Menyibak Buramnya Dunia Pendidikan di Pinggiran

Balikpapan, IDN Times - Warganet baru-baru ini dihebohkan oleh viralnya video yang memperlihatkan minimnya layanan pendidikan di SDN 078481 Uluna'ai Hiligo'o Laowo Hilimbaruzo, Dusun III, Desa Laowo Hilimbaruzo, Kabupaten Nias, Sumatra Utara.
Video berdurasi 1 menit 19 detik yang diunggah pada 19 Januari 2025 ini menunjukkan kondisi memprihatinkan dalam dunia pendidikan di Indonesia, khususnya di kawasan 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar).
Terletak di pulau yang berbatasan langsung dengan Samudra Hindia, daerah ini menghadapi sejumlah tantangan besar, mulai dari keterbatasan infrastruktur hingga kondisi ekonomi masyarakat yang masih jauh di bawah rata-rata.
Dalam video tersebut, seorang siswa berseragam SD mengungkapkan bahwa proses belajar mengajar terhenti di sekolah tersebut. Video ini kemudian viral setelah diunggah ke kanal Facebook @faktaunikmenarik.
Masalah keterbatasan infrastruktur pendidikan seperti ini bukanlah hal baru, terutama di luar Jawa, dalam hal ini kawasan 3T. Melalui kolaborasi dengan Hyperlokal IDN Times, kami akan mengangkat masalah serupa yang terjadi di pelbagai daerah di Indonesia.
1. Guru absen mengajar selama sebulan

Kondisi memprihatinkan dunia pendidikan di Kabupaten Nias, Sumatra Utara, terungkap melalui sebuah video yang direkam langsung oleh para siswa. Dalam video yang kini viral di media sosial, tampak bangunan sekolah yang kosong tanpa kehadiran guru saat jam pelajaran berlangsung.
Para siswa terlihat berkeliaran di lingkungan sekolah tanpa pengawasan. Seorang bocah berseragam SD dalam video tersebut menyampaikan keluhannya lantaran tidak ada satu pun guru yang hadir untuk mengajar. Ia juga memperlihatkan ruang kelas yang berantakan, dengan meja dan kursi yang tidak tertata rapi. Bahkan, ruang guru tampak kosong dan tak berpenghuni.
"Ini keadaan guru kami, tidak ada. Kantor guru juga kosong, satu orang pun tidak ada," ujar salah satu siswa dalam video dengan nada kecewa.
Tak hanya itu, siswa lain dalam rekaman turut bersaksi bahwa selama sebulan terakhir, sekolah mereka nyaris tidak memiliki aktivitas belajar mengajar. Para guru yang datang pun hanya membunyikan lonceng lalu pergi tanpa memberikan pelajaran.
"Setiap hari tidak ada guru yang masuk ke kelas. Kalau pun datang, mereka hanya memukul lonceng lalu pergi," ungkap seorang siswa dalam video yang diunggah di media sosial.
Video ini pun langsung menuai beragam reaksi dari warganet. Banyak yang prihatin dengan kondisi pendidikan di daerah terpencil seperti Nias dan berharap pemerintah segera turun tangan untuk menangani persoalan ini.
2. Keterbatasan infrastruktur serta tantangan medan di Pulau Nias

Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Nias akhirnya angkat bicara terkait absennya para guru di SDN 078481 Uluna'ai Hiligo'o Laowo Hilimbaruzo yang sempat viral di media sosial. Dalam pernyataan resminya, Pemkab Nias menjelaskan bahwa sekolah tersebut berada di dusun terisolir dengan akses yang sangat sulit dijangkau.
Sekolah yang terletak sekitar 8,5 kilometer dari desa induk ini hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki dan harus menyeberangi 13 sungai. Perjalanan menuju sekolah membutuhkan waktu sekitar dua jam dalam kondisi medan yang berat.
