Perkebunan Kelapa SawitTenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Kalimantan Selatan, Irfan Sayuti.

Sementara itu, sejumlah daerah langsung membantah adanya praktik eksploitasi anak di wilayahnya. Seperti disampaikan, Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) Irfan Sayuti, sebagai salah satu wilayah di Indonesia yang memiliki berhektare-hektare area perkebunan kelapa sawit

"Dari laporan hasil pemeriksaan yang rutin disampaikan oleh pengawas ketenagakerjaan yang tersebar di 4 Balai Wasnakerda sampai Juni 2023, tidak ditemukan pekerja anak yang dipekerjakan oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit," katanya.

Wilayah perkebunan Kalsel diklaim bebas dari eksploitasi pekerja anak. Khususnya antisipasi pekerja anak untuk industri perkebunan kelapa sawit. 

Ifran pun menyampaikan, bahwa pelanggaran terhadap norma kerja anak ini sesuai dengan ketentuan pasal 183 dan 185 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan merupakan tindakan pidana yang diancam sanksi penjara paling lama lima tahun dan/atau denda paling banyak Rp500 juta (lima ratus juta rupiah). 

Meskipun demikian, Irfan pun terus mewaspadai potensi eksploitasi anak pada industri kelapa sawit di Kalsel. Untuk itu, ia tidak segan untuk menerapkan sanksi tegas sesuai pasal 9b dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 1 Tahun 2020.  

Bahwa akan ditindak represif yustisi atau upaya paksa melalui lembaga pengadilan terhadap norma ketenagakerjaan yang tidak dipenuhi. Kemudian, kepada korban maka akan segera menghentikan pekerja anak.

"Kalau ditemui buktinya, kami tegaskan akan membawa perusahaan ke ranah pengadilan sesuai undang-undang yang berlaku," tegasnya.

7. Disnaker Provinsi Lampung ikut klaim industri kelapa sawitnya bebas pekerja anak

Waspada Praktik Eksploitasi Anak di Perkebunan Kelapa SawitKepala Disnaker Provinsi Lampung, Agus Nompitu saat dimintai keterangan ihwal pekerj kelapa sawit anak. (IDN Times/Tama Yudha Wiguna).

Demikian pun klaim Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Provinsi Lampung dalam memastikan ketiadaan eksploitasi anak di sektor perkebunan. Klaim itu berdasarkan jumlah pekerja perusahaan sawit dan perkebunan lainnya di 2023.

Kepala Disnaker Provinsi Lampung Agus Nompitu mengatakan, pemerintah daerah mencatat, ada 11 perusahaan sawit terdaftar resmi pada Wajib Lapor Ketenagakerjaan perusahaan (WLKP) Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) RI.

"Dari 11 perusahaan itu ada sekitar 3.029 yang masuk sebagai pekerja kelapa sawit di Lampung. Mereka berstatus PKWT hingga karyawan tetap. Nah, sampai saat ini belum ada laporan terkait penggunaan tenaga kerja anak di kelapa sawit," ujarnya. 

Bukan hanya laporan resmi, Agus melanjutkan, pendataan kasus pekerja kelapa sawit berstatus anak-anak juga tidak ditemukan petugas melalui hasil pemantauan dan penelusuran di lapangan pada masing-masing keberadaan perusahaan kelapa sawit di Lampung.

Alhasil, ia menyimpulkan status pekerja kelapa sawit di Lampung masih sesuai peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan, tanpa adanya status pekerja anak.

"Jadi oleh sebab itu, terkait pekerja anak ini semua belum pernah kami temukan. Kalaupun memang ada, maka peran serikat buruhnya untuk melaporkan kepada kami untuk ditindaklanjuti," imbuhnya.

Pihaknya bersama Disnaker di 15 kabupaten/kota telah mengantisipasi perilaku mempekerjakan tenaga kerja anak pada perusahaan atau kawasan perkebunan kelapa sawit sejak beberapa tahun belakang. Terlebih pascawacana gerakan perkebunan kelapa sawit bebas pekerja anak 2023.

8. Peningkatan anak putus sekolah

Waspada Praktik Eksploitasi Anak di Perkebunan Kelapa SawitIlustrasi anak-anak (IDN Times/Aryodamar)

Dosen Sosiolog Universitas Airlangga (UNAIR) Surabaya Prof Dr Bagong Suyanto mengatakan, memperkerjakan anak akan berdampak pada risiko putus sekolah. Adanya anak yang bekerja sambil sekolah terjadi karena tuntut ekonomi. Ketika mereka sekolah sambil bekerja, akan ada beban ganda yang dipikul.

Hal ini kemudian menyebabkan anak putus sekolah.  

