Hikayat Enam Kampung Kuno di Samarinda sebelum Jadi Ibu Kota Provinsi
Kutai Kartanegara masih berhubungan dengan Singasari?
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Samarinda, IDN Times - Delapan ratus tahun lalu, sejarah peradaban kuno Kota Tepian -sebutan Samarinda- dimulai. Jauh sebelum kota yang dibelah Sungai Mahakam ini, lahir pada 21 Januari 1668.
Dalam bukunya Samarinda Tempo Doeloe (2017), sejarawan Samarinda, Muhammad Sarip membahas mengenai fondasi awal warga Kota Tepian. “Jadi warga asli Samarinda sudah ada, sebelum kedatangan warga Bugis Wajo dari Sulawesi Selatan yang kemudian mendiami Sungai Karang Mumus,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Sarip menjelaskan, pada abad 13 Masehi atau sekitar tahun 1200-an. Ada enam kampung yang menjadi tonggak peradaban di Samarinda. Hingga sekarang kawasan tersebut tak banyak berubah nama.
Pertama itu Pulau Atas, kedua Karang Asam, kemudian Karamumus (Karangmumus) selanjutnya Luah Bakung atau Loa Bakung lalu Sembuyutan alias Sambutan dan yang terakhir itu Mangkupelas (Mangkupalas).
“Dari penelusuran peta Google, hanya satu wilayah yang berada di Samarinda Seberang atau sisi selatan Sungai Mahakam, yakni Mangkupalas sisanya sebagian besar berada di kawasan sembiran sungai atau bagian utara Mahakam,” terangnya saat dijumpai IDN Times di kantornya RV Pustaka Horizon.
1. Enam kampung kuno Samarinda disebutkan dalam disertasi CA Mees asal Universitas Groningen, Belanda
Penyebutan enam kampung tersebut tercatat dalam manuskrip surat Salasilah Raja Kutai Kartanegara. Naskah kuno itu selesai ditulis pada Rabiul Awal 1265 Hijriyah atau 24 Februari 1849.
Sementara yang menulis kajian historiografi tersebut ialah Khatib Muhammad Tahir. Dia merupakan juru tulis di Kesultanan Kutai Kartanegara, sahifah tersebut ditulis dalam aksara Jawi kuno (Arab-Melayu).
Kisah itu kemudian alih aksara ke dalam Bahasa Latin lantas dikutip ke dalam buku De Kroniek Van Koetai Tekstuitgave Met Toelichting karya Constantinus Alting Mees. Naskah itu terbit pada 24 Januari 1935. Diajukan C.A. Mees demi meraih gelar doktor bidang sastra dan filasafat Universitas Groningen, Belanda. Pada halaman 134 disebutkan, “Maka berdatanganlah oerang oendangan jang tiga belas benoea itoe masing-masing, maka soembalah orang-orang Poelau Atas dan Orang Karang Asam dan orang Karamoemoes dan orang Loeah Bakoeng dan orang Semboejoetan dan orang Mangkoepelas, itoelah banjaknya orang jang datang.”