Terdapat jalur alternatif lain melalui kecamatan terdekat, namun guru harus berjalan sejauh 4 kilometer melewati bukit terjal dan jalan tanah. Sementara itu, akses melalui Desa Soroma'asi di Kecamatan Ulugawo juga bisa digunakan, meskipun harus menempuh 4 kilometer jalan berbatu dengan kontur berbukit serta tambahan 4 kilometer jalan tanah yang licin saat hujan.
Kondisi sekolah juga dinilai masih jauh dari layak. Dengan jumlah siswa mencapai 62 orang, sekolah ini belum memiliki rumah dinas bagi para guru, bahkan jaringan listrik pun belum tersedia. Dusun III, tempat sekolah ini berada, dihuni oleh 315 jiwa dari 80 kepala keluarga (KK).
"Para guru yang bertugas di sekolah ini tinggal di luar Dusun III dan harus berjalan kaki setiap hari melewati sungai yang kerap meluap saat hujan deras. Curah hujan tinggi dalam beberapa bulan terakhir menjadi tantangan utama bagi mereka untuk tiba di sekolah tepat waktu," ungkap Kepala Dinas Pendidikan Nias, Kharisman Halawa, melalui akun media sosial resmi Pemkab Nias, Minggu (19/1/2025).
Untuk mengatasi masalah ini, Pemkab Nias kini mewajibkan para guru untuk tinggal di Dusun III demi memastikan proses belajar mengajar berjalan optimal. Saat ini, terdapat sembilan guru yang bertugas di sekolah tersebut, terdiri dari tiga PNS, dua PPPK, dan empat guru tidak tetap.
Pemkab Nias juga terus berupaya meningkatkan infrastruktur dengan membuka akses jalan ke desa-desa terisolir. Berdasarkan data terkini, masih ada 19 desa di Nias yang belum memiliki akses jalan beraspal, yang menjadi tantangan besar dalam meningkatkan layanan pendidikan di wilayah tersebut.
3. Tim Inspektorat Pemprov Sumatra Utara turun untuk mengecek kondisi lapangan

Penjabat (Pj) Gubernur Sumatra Utara Agus Fatoni, angkat bicara terkait viralnya kondisi Sekolah Dasar (SD) Negeri 078481 Uluna'ai Hiligo'o Hilimbaruzo di Kabupaten Nias. Sekolah tersebut menjadi sorotan publik setelah beredar video yang menunjukkan absennya para guru saat jam pelajaran berlangsung.
Fatoni memastikan bahwa Pemerintah Provinsi Sumatra Utara telah mengirim tim investigasi untuk menelusuri kondisi di lapangan.
"Kami telah menurunkan tim dari Inspektorat dan Dinas Pendidikan Sumut untuk melakukan pengecekan langsung. Hasil investigasi ini akan segera kami sampaikan kepada publik," ujar Fatoni pada Rabu (22/1/2025).
Ia menegaskan bahwa langkah ini diambil untuk mengetahui kondisi sebenarnya dan merumuskan solusi yang tepat bagi sekolah tersebut.
"Kami ingin mendapatkan gambaran yang jelas mengenai situasi di sekolah itu. Pemerintah berkomitmen untuk menindaklanjuti setiap temuan tim demi memastikan hak pendidikan anak-anak di sana terpenuhi," tambahnya.
Sebelumnya, video yang memperlihatkan kondisi sekolah tersebut telah memicu keprihatinan luas di kalangan masyarakat. Banyak pihak yang berharap pemerintah segera bertindak untuk mengatasi permasalahan tersebut dan memastikan keberlanjutan proses belajar mengajar.
Fatoni menegaskan bahwa pihaknya tidak akan tinggal diam dan berjanji akan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem pendidikan di daerah terisolir, termasuk infrastruktur serta kesejahteraan guru.
4. Krisis guru terjadi wilayah pelosok Indonesia bagian timur

Masih kawasan 3T di Indonesia, pedalaman Pulau Borneo, tepatnya di SDN 014 Desa Tani Baru, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur (Kaltim), proses belajar-mengajar menghadapi tantangan besar.
