TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Menelisik Sejarah Islam dari Surau Raden Sulaiman di Sambas Kalbar

Pendirian perkampungan sewaktu datang ke Sambas

Ilustrasi Surau (Unsplash.com/Omar Elsharawy)

Pontianak, IDN Times - Surau Raden Sulaiman di Dusun Kota Bangun, Desa Sebangun, menjadi bagian penting jejak dan bukti sejarah Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat.

Kantor Berita Antara memberitakan, Kota Bangun di Kecamatan Sebawi merupakan tapak pertama Sultan Tengah atau ayah dari Raden Sulaiman mendirikan sebuah perkampungan muslim sewaktu pertama kali datang ke Sambas. 

Sultan Tengah yang berasal dari Sarawak, Malaysia, bersama keluarganya sempat menetap di Kota Bangun selama satu tahun dan membangun sebuah surau. Surau yang kemudian diberi nama Surau Raden Sulaiman (sesuai nama salah satu putranya) itu berdiri pada awal abad ke-16. 

Selama di Kota Bangun, mereka melanjutkan penelusuran sungai Sambas Kecil dan berhenti pada suatu tempat yang kemudian menjadi pusat pemerintahan baru, demikian dikutip dari berbagai sumber.

Baca Juga: Diduga Sopir Panik, Forklif Terbalik di Jembatan Kapuas II Kalbar

1. Sejarah berdirinya surau di Desa Sebangun Sambas

Ilustrasi berdoa (IDN Times/Sukma Shakti)

Penulis yang tinggal di Desa Sebangun, dapat melihat langsung jejak sejarah Sambas dengan keberadaan surau ini.  Luas lokasi tempat berdirinya Surau Raden Sulaiman yaitu 505 meter persegi. Bangunan surau memiliki panjang 10 meter dan lebar 9 meter, mampu menampung sekitar 100 jamaah.

Pada surau ini terdapat empat tiang tengah sebagai penopang bangunan utama yang terbuat dari kayu belian dan sekarang masih dapat kita jumpai di dalam surau. 

Tiang tersebut sengaja tidak dibongkar karena ketahanannya masih layak untuk menopang bangunan surau dan sebagai bukti sejarah dari surau lama. Meskipun atap, dinding, dan lantai sudah diganti baru semua.

Selain itu, masih ada peninggalan yang terawat yaitu tongkat khatib yang terbuat dari kayu belian yang diukir. Tongkat ini dulunya digunakan sebagai tongkat ketika khatib sedang membacakan kutbah. 

Tongkat khatib tersebut sekarang dipajang dalam lemari kaca agar terhindar dari debu dan sentuhan tangan. Sehingga dapat memudahkan tamu untuk melihat benda bersejarah tersebut.

Selain itu di depan surau masih ada tempayan besar yang terbuat dari batu yang digunakan untuk mencuci kaki ketika hendak masuk ke surau. 

2. Cerita tentang tempayan untuk wudu warga

ilustrasi wudu (IDN Times/Febriyanti Revitasari)

Tempayan itu menurut masyarakat setempat pernah pecah dan terbelah menjadi dua karena faktor panas dan perubahan cuaca. Karena adanya kerja sama masyarakat setempat untuk memperbaiki, tempayan tersebut menjadi utuh seperti sedia kala.

Tempayan itu harus dijaga agar jangan sampai pecah lagi karena kelalaian atau ketidaksengajaan. Jika tempayan ini rusak atau pecah akan hilang bukti sejarah yang sudah berumur ratusan tahun.

Di samping tempayan besar itu juga ada batu yang melebar. Batu tersebut digunakan Raden Sulaiman untuk berpijaknya kaki untuk mengambil air di tempayan.

Sumur atau telaga yang berada di samping kanan surau yang dahulu digunakan untuk berwudu ketika akan melakukan salat, saat ini sudah tidak tampak lagi. 

Sekarang fungsinya digantikan oleh sebuah tangki dari fiber yang lumayan besar. Sebagai penampungan air hujan yang digunakan untuk keperluan berwudu. Tangki dilengkapi pipa penyaluran air yang disambung ke beberapa kran untuk mempermudah berwudu.

Baca Juga: Nataru 2023, Pertamina Pastikan Stok BBM dan LPG Aman di Kalbar

Berita Terkini Lainnya