TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Kisah Kawan Tuli, 262 Kali Ditolak Perusahaan karena Pendengaran

Bincang ringan dengan Komunitas IKAT dan Semut

IDN Times/ Yuda Almerio

Samarinda, IDN Times - Dalam senyap komunitas ini saling bicara, jemari kiri dan kanan menjadi cara komunikasi. Cekatan membentuk makna unik yang hanya dimengerti oleh mereka saja.

Namun sayang, kelompok tersebut kerap mendapat perlakuan tak adil. Lantaran punya keterbatasan ketika mendengar dan berbicara. Dalam istilah resmi Kamus Besar Bahasa Indonesia, lazim disebut sebagai tuna rungu atau tak bisa mendengar lalu tuna wicara, tidak dapat bicara.

"Mereka lebih suka dipanggil tuli atau teman tuli. Kata itu merupakan bentuk identitas, berbeda makna dengan tuna rungu dan wicara yang seolah memberi pelabelan," ucap  Riani Rahayu, Juru Bahasa Isyarat (JBI), Balikpapan saat ditemui di Kegubernuran Kaltim, lantai dua, Kamis (22/8). 

1. Mengadu ke Gubernur Isran demi pekerjaan

IDN Times/Yuda Almerio

Saat ditemui IDN Times, Riani tak sendiri ada Nabila, Agustin dan Inggid, ketua Ikatan Kebersamaan Anak Tuli (IKAT) Samarinda. Sebagai juru bahasa isyarat, Riani bertugas sebagai penyambung lidah bagi kawan tuli dengan warga di sekitarnya. Dan secara khusus, Riani menemani ketiga teman tulinya itu.

Mereka hendak bertemu dan bicara dengan orang nomor satu di Kaltim, Isran Noor. Sayangnya niat tersebut tak sampai sebab ketika itu Isran tak berada di kantornya, pun demikian Wakil Gubernur, Hadi Mulyadi. Kedua pimpinan daerah sedang bertugas di luar Samarinda saat itu. "Ya, teman-teman ini hendak mengadu soal pekerjaan," terangnya.

2. Ditolak perusahaan sebanyak 262 kali karena tuli

elemanuzmani.com

Dari kisah Riani, ketiga temannya itu begitu sukar mendapat pekerjaan. Nabila misalnya, gadis 25 tahun itu sudah 262 kali ditolak oleh sejumlah perusahaan di berbagai daerah. Mulai dari Balikpapan, Samarinda hingga Yogyakarta. Alasan utama penolakan ialah komunikasi. Padahal, jika mau mempekerjakan, kendala bahasa diatasi dengan komunikasi nonverbal. "Kan bisa tulis di kertas kalau mau bicara," sarannya.

Pun demikian dengan alat bantu dengar, itu juga bisa dijadikan pendukung pendengaran. Nasib senada, juga dialami oleh Inggid. Setahun lalu, dia sempat mengadu ke Pemkot Samarinda namun hingga sekarang pekerjaan yang dinanti-nanti tak kunjung didapat. Padahal ketika itu, dia mendapat memo agar bisa memperoleh pekerjaan.

"Ini yang menjadi persoalan kawan-kawan tuli hingga sekarang," katanya.

3. Berharap kartu identitas disabilitas sampai ke daerah

pexels.com/bruce mars

Tak hanya urusan pekerjaan, terang dia, permasalahan surat izin mengemudi (SIM) juga dirasakan oleh teman-teman tuli. Maklum, petaka di jalan lazim disebabkan karena pengemudi tak memerhatikan kendaraan di jalan.

Atau menggunakan earphones sambil mendengarkan musik. Urusan pendengaran inilah yang membuat polisi agak sukar mengeluarkan SIM. "Padahal, mereka masih bisa melihat kendaraan di kaca spion," sebutnya.

Riana menerangkan, sahabat tuli di daerah juga memerlukan kartu identitas disabilitas. Dengan adanya kartu tersebut akses terhadap pelayanan publik bisa diperoleh bahkan pekerjaan juga bisa didapatkan. 

"Kami sudah mengusulkan sejak 2016 namun hingga sekarang belum ada realisasi," ujar mahasiswi Politeknik Kesehatan Balikpapan itu.

Berita Terkini Lainnya