Sekolah yang berdiri di atas bangunan panggung di pinggiran Sungai Mahakam ini hanya bisa dijangkau melalui perjalanan empat jam menggunakan speedboat dari Samarinda. Minimnya akses transportasi darat menjadi hambatan utama bagi para siswa dan guru.
Ancaman buaya muara yang kerap muncul di sekitar sekolah semakin memperparah kondisi. Namun, semangat belajar para siswa tetap tinggi, meski harus menghadapi keterbatasan sarana dan prasarana.
Dengan hanya empat tenaga pengajar, sekolah ini melayani puluhan siswa yang mayoritas merupakan anak-anak nelayan. Kondisi sekolah yang minim fasilitas, hanya memiliki dua ruang kelas yang dikelilingi hutan bakau dan rawa-rawa di Delta Mahakam.
Mirisnya, banyak siswa yang tidak memiliki sepatu maupun seragam yang layak.
Kondisi serupa juga dialami Sekolah Satu Atap (Satap) 1 Keruak di Gili Maringkik, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB). Keterbatasan ruang belajar serta minimnya sarana pendidikan menjadi tantangan berat.
Kepala Sekolah Satap 1 Keruak Abdullah mengungkapkan, sekolahnya masih kekurangan fasilitas penting seperti perpustakaan, laboratorium, dan alat pembelajaran yang memadai. “Kami hanya memiliki sembilan rombongan belajar, enam untuk SD dan tiga untuk SMP, dengan jumlah tenaga pendidik yang terbatas, yakni tiga guru PNS, dua guru PPPK, dan lima guru honorer,” ujarnya.
Keterbatasan ruang memaksa pihak sekolah menggunakan ruang laboratorium sebagai kelas darurat. “Kelas SMP sudah tidak layak karena belum pernah direnovasi sejak pertama kali dibangun pada tahun 1965,” tambahnya.
Tingginya biaya pembangunan di Gili menjadi tantangan tersendiri dalam upaya perbaikan infrastruktur sekolah. “Biaya pembangunan di Gili bisa mencapai enam kali lipat dibandingkan di daratan. Harga pasir saja mencapai Rp3,6 juta per truk, belum lagi material lainnya yang juga sangat mahal,” jelas Abdullah.
Kendati menghadapi berbagai keterbatasan, para guru di kedua sekolah ini tetap berkomitmen memberikan pendidikan terbaik bagi anak-anak di daerah terpencil. Semangat mereka menjadi bukti bahwa pendidikan adalah harapan, bahkan di tempat yang jauh dari kemudahan.
5. Tantangan para guru dari perahu bocor hingga gaji Rp1,2 juta per enam bulan

Medan yang sulit masih menjadi tantangan utama bagi masyarakat Kalimantan dalam menjalani aktivitas sehari-hari, termasuk dalam dunia pendidikan. Salah satu insiden yang menjadi perhatian terjadi dua tahun lalu, ketika puluhan siswa dan guru SDN 021 Teluk Waru Kariangau, Balikpapan, Kaltim, harus menyelamatkan diri ke hutan mangrove.
Peristiwa itu bermula ketika perahu klotok yang mereka tumpangi mengalami kebocoran di tengah perjalanan pulang. Seorang saksi mata menyebutkan bahwa air mulai merembes ke dalam perahu secara tiba-tiba, sehingga motoris terpaksa menepi ke kawasan hutan mangrove demi keselamatan seluruh penumpang.
Sebanyak 28 siswa SD dan SMP serta 8 guru terjebak selama beberapa jam sebelum akhirnya diselamatkan oleh Tim SAR Balikpapan.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Balikpapan Irfan Taufik menjelaskan, perahu klotok merupakan satu-satunya sarana transportasi bagi siswa yang berdomisili di Kelurahan Kampung Baru Ulu.
"Warga Kampung Baru harus menggunakan perahu untuk pergi dan pulang sekolah di Teluk Waru. Layanan ini sepenuhnya gratis," ujar Irfan.
