Ibu Balita Korban Pencabulan Minta Pendampingan Psikologis

Balikpapan, IDN Times - Kasus kekerasan seksual yang menimpa seorang balita di Balikpapan, Kalimantan Timur, terus menyita perhatian publik. Pendampingan terhadap korban melibatkan berbagai pihak, termasuk tim kuasa hukum dari Hutama Law Firm. Bahkan, tim kuasa hukum telah melakukan pertemuan dengan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Arifah Choiri Fauzi, untuk memastikan keberlanjutan proses hukum dan pendampingan korban.
Yusuf Hakim Nasution, kuasa hukum korban, mengungkapkan bahwa dalam pertemuan pada Minggu, 26 Januari 2024, Menteri PPPA menegaskan prioritas pada jalannya proses hukum. "Ibu Menteri berfokus pada sejauh mana proses hukum berjalan. Kami sampaikan bahwa kasus ini sudah naik sidik dan kini menunggu penetapan tersangka. Namun, ini sepenuhnya berada dalam domain kepolisian," ujar Yusuf, Selasa (28/1/2024).
1. Pendampingan psikologis untuk ibu dan anak

Selain mengawal kasus secara hukum, tim kuasa hukum juga meminta pendampingan psikologis bagi ibu korban yang mengalami tekanan emosional berat. Menurut Yusuf, pendampingan tersebut telah direspons oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Kota Balikpapan melalui UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA).
"Ibu korban sangat terpukul. Sebagai seorang ibu, SB (28) tentu tidak bisa menerima apa yang dialami putrinya. Oleh karena itu, pendampingan psikologis secara rutin sangat diperlukan agar kondisi emosionalnya bisa kembali stabil," jelas Yusuf.
Pendampingan selama ini memang sudah dilakukan oleh UPTD PPA, namun lebih berfokus kepada korban. Yusuf berharap perhatian yang sama juga diberikan kepada ibu korban, mengingat dampak psikologis yang dirasakannya sangat besar.
2. Proses hukum berjalan lambat

Kasus ini sendiri mencuat sejak Oktober 2024, namun hingga kini belum ada penetapan tersangka. Yusuf menjelaskan, salah satu kendala dalam proses hukum adalah usia korban yang masih 2 tahun, sehingga sulit memberikan keterangan secara runut.
Untuk mempercepat proses, psikolog forensik telah dihadirkan pada 21 Januari lalu untuk melakukan asesmen terhadap korban dan terduga pelaku. "Kami menghormati proses hukum yang sedang berjalan, tetapi kami berharap penanganan kasus ini dapat dipercepat," ujar Yusuf.
Yusuf juga menyebut bahwa korban mengalami luka fisik berupa infeksi saluran kemih, yang mengindikasikan adanya kekerasan seksual. Hal ini menambah urgensi untuk menyelesaikan perkara ini secepat mungkin.
3. Dugaan ada kekerasan seksual pada korban

Dugaan kekerasan seksual pertama kali muncul saat ibu korban memandikan anaknya. Korban mengeluhkan sakit sambil memegangi bagian tubuhnya. Curiga dengan kondisi tersebut, ibu korban segera membawa anaknya ke rumah sakit untuk menjalani visum.
Hasil visum menunjukkan adanya luka pada alat vital korban akibat benda tumpul. Berdasarkan temuan tersebut, ibu korban melaporkan kejadian ini ke polisi pada 2 Oktober 2024. Terlapor dalam kasus ini adalah seorang bapak kos yang tinggal tak jauh dari tempat tinggal korban. Dugaan mengarah kepadanya karena sebelumnya korban sempat digendong oleh terlapor.
4. Harapan kepada aparat penegak hukum

Yusuf berharap agar Polda Kaltim segera menuntaskan kasus ini. Ia juga mengapresiasi komitmen Menteri PPPA yang berencana berdiskusi langsung dengan tim kepolisian untuk memastikan kasus ini tidak berlarut-larut.
"Pada prinsipnya, ini adalah perhatian besar bagi Ibu Menteri. Kami berharap proses hukum dapat berjalan cepat dan adil untuk memberikan keadilan bagi korban dan keluarganya," pungkas Yusuf.
Kasus ini menjadi pengingat akan pentingnya perlindungan terhadap anak dan pendampingan psikologis bagi korban maupun keluarga mereka, terutama dalam kasus-kasus sensitif seperti kekerasan seksual.