Pro Kontra dalam Menyikapi Regulasi BPA Free

Penentangan terhadap aturan BPOM

Balikpapan, IDN Times - Pro kontra kandungan zat kimia bisphenol A (BPA) pada galon polikarbonat (PC) air minum dalam kemasan (AMDK) terjadi di publik. Persoalan mengemuka di tengah rancangan aturan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) soal pelabelan BPA Free pada produk AMDK di tanah air. 

Salah seorang di antaranya, adalah pengajar biokimia Fakultas MIPA Institut Teknologi Pertanian Bogor (IPB) Syaefudin yakin kandungan BPA aman bagi tubuh manusia. Ia berpendapat, senyawa kimia BPA akan keluar dari tubuh manusia yang tidak sengaja mengonsumsi melalui urine.

1. Pakar IPB setuju BPOM melakukan pengawan terhadap konsentrasi BPA

Pro Kontra dalam Menyikapi Regulasi BPA FreeLabel bebas BPA (BPA Free) pada kemasan pangan (IDN Times/Istimewa)

Namun kesempatan sama, Syaefudin pun setuju dengan rencana pengawasan BPOM pada produk AMDK. Badan negara ini akan memberlakukan aturan terhadap konsentrasi zat BPA masuk dalam tubuh manusia. Khususnya lewat proses konsumsi air minum dalam kemasan galon plastik keras.

“Kita sebenarnya tidak tahu berapa konsentrasi BPA yang ada di sekeliling kita. Kalau tidak dibatasi, bisa saja ada yang nakal meningkatkan konsentrasi BPA,” katanya dalam keterangan tertulis, Minggu (14/8/2022). 

Penerapan pelabelan BPA Free oleh BPOM bisa meminimalkan risiko dampak negatifnya pada tubuh manusia. Ketentuan pelabelan BPA Free masih dalam proses pengajuan draf  diserahkan kepada Sekretariat Presiden.

Baca Juga: Pemda Diminta Aktif dalam Pengawasan Produk AMDK di Daerah

2. Negara-negara yang mempergunakan kemasan galon BPA

Pro Kontra dalam Menyikapi Regulasi BPA FreePemimpin Negara-negara G7 bersama dengan Sekjen NATO, Presiden Komisi Eropa, dan Presiden Dewan Eropa bertemu di Brussels, Belgia (24/3/2022). (twitter.com/vonderleyen)

Banyak sudah praktisi kesehatan menyampaikan tentang negara berkembang yang masih belum mengatur ketat  kemasan galon BPA dengan regulasi, yakni Vietnam dan Indonesia. Sementara, di negara maju kemasan plastik BPA sudah dilarang, karena dinilai bisa memicu gangguan jantung, ginjal, kanker, gangguan hormon pada laki-laki dan perempuan, hingga gangguan mental anak.

Galon BPA rentan terhadap paparan sinar matahari sekaligus gesekan benda lain. Proses distribusi produk diduga yang menyebabkan peluruhan BPA pada galon jenis PC. 

Belum lagi tidak adanya kontrol terhadap galon BPA di pasaran yang sudah berusia di atas lima tahun, atau galon isi ulang yang dicuci dengan detergen di pinggir jalan selama bertahun-tahun. Meski disebutkan tahan panas, tidak ada juga yang mengontrol sejauh mana kontaminasi yang terus menerus terjadi pada air dalam kemasan galon BPA.

Karena kenaikan suhu temperatur maupun karena sebab lain seperti gesekan atau perlakukan saat pembersihan galon.

Galon jenis PC pastinya sangat berbeda dari plastik jenis polyethylene terephthalate (PET) yang dikenal relatif aman dan digunakan di seluruh dunia. Jepang menjadi salah satu negara maju yang beralih 100 persen mempergunakan plastik PET bagi industri kemasan. 

3. Tipe masyarakat yang gampang percaya dengan informasi tidak terpercaya

Pro Kontra dalam Menyikapi Regulasi BPA FreeBrowsing

Ahli teknologi polimer Fakultas Teknik Universitas Indonesia (UI)  Mochamad Chalid mengatakan, masyarakat Indonesia cenderung gampang percaya informasi yang sumber tidak tepercaya di media sosial. Mereka bahkan jarang mengecek kebenarannya. 