Kisah perjuangan serupa juga dialami Novi Antika, seorang guru di SDN 1 Tambora, Desa Oi Bura, Kecamatan Tambora, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB). Selama delapan tahun, ia mengabdi sebagai sukarelawan di sekolah yang terletak di lereng Gunung Tambora, menghadapi berbagai keterbatasan demi mencerdaskan generasi muda di daerah terpencil.
Dengan honor Rp1,2 juta yang diterimanya setiap enam bulan sekali, Novi tetap bersemangat mendidik anak-anak. "Saya mulai mengajar sejak 2017. Saat itu, satu-satunya guru PNS hanya kepala sekolah, sementara lainnya tenaga sukarela," ujar lulusan Universitas Muhammadiyah Mataram ini.
Dalam kondisi serba terbatas, Novi sering kali harus mengajar sendiri dari kelas 1 hingga kelas 6. "Saya harus menggabungkan dua kelas dalam satu ruangan dan bergantian setiap jam pelajaran. Capeknya luar biasa, sampai suara saya sering habis," katanya.
Perjalanan menuju sekolah harus ditempuh dengan berjalan kaki sejauh 3 hingga 4 kilometer melewati medan berbatu dan ancaman binatang liar seperti babi hutan serta ular. Dari enam ruang kelas yang tersedia, hanya tiga yang bisa digunakan, sementara sisanya rusak berat akibat gempa tahun 2019.
Di Karangasem, Bali, Nengah Sukerti telah mengabdikan dirinya sebagai guru di Sekolah Ekoturin selama 22 tahun. Sekolah yang berdiri sejak 1999 ini hadir untuk mempermudah akses pendidikan bagi warga Desa Ban yang terpencil.
Awalnya, sekolah ini hanya berada di Dusun Bunga, tetapi kini telah berkembang ke lima dusun lainnya hingga tahun 2007. Saat ini, Sekolah Ekoturin tersebar di enam dusun dengan total 198 murid.
Sukerti mengajar di SD Ekoturin Dusun Manikaji yang hanya memiliki kurang dari 10 murid. Sebelum berangkat mengajar, ia harus menyelesaikan rutinitas pagi seperti memasak dan mencari pakan ternak. Sepulang sekolah, ia masih harus mencari kayu bakar dan air untuk kebutuhan sehari-hari.
Motivasinya untuk terus mengajar datang dari keprihatinannya terhadap jarak sekolah negeri yang terlalu jauh. "Anak-anak saya semuanya lulusan Sekolah Ekoturin Manikaji. Kalau sekolah negeri, jaraknya terlalu jauh," ungkapnya.
Sebelum menjadi guru, Sukerti mengikuti pelatihan selama satu bulan. Ia sempat berpikir untuk menyekolahkan anak-anaknya ke Bangli, namun kehadiran Sekolah Ekoturin membuatnya mantap menyekolahkan mereka di desanya sendiri. "Tanpa sekolah ini, mungkin anak-anak di sini tidak bisa sekolah," ujarnya.
Selain menjadi seorang guru, Sukerti juga berperan sebagai serati banten, atau pembuat sesajen dalam upacara adat Hindu di Bali. Dedikasinya dalam mendidik anak-anak di daerah terpencil membuktikan bahwa pendidikan adalah harapan bagi masa depan yang lebih baik.
6. Ketimpangan pendidikan di 3T

Badan Pusat Statistik (BPS) merilis hasil survei terkait ketimpangan kondisi infrastruktur dan tenaga pengajar di dunia pendidikan Indonesia untuk jenjang SD, SMP, dan SMA/SMK. Hasil survei ini mengungkapkan adanya kesenjangan signifikan antara jumlah sekolah dan guru di tingkat SD dibandingkan dengan jenjang SMP hingga SMA/SMK.
