TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

FORINA: Pekerja Pusat Konservasi Orangutan Perlu Rapid Test COVID-19

Mencegah penularan COVID-19 ke orangutan

Orangutan Kalimantan (dok.BOSF)

Balikpapan, IDN Times - Pandemik virus corona memberikan tantangan baru untuk upaya konservasi satwa liar, termasuk orangutan. Ketua Forum Orangutan Indonesia (FORINA), Dr. Aldrianto Priadjati mengatakan, perlunya pemeriksaan rapid test COVID-19 bagi para pekerja yang ada di pusat rehabilitasi dan bersentuhan langsung dengan orangutan. 

"Kita mengharapkan adanya tes untuk teman-teman yang berkecimpung di pusat rehabilitasi untuk mendapatkan rapid test," kata Aldrin saat dihubungi IDN Times, Sabtu (25/4).

Menurutnya, hal ini penting karena pekerja yang hidup di tengah masyarakat bisa saja menjadi carrier virus corona dan menjadi Orang Tanpa Gejala  (OTG) yang dapat menularkan COVID-19 kepada orangutan di pusat rehabilitasi.

Baca Juga: Wabah Virus Corona Ancam Konservasi Bekantan di Kalimantan Selatan

1. Protokol kesehatan mesti dijalankan untuk mencegah penularan

Anak orangutan (Dok.BOSF)

FORINA sendiri telah mengeluarkan imbauan untuk mencegah penyebaran COVID-19 untuk menjaga kesehatan pihak-pihak yang terkait dengan kegiatan konservasi orangutan.

Salah satu imbauan FORINA adalah untuk upaya konservasi dilakukan dengan tetap melakukan yang terbaik guna mengurangi risiko penyebaran COVID-19 di antara manusia, maupun dari manusia ke satwa liar khususnya orangutan.

"Kita mengharapkan jaga jarak, dan lainnya, bisa diterapkan oleh semua stakeholder. Di FORINA ada empat pilar, pemerintah, swasta, para pemerhati, dan LSM. Dari empat pilar itu diharapkan bisa mematuhi imbauan pemerintah," ujar Aldrin. 

2. Upaya pencegahan penularan tidak hanya di pusat konservasi tetapi juga di hutan

Ilustrasi rapid test COVID-19 (ANTARA FOTO/Jojon)

"Kita juga mengharapkan ada biosafety di dalam setiap kegiatan, memakai masker, jaga jarak, harus clean, dan menerapkan beberapa hal untuk mencegah COVID-19 itu, seperti pengukuran suhu, pembersihan alat dan pakaian (khusus) untuk teman-teman yang berinteraksi dengan orangutan," ujar Aldrin yang juga Direktur Restorasi Habitat Orangutan Indonesia (RHOI).

Selain itu, ia mengingatkan bahwa orangutan tidak hanya ada di pusat rehabilitasi atau konservasi tetapi juga ada di hutan. Sehingga upaya pencegahan juga tetap harus dilakukan. 

"Para peneliti, atau penggiat konservasi yang di hutan untuk berhati-hati. Untuk teman-teman yang berkecimpung di ekowisata atau wisata yang berhubungan dengan orangutan agar lebih waspada, karena untuk mencegah lebih bagus daripada mengobati," kata Aldrin.

Ia menambahkan, "Memang saya lihat di beberapa tempat kesadaran pengamatan orangutan juga cukup ketat di pusat rehabilitasi, karena kan tujuannya untuk dikembalikan ke hutan. Namun demikian pekerjanya juga harus kita amankan juga untuk meminimalisir penularan yang ada," bebernya.

3. Kendala yang dihadapi oleh pusat konservasi orangutan

Ketua Forum Orangutan Indonesia (FORINA) Dr. Aldrianto Priadjati (dok.pribadi)

Aldrin membeberkan, sejumlah lembaga konservasi menemui kendala sponsorship atau pendanaan karena sejumlah donatur menyatakan mengurangi atau bahkan menghentikan bantuan selama masa pandemik COVID-19 ini.

Selain itu, masalah Alat Pelindung Diri (APD) juga menjadi kendala, seperti naiknya harga serta kelangkaan masker dan hand sanitizer di lapangan yang menjadi kebutuhan sehari-hari bagi para pekerja dan dokter yang bekerja di pusat rehabilitasi orangutan.

"Pemeliharaan orangutan juga cukup mahal, harga pakan naik. Masih perlu tambahan seperti vitamin c yang harganya cukup mahal. Vitamin untuk orangutan dan manusia (pekerja) juga. Untuk membentengi diri," katanya.

4. Tidak melakukan kunjungan ke tempat konservasi dan ke hutan

Orangutan dan anaknya di hutan Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya (Dok.BOSF)

Aldrin juga menjelaskan FORINA telah mengimbau untuk menunda seluruh kegiatan atau kerja lapangan, seperti survey, monitoring, dan kegiatan lainnya, termasuk rilis atau pelepasliaran orangutan kembali ke hutan.  

"Rilis sudah tidak dilakukan dan juga ada imbauan pemerintah untuk menunda rilis. Kita harus melihat plus minusnya," ujarnya.

Lebih lanjut, pihaknya juga mengimbau untuk menunda kegiatan kunjungan wisata di habitat orangutan serta kegiatan lain yang bersifat interaksi langsung.

"Untuk kunjungan ke hutan baik peneliti maupun wisatawan tidak disarankan. Tetapi untuk para karyawan yang sudah berada di hutan, justru lebih aman di hutan. Namun, jika keluar dari hutan akan diisolasi selama 14 hari," kata doktor lulusan Wageningen University, Belanda ini.

Sementara untuk teknis pelaksanaan kegiatan yang membutuhkan pertemuan fisik seperti koordinasi, konsolidasi, pelatihan, dan kegiatan lain terkait orangutan dapat tetap dilaksanakan meskipun secara online.

Baca Juga: Pandemik Virus Corona Ancam Rehabilitasi Orangutan Kalimantan

Berita Terkini Lainnya