Hasil Riset BPA, YLKI Ungkap Kebobrokan dalam Industri AMDK

FMCG Insights meminta industri AMDK untuk berbenah

Balikpapan, IDN Times - Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mempublikasi hasil riset soal carut marut proses distribusi dan display produk air minum dalam kemasan (AMDK) area Jabodetabek baru-baru ini. Kerancuan proses pasca pasar yang berpotensi memperparah risiko Bisfenol A (BPA) sebagai bahan kini yang bisa memicu kanker dan kemandulan pada manusia. 

Bahan kimia polikarbonat yang berada dalam galon air minum kemasan beredar di masyarakat.  Industri AMDK pun diminta perlu banyak berbenah menyikapi hasil riset YLKI ini. 

“Riset YLKI itu sebenarnya tamparan keras bagi industri dan asosiasi. Alih-alih sibuk melempar tudingan hoaks atau mengkritisi rencana Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dalam mengesahkan peraturan pelabelan risiko BPA pada galon berbahan plastik keras polikarbonat, industri AMDK sebaiknya fokus membereskan pekerjaan rumah mereka sendiri," tegas Koordinator Advokasi FMCG Insights Willy Hanafi, Selasa (22/3/2022). 

1. Industri dianggap abai dalam melindungi masyarakat

Hasil Riset BPA, YLKI Ungkap Kebobrokan dalam Industri AMDKTruk-truk ODOL yang terkena razia aparat Polri. Foto istimewa

Bahkan, menurut Willy, temuan YLKI tersebut memperkuat dugaan betapa industri abai untuk hal yang sangat mendasar dalam bisnis air kemasan. Menurutnya, survei YLKI menunjukkan kesan industri AMDK selama ini lebih sibuk mengejar keuntungan ketimbang menjaga kualitas air galon hingga ke tangan konsumen.

Akhir pekan lalu, YLKI membeberkan 61 persen pengangkutan air galon di Jakarta Raya tidak memenuhi syarat karena menggunakan kendaraan yang terbuka sehingga galon air terpapar sinar matahari langsung untuk waktu yang lama.

Di level pengecer, menurut survei lembaga kurun Februari-Maret, perlakuan galon juga tidak lebih baik. Selain pemilik toko tak pernah mendapat pendidikan dari produsen dan asosiasi industri ihwal cara penyimpanan galon yang benar, observasi menunjukkan lebih dari separuh toko, baik toko kelontong maupun gerai modern, memajang galon secara serampangan, termasuk meletakkan galon di area yang mudah terpapar sinar matahari.

Baca Juga: YLKI: Galon AMDK Terkena Sinar Matahari Picu Migrasi BPA

2. YLKI berpendapat industri AMDK tidak bekerja sesuai standar

Hasil Riset BPA, YLKI Ungkap Kebobrokan dalam Industri AMDKIDN Times/ Helmi Shemi

Menurut Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi, gambaran suram itu bukti industri selama ini bekerja tidak sesuai standar dan membahayakan konsumen. Galon yang terpapar sinar matahari, kata Tulus,  berisiko memicu peluluhan BPA pada galon guna ulang berbahan plastik keras polikarbonat.

"Pengangkutan galon tidak boleh lagi terpapar sinar matahari, harus tertutup," kata Tulus dalam sebuah pemaparan daring pada Jumat 18 Maret 2022.

Potensi bahaya BPA pada galon guna ulang berbahan plastik keras polikarbonat termasuk yang mendorong BPOM menyiapkan sebuah rancangan peraturan pelabelan risiko BPA. Dalam rancangan BPOM, draftnya telah memasuki proses pengesahan di Sekretariat Kabinet di mana produsen air galon yang menggunakan kemasan plastik keras polikarbonat wajib mulai mencantumkan label  "Berpotensi mengandung BPA" kurun tiga tahun tiga tahun sejak peraturan disahkan.

Sementara produsen galon yang menggunakan kemasan berbahan polyethylene terephthalate (PET), plastik lunak sekali pakai yang bebas BPA, diperbolehkan mencantumkan label "Bebas BPA".

Sedangkan Ketua Asosiasi Perusahaan Air Minum dalam Kemasan Indonesia (Aspadin) Rachmat Hidayat belum mengomentari soal tudingan ini. Termasuk soal hasil survei sudah dipaparkan pihak YLKI. Sambungan telepon dan pesan singkat IDN Times belum memperoleh respons.

3. Pengesahan aturan BPOM menghadirkan iklim kompetisi sehat

Menurut Willy, pengesahan aturan BPOM bakal menghadirkan iklim kompetisi yang lebih sehat, di mana industri secara keseluruhan ditantang untuk menghadirkan produk galon air minum yang lebih sehat.

"Faktanya di pasar saat ini sudah relatif banyak tersedia pilihan produk galon air minum yang lebih sehat kemasannya," katanya.

Ia menepis tudingan industri bahwa pelabelan BPA bakal memicu persaingan usaha, keresahan publik dan aneka persoalan lainnya.

Sedangkan Ketua Asosiasi Pengusaha Sampah Indonesia Saut Marpaung mengungkap hal senada, di mana sebanyak 20 persen produk galon guna ulang yang beredar di pasar saat ini telah menggunakan kemasan PET yang bebas BPA.

"Belum lama ini, anggota kami di daerah mendapati bukti market leader industri AMDK telah beralih ke galon guna ulang berbahan plastik PET yang bebas BPA dari sebelumnya hanya menggunakan galon berbahan plastik PC," katanya.

4. BPOM diminta mempublikasi hasil penelitian uji post market migrasi BPA

Sekaitan itu, Tulus Abadi, mendorong BPOM untuk mempublikasikan hasil penelitian uji post-market migrasi BPA 2021-2022 atas fasilitas produksi dan distribusi galon plastik keras di seluruh Indonesia. "Masyarakat berhak tahu sudah sejauh mana level migrasi BPA pada air galon yang banyak beredar di pasar, apakah masih di bawah ambang berbahaya atau sebaliknya," katanya dalam sebuah acara bincang-bincang membahas hasil survei YLKI bersama media radio di Jakarta. 

Berbicara dalam talkshow yang sama, Arzeti Bilbina, anggota Komisi IX DPR, mendesak produsen galon air minum memperbaiki standar distribusi demi menjaga kualitas produk yang sampai ke tangan konsumen. "Itu bagian dari tanggung jawab mereka sebagai produsen," katanya.

Bila perlu, Arzeti bilang pemerintah bisa mengondisikan agar galon yang berbahan plastik keras polikarbonat tidak lagi beredar di pasaran. "Itu merusak tumbuh kembang anak-anak Indonesia, kalau bisa langsung BPA Free saja," katanya.

Pada 30 Januari 2022, sebagaimana dilaporkan oleh Kantor Berita Antara, Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan BPOM Rita Endang mengungkap, bahwa pihaknya menemukan sejumlah kecenderungan mengkhawatirkan terkait luluhnya BPA pada galon guna ulang yang berbahan polikarbonat.

Penemuan itu, menurut laporan tersebut, berdasarkan uji sampel post-market yang dilakukan BPOM selama periode 2021- 2022 di seluruh Indonesia. Hasilnya adalah kelompok rentang bayi (usia 6-11 bulan) berisiko terpapar BPA 2,4 kali dari batas aman sementara anak-anak (usia 1-3 tahun) 2,12 kali.

Baca Juga: Akademisi Netral dan Tak Terseret Penyesatan Opini soal Risiko BPA

Topik:

  • Sri Wibisono

Berita Terkini Lainnya