"Sekolah dan bekerja itu selalu membuat pekerja anak risiko putus sekolah, karena dia gak kuat menanggung beban ganda itu secara bersamaan," ujar guru besar yang konsen terhadap masalah hak anak ini. 

Selain tuntutan ekonomi, tak jarang anak bekerja karena memang keinginannya sendiri untuk memiliki uang lebih, misal ingin memiliki handphone. 

"Iya betul yang terjadi seperti itu (ingin kerja karena keinginan sendiri). Tapi kalau tidak didukung pendidikan yang cukup maka sampai kapan pun pekerjaannya juga pekerjaan kasar, yang upahnya rendah, yang risikonya tinggi," tutur dia. 

Dalam hal ini anak akan lebih memilih bekerja di sektor publik ketimbang bekerja membantu usaha keluarga. Hal ini tak lepas dari upah yang didapat lebih besar di sektor publik. 

"Tapi risikonya mereka tidak bisa mengatur jam kerja sesuai kebutuhan mereka. Sehingga mereka tidak bisa sekolah. Makanya putus sekolah," tuturnya. 

Selain risiko putus sekolah, memperkerjakan anak memiliki risiko kecelakaan lebih tinggi. Sebab, sarana produksi yang diciptakan tak didesain untuk usia mereka. 

"Seluruh sarana produksi itu kan hanya diciptakan untuk orang dewasa, berbagai alat tidak cocok dengan profil anak sehingga kecelakaan kerja itu lebih besar, karena lingkungan kerja yang tidak dikonstruksi untuk mereka," terang ya. 

Untuk itu, Prof Bagong mendorong pemerintah dapat menyelesaikan masalah ini melalui pendekatan keluarga. Keluarga harus diberi kesadaran agar tak membiarkan anak untuk bekerja.  "Harus dibawa kepada persoalan keluarga. Supaya keluarga sadar tidak boleh memperkerjakan anak di bawah umur," pungkas dia.

9. Korelasi negatif pekerja anak pada kejiwaan

Waspada Praktik Eksploitasi Anak di Perkebunan Kelapa SawitIlustrasi anak-anak (IDN Times/Dwifantya Aquina)

Faktanya, korelasi negatif pekerja anak pada kejiwaannya sudah diakui lembaga resmi negara. Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Banten Hendri Gunawan meminta, setiap daerah agar mulai memetakan data potensi kasus anak yang menjadi pekerja.

Meliputi kasus eksploitasi anak atau sekadar membantu orangtua. Pemetaan ini penting untuk mencari solusi dan penanggulangan kasus pekerja anak secara menyeluruh.

"Termasuk juga memetakan sisi anak-anak yang memang berpotensi untuk bekerja di sektor nelayan ada di sisi mana utara selatan kah? Perkebunan misalnya ada di daerah mana," katanya. 

Pemerintah daerah perlu membuat data komprehensif ini, baik itu provinsi maupun kabupaten atau kota untuk melihat sejauh mana anak-anak ini akhirnya berpotensi untuk dieksploitasi secara ekonomi. 

Dampaknya juga muncul persoalan sosial dan kejiwaan pada anak. Seperti terbaru ini terjadi di Banten, kasus anak putus sekolah yang kemudian menjadi pelaku tindak kriminalitas. 

Dua pelaku pembunuhan terhadap orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) di Bayah, Kabupaten Lebak yang diketahui adalah anak putus sekolah karena ikut berkebun dan menjadi nelayan bersama orangtuanya.

Kedua anak yang dia maksud sudah berusia 14 dan 16 tahun. "Lalu kita tanyakan apakah tetap mau lanjut sekolah? Mereka engga mau lagi mereka ada trauma, dan mereka bisa mendapatkan uang dan membeli handphone," kata dia.

Hendri mengungkapkan, banyak orangtua masih berpikir bahwa anak bekerja semata untuk membantu secara ekonomi. Bukan dipekerjakan. "Tapi kita juga perlu melihat perlu diperhatikan masa depannya, jangan sampai terlena dan melupakan hak dan kewajibannya salah satunya mendapatkan pendidikan," ungkapnya.

Masalah ini, kata Hendri, bukan hanya tanggung jawab pemerintah melainkan masyarakat selaku orangtua. "Ini perlu dilihat secara komprehensif," kata dia.

 

Kolaborasi hyperlokal: Hamdani (Banjarmasin), Indah Permatasasari (Medan), Muhammad Iqbal (Serang), Tama Wiguna (Lampung), Khusnul Hasana (Surabaya) dan Azzis Zulkhairil (Bandung).

Baca Juga: AJI Balikpapan Ikut Pertanyakan Sikap Tertutup PD3AP2KB PPU 

Topik:

  • Sri Wibisono

Berita Terkini Lainnya