Dalam tiga tahun terakhir, jumlah Sekolah Dasar (SD) Negeri di Indonesia tercatat sebagai berikut:
- Tahun ajaran 2020/2021: 148.743 sekolah
- Tahun ajaran 2021/2022: 148.992 sekolah
- Tahun ajaran 2022/2023: 148.975 sekolah
Terjadi pengurangan sebanyak 17 sekolah dalam kurun waktu tersebut. Adapun jumlah guru SD tercatat sebanyak 1.605.509 orang.
Sementara itu, jumlah Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri mengalami peningkatan:
- Tahun ajaran 2020/2021: 40.597 sekolah
- Tahun ajaran 2021/2022: 41.402 sekolah
- Tahun ajaran 2022/2023: 41.986 sekolah
Terjadi penambahan sebanyak 584 sekolah, dengan jumlah guru yang mencapai 708.675 orang.
Untuk jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri, jumlahnya juga mengalami peningkatan:
- Tahun ajaran 2020/2021: 13.865 sekolah
- Tahun ajaran 2021/2022: 14.007 sekolah
- Tahun ajaran 2022/2023: 14.236 sekolah
Bertambah sebanyak 229 sekolah, dengan total guru sebanyak 347.977 orang.
Sedangkan untuk Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri, data menunjukkan kenaikan jumlah sekolah sebagai berikut:
- Tahun ajaran 2020/2021: 14.078 sekolah
- Tahun ajaran 2021/2022: 14.199 sekolah
- Tahun ajaran 2022/2023: 14.265 sekolah
Terjadi penambahan sebanyak 66 sekolah, dengan jumlah guru mencapai 337.271 orang.
Hasil survei ini juga mengungkapkan adanya keterbatasan daya tampung siswa yang lulus dari jenjang SD ke SMP, hingga ke tingkat SMA/SMK. Kesenjangan jumlah sekolah di setiap jenjang pendidikan menjadi tantangan dalam pemerataan akses pendidikan di seluruh Indonesia.
6. Pemerataan para guru di daerah

Pada akhirnya, daerah mulai menata sistem distribusi para guru guna menjamin pemerataan pendidikan di antara kawasan perkotaan dan 3T. Seperti dilakukan bertahap Pemprov Sumatra Selatan (Sumsel) dengan membatasi mutasi para guru ke kota.
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pendidikan Sumsel Awaluddin menyebutkan, meskipun jumlah guru sudah mencukupi, penempatannya masih terkonsentrasi di kota-kota besar.
Pada tahun 2023, jumlah guru jenjang SMA, SMK, dan Madrasah Aliyah di Sumsel tercatat sebanyak 29.950 orang. Palembang menjadi kota dengan jumlah guru terbanyak, yakni 6.015 orang. Sementara itu, daerah terluar seperti Ogan Komering Ulu (OKU) Selatan hanya memiliki 1.191 guru, dan Musi Rawas Utara (Muratara) bahkan lebih sedikit, hanya 624 guru.
"Sumsel memang masih kekurangan guru, namun masalah utama yang kami hadapi adalah distribusi yang belum merata," ujar Awaluddin.
Untuk mengatasi ketimpangan ini, Dinas Pendidikan Sumsel melakukan berbagai langkah strategis, salah satunya adalah pembatasan mutasi guru Aparatur Sipil Negara (ASN) ke Palembang melalui Surat Edaran (SE) Gubernur Sumsel. Langkah ini bertujuan untuk mencegah penumpukan tenaga pendidik di kota dan memastikan pemerataan di daerah.
"Dalam tiga tahun terakhir, tidak ada mutasi guru dari daerah ke Palembang. Kebijakan ini dibuat agar daerah terpencil tidak kekurangan tenaga pendidik," jelasnya.
Menurut Awaluddin, banyak guru ASN yang sebelumnya ditempatkan di daerah pelosok mengajukan mutasi ke Palembang atau daerah yang lebih dekat dengan tempat tinggal mereka. Akibatnya, sekolah di wilayah asal mereka mengalami kekurangan tenaga pengajar.
