Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Stop Flexing Berlebihan! Hidup Nggak Harus Selalu Pamer

Ilustrasi media sosial (Pexels.com/Tracy Le Blanc)

Balikpapan, IDN Times - Fenomena flexing atau pamer kekayaan dan pencapaian di media sosial makin marak belakangan ini. Mulai dari barang branded, mobil mewah, liburan ke luar negeri, sampai slip gaji, semua dipajang seolah jadi standar kesuksesan hidup. Tapi, nggak semua orang melihat ini sebagai sesuatu yang positif. Bukannya dikagumi, orang yang terlalu sering flexing justru sering dianggap sombong dan haus validasi.

Sebenarnya, berbagi kebahagiaan itu wajar, tapi kalau sampai berlebihan dan hanya demi pengakuan orang lain, bisa jadi bumerang, lho! Sebelum ikut-ikutan flexing, yuk pahami dulu alasan di balik tren ini dan kenapa kamu sebaiknya nggak terjebak di dalamnya.

1. Haus validasi dari orang lain

Ilustrasi menelepon teman (Pexels.com/Uriel Mont)

Banyak orang flexing karena ingin mendapat validasi sosial. Mereka ingin diakui, dipuji, dan dianggap sukses oleh lingkungan sekitar. Dengan memamerkan harta dan pencapaian, mereka berharap mendapatkan perhatian yang bikin mereka merasa keren.

Tapi hati-hati, kalau kebahagiaanmu bergantung pada pujian orang lain, itu berisiko besar! Begitu komentar negatif muncul atau perhatian berkurang, rasa percaya diri bisa anjlok. Daripada sibuk mencari validasi eksternal, lebih baik fokus pada pencapaian yang benar-benar berarti buat diri sendiri.

2. Gaya hidup mewah = status kelas sosial? Belum tentu

Ilustrasi merekam video (Pexels.com/Kampus Production)

Flexing sering dijadikan cara untuk menunjukkan bahwa seseorang berasal dari kelas sosial tertentu. Barang-barang mahal dan gaya hidup mewah dipamerkan supaya terlihat lebih "level atas" dibanding orang lain. Ini sering terjadi di lingkungan yang menjunjung status sosial, seperti dunia kerja, pergaulan, atau bahkan dalam keluarga.

Padahal, menjadikan kelas sosial sebagai patokan kebahagiaan justru bisa bikin hidup makin penuh tekanan. Bukan hanya itu, orang yang sering flexing juga berisiko dianggap sombong dan kurang empati. Mending, tetap rendah hati dan biarkan pencapaian berbicara sendiri tanpa perlu banyak dipamerkan.

3. Flexing salah satu tanda insecure

Ilustrasi bercermin (Pexels.com/Min An)

Ironisnya, orang yang paling sering flexing justru bisa jadi mereka yang paling insecure. Mereka butuh pengakuan dari orang lain untuk menutupi rasa kurang percaya diri. Dengan memamerkan kesuksesan di media sosial, mereka berharap bisa meyakinkan diri sendiri (dan orang lain) bahwa hidup mereka sempurna.

Sayangnya, efek dari flexing ini cuma sementara. Setelah euforia hilang, perasaan nggak percaya diri bisa muncul lagi, bahkan lebih parah. Daripada sibuk kelihatan sukses di mata orang lain, lebih baik fokus memperbaiki diri dan membangun kepercayaan diri yang lebih sehat.

4. FOMO = Nggak flexing, takut ketinggalan?

Ilustrasi scrolling media sosial (Pexels.com/K.)

Di era media sosial, flexing kayaknya udah jadi budaya. Orang merasa harus selalu terlihat sukses dan bahagia karena terus melihat postingan orang lain yang seolah hidupnya sempurna. Ini menciptakan efek FOMO (Fear of Missing Out), di mana seseorang merasa tertinggal kalau nggak bisa menunjukkan pencapaian serupa.

Padahal, apa yang kita lihat di media sosial sering kali cuma potongan kecil dari kenyataan. Banyak orang yang terlihat bahagia dan sukses di Instagram, tapi di balik layar, mereka juga punya masalah yang nggak diposting. Makanya, daripada terjebak dalam tren flexing, lebih baik jalani hidup dengan jujur dan apa adanya.

5. Bisa menjadi bumerang di kemudian hari

Ilustrasi berteriak (Pexels.com/Gomez Daniel)

Nggak sedikit orang yang akhirnya kerepotan sendiri karena terlalu sering flexing. Ada yang memamerkan gaya hidup mewah padahal sebenarnya cuma hasil utang atau pinjaman. Begitu kenyataan terbongkar, mereka bisa kehilangan kepercayaan dari orang-orang di sekitar mereka.

Selain itu, terlalu sering pamer di media sosial juga bisa mengundang risiko lain, seperti pencurian atau penipuan. Niatnya cuma ingin terlihat sukses, tapi malah jadi sasaran empuk kejahatan. Serem, kan?

Bangga dengan pencapaian sendiri itu nggak salah, tapi kalau tujuannya cuma buat pamer dan cari validasi, lama-lama bisa jadi toxic buat diri sendiri. Daripada sibuk membangun citra sempurna di media sosial, lebih baik fokus pada hal-hal yang benar-benar bermakna dalam hidup.

Ingat, kebahagiaan sejati nggak datang dari berapa banyak like atau komentar yang kamu dapat, tapi dari bagaimana kamu menjalani hidup dengan jujur dan penuh rasa syukur. Jadi, daripada ikut-ikutan flexing, lebih baik nikmati hidup dengan santai dan apa adanya. Hidup nggak harus selalu pamer, kok!

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
SG Wibisono
EditorSG Wibisono
Follow Us