Sebaliknya, mayoritas warga negara-negara maju lebih percaya sumber informasi berasal dari media massa utama.  “Ada banyak pertimbangan, utamanya tentu pertimbangan teknologi. Tetapi, di samping itu, masyarakat di sana sudah terdidik dari awal, sehingga mereka sejak awal sudah sangat memahami kebijakan untuk memilih plastik PET,” katanya.

Amannya plastik PET bisa dilihat dari penggunaannya dalam skala masif di seluruh dunia. Termasuk oleh market leader pasar AMDK di Indonesia. Belum ada satu pun negara di dunia ini yang melarang penggunaan plastik PET untuk kemasan air minum.

Sejauh ini riset tidak menemukan pelepasan senyawa antimon  berbahaya dalam kemasan plastik PET. Di sisi lain, juga belum ditemukan adanya indikasi munculnya endokrin disruptor dalam plastik PET. Senyawa ini terkandung dalam zat BPA yang  bisa mengganggu sistem hormon tubuh.

4. Bahan PET yang dianggap lebih aman dibandingkan PC

Pro Kontra dalam Menyikapi Regulasi BPA Freeilustrasi minum air mineral kemasan (pexels.com/MaurícioMascaro)

Berdasarkan data, keunggulan plastik PET didukung riset yang menegaskan botol plastik PET aman digunakan. Kesimpulan ini dipublikasikan Council of Scientific and Industrial Research-Central Food Technological Research Institute (CSIR-CFTRI), Mysore, India. 

Analisis CSIR-CFTRI menyimpulkan, terpapar temperatur tinggi pun plastik PET tidak menyebabkan migrasi di dalam kemasan, semuanya masih di bawah batas deteksi (below detection limit).

Batas ini juga masih di bawah regulasi Uni Eropa (UE) tentang batas migrasi spesifik yang merupakan jumlah maksimum senyawa yang bisa bermigrasi dari kemasan ke dalam minuman di dalamnya. Secara keseluruhan, hasil riset ini menyimpulkan tidak ada senyawa kimia pada botol plastik PET yang melanggar batasan regulasi Uni Eropa.

"Regulasi pelabelan ini semata untuk perlindungan kesehatan masyarakat,” tegas Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny K. Lukito.

Ia menjelaskan, regulasi pelabelan tersebut mengacu pada hasil kajian dan riset mutakhir di berbagai negara terkait risiko paparan BPA pada kesehatan publik.

"Semua kajian (scientific research) lebih kepada risiko yang sangat tinggi terhadap kesehatan akibat dari BPA," katanya.

Menurutnya, kehadiran pelabelan tersebut bisa memotivasi pelaku industri untuk berinovasi dalam menghadirkan kemasan air minum yang aman bagi masyarakat. "Dari sisi konsumen, pelabelan risiko BPA adalah hak masyarakat untuk teredukasi dan memilih apa yang aman untuk dikonsumsi," tuturnya

Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Rita Endang juga menampik tudingan bahwa pelabelan BPA berdampak negatif pada industri air kemasan. 

Menurutnya, pandangan tersebut keliru karena pelabelan risiko BPA pada dasarnya hanya menyasar produk air galon bermerek alias punya izin edar. "Regulasi pelabelan BPA tidak menyasar industri depot air minum. Sejauh ini sudah ada 6.700 izin edar air kemasan yang dikeluarkan BPOM," kata Rita.

Rita merinci, saat ini sekitar 50 juta lebih warga Indonesia sehari-harinya mengonsumsi air kemasan bermerek. Dari total 21 miliar liter produksi industri air kemasan per tahunnya, 22 persen di antaranya beredar dalam bentuk galon isi ulang.

Dari yang terakhir, 96,4 persen berupa galon plastik keras PC. "Artinya 96,4 persen itu mengandung BPA. Hanya 3,6 persen yang PET. Inilah alasan kenapa BPOM memprioritaskan pelabelan risiko BPA pada galon guna ulang," katanya.

Baca Juga: Polisi Selidiki Video Mesum di Kafe Balikpapan

Topik:

  • Sri Wibisono

Berita Terkini Lainnya