"Daerah yang paling terdampak adalah yang memiliki akses sulit. Banyak guru yang lebih memilih pindah ke lokasi yang lebih nyaman, sehingga terjadi kekosongan di sekolah asal mereka," terangnya.
Meski demikian, Awaluddin menegaskan bahwa kebijakan ini tidak bertujuan untuk membatasi hak guru dalam mengajukan mutasi, melainkan untuk menjaga keseimbangan kebutuhan tenaga pendidik di seluruh wilayah.
"Mutasi adalah hak ASN, namun kami harus selektif dalam memberikan rekomendasi. Jika kepala sekolah tidak menyetujui mutasi, maka permohonan tersebut tidak dapat diproses," tambahnya.
Selain mengoptimalkan tenaga ASN, Dinas Pendidikan Sumsel juga terus membuka formasi guru Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Pada tahun 2024, sebanyak 98 formasi PPPK untuk guru SMA telah dibuka, sementara pada tahun 2023 sebanyak 914 guru telah diangkat.
7. Kebijakan pemerataan pendidikan ditunggu daerah

Pengamat pendidikan dan akademisi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung, M. Thoha Batin Sampurna Jaya, mengapresiasi langkah Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu'ti, dalam merumuskan kebijakan pemerataan distribusi guru ke berbagai jenis sekolah, baik negeri maupun swasta, termasuk di daerah terpencil.
Thoha menilai kebijakan ini sebagai langkah strategis untuk meningkatkan kualitas pendidikan yang merata di seluruh Indonesia. Namun, ia menekankan perlunya dukungan fasilitas yang memadai bagi para guru di daerah terpencil agar mereka dapat menjalankan tugas dengan optimal.
"Pemerintah kabupaten harus bertanggung jawab dalam penyediaan fasilitas bagi guru SD dan SMP, sementara untuk guru SMA menjadi kewenangan pemerintah provinsi," ujar Thoha.
Meski demikian, Thoha menyoroti fenomena yang kerap terjadi di mana guru yang ditempatkan di daerah terpencil sering mencari cara untuk pindah ke kota setelah bertugas dalam waktu singkat. Oleh karena itu, ia mengusulkan agar pemerintah memberikan insentif dan fasilitas yang lebih menarik guna meningkatkan kesejahteraan mereka.
"Agar guru tetap bertahan dan mengabdi di daerah terpencil, pemerintah perlu menyediakan insentif yang layak, seperti tunjangan khusus dan fasilitas pendukung lainnya," tambahnya.
Thoha juga menyoroti kesenjangan gaji antara guru di perkotaan dan di daerah terpencil. Ia menilai bahwa meskipun tantangan di daerah terpencil lebih besar, gaji yang diterima masih relatif sama.
"Guru di daerah pedalaman menghadapi tantangan berat, mulai dari akses yang sulit, keterbatasan transportasi, hingga minimnya infrastruktur komunikasi. Karena itu, tambahan insentif menjadi kebutuhan mendesak," jelas Thoha.
Jika persoalan ini tidak segera diatasi, Thoha memperingatkan bahwa kekurangan tenaga pendidik berkualitas di daerah terpencil akan semakin parah, yang pada akhirnya berdampak pada kesenjangan kualitas pendidikan.
"Perbedaan kualitas pendidikan antara daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal) dan perkotaan akan semakin tajam, memperlebar kesenjangan dalam proses pembelajaran," tegasnya.
Thoha berharap kebijakan pemerataan distribusi guru yang digagas pemerintah pusat dapat menjangkau seluruh daerah, termasuk pelosok, agar seluruh anak bangsa memiliki akses pendidikan berkualitas yang setara.
Artikel ini merupakan kolaborasi tim PIC Kaltim: Rangga Erfizal (Palembang), Doni Hermawan (Medan), Prayugo Utomo (Medan), M. Iqbal (Lebak), Herlambang (Yogyakarta), Ni Komang (Karangasem), Ruhaili (Lombok Timur), Juliaddin (Bima), dan Silviana Via (Tanggamus).