TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Perlindungan Korban Kekerasan Seksual, Sahkan RUU PKS

Kasus kekerasan seksual di Balikpapan dan Indonesia

Ilustrasi kekerasan. (IDN Times/Mia Amalia)

Balikpapan, IDN Times - Akhirnya Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) 2021. Melalui RUU PKS diharapkan pendampingan bagi korban kekerasan seksual dan pencegahannya bisa dilakukan dengan lebih maksimal.

Di Kota Balikpapan, Kalimantan Timur, angka kekerasan seksual cukup tinggi. Bahkan kasus kekerasan seksual menduduki peringkat lebih tinggi dibandingkan kasus kekerasan lainnya seperti fisik dan psikis.

Data Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Kota Balikpapan menunjukkan, pada 2020 terjadi 45 kasus kekerasan, 31 diantaranya adalah kekerasan seksual. Sebanyak 28 diantaranya dialami oleh anak perempuan, 2 korban anak laki-laki, dan 1 perempuan dewasa.

"Ini menyebar di 6 kecamatan dan paling banyak di Balikpapan Selatan," sebut Kepala DP3AKB Kota Balikpapan, Sri Wahjuningsih pada Sabtu (27/3/21). 

1. Kekerasan seksual dilakukan oleh orang terdekat dan kenalan dari media sosial

IDN Times / Haikal

Perempuan yang akrab disapa Yuyun ini mengatakan, kasus kekerasan seksual kebanyakan pelakunya adalah orang di sekitar korban, bahkan orang terdekat. Banyak kasus juga menimpa anak-anak. Kasus kekerasan seksual pada anak di bawah umur kerap terjadi dengan alasan suka sama suka. 

"Ada juga yang dilakukan oleh pacar korban dengan alasan suka sama suka. Ini menunjukkan anak-anak Balikpapan masih kurang dalam pemahaman edukasi seks," terangnya. 

Menurutnya, selain aspek pengawasan oleh orang tua yang minim, kini banyak anak menjadi korban kekerasan yang berawal dari media sosial.

"Ada contoh korban yang melapor, berkenalan dengan orang di media sosial dan tergoda hingga melakukan hubungan seksual di bawah umur," imbuhnya.

Sementara hingga 12  Maret 2021 ini sudah ada 13 kasus kekerasan yang laporannya masuk ke DP3AKB. Dari data tersebut 9 kasus kekerasan seksual yang terjadi pada 8 anak perempuan dan 1 perempuan dewasa. 

Baca Juga: Optimis, Modal Ani Penyandang Disabilitas Jadi Anggota DPRD Kaltim

2. Upaya pencegahan kekerasan seksual melalui pembentukan Puspaga Harapan

Ilustrasi kekerasan seksual (IDN Times/Mardya Shakti)

Pada Februari lalu DP3AKB Kota Balikpapan baru meresmikan Puspaga Unit V di Kecamatan Balikpapan Barat yang diharapkan bisa menjadi bagian dari strategi pihaknya dalam mengawal agar angka kekerasan terhadap perempuan dan anak atau dalam rumah tangga bisa ditekan.

Puspaga Harapan adalah Pusat Pembelajaran Keluarga, Sahabat Keluarga Balikpapan. Ini adalah upaya Pemerintah Kota Balikpapan mencegah atau mendeteksi terjadinya kekerasan seksual, termasuk permasalahan remaja yang sulit diatasi orangtua. 

"Karena kasusnya untuk kecamatan Balikpapan Barat, dari data kami tahun 2021 ini, laporan masuk ada tiga. Kami harap nantinya keberadaan Puspaga Harapan V bisa jadi bagian akses masyarakat untuk mendapatkan pelayanan konseling dari para psikolog kami," kata Yuyun. 

Kendati begitu, lantaran adanya keterbatasan tenaga psikolog yang dimiliki, yakni baru dua orang, akhirnya harus dibagi di lima unit yang ada. Saat ini baru ada lima Puspaga Harapan di kota Balikpapan. Ada dua di kecamatan Balikpapan Selatan. Pertama di kantor DP3AKB, kedua di kawasan Puskesmas Sepinggan. Kemudian satu di Balikpapan Utara, satu Balikpapan Tengah, dan satu di Balikpapan Barat. 

 "Mekanisme pelaporan mereka tiap bulan melapor ke kami. Biasanya puspaga juga jadi pintu rujukan penanganan kasus. Ini sifatnya sebagai pencegahan dan tidak secara langsung menangani kasus. Korban datang ke psikolog Puspaga, lalu ada deteksi kasus maka psikolog akan berkoordinasi dengan DP3AKB untuk membuat surat rujukan ke UPTD PPA kami," urainya.

3. Fakta kekerasan seksual di Indonesia

Journalis Workshop: Indonesia Darurat Kekerasan Seksual dan Pentingnya Pengesahan RUU PKS untuk Melindungi Warga Negara Indonesia Dari Kekerasan Seksual, The Body Shop®️ Indonesia: Semua Peduli, Semua Terlindungi Sahkan RUU PKS. 20 Maret 2021. IDN Times/M. Tarmizi Murdianto

Sementara, Program Officer on Inequality Internasional NGO Forum on Indonesian Development (INFID) Megawati membeberkan fakta terkait kekerasan seksual dalam virtual workshop ' Indonesia Darurat Kekerasan Seksual dan Pentingnya Pengesahan RUU PKS untuk Melindungi Warga Negara Indonesia Dari Kekerasan Seksual' pada Sabtu (20/3/2021). 

Pada acara yang digelar oleh The Body Shop®️ dan Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) itu, ia memaparkan, dari catatan Komnas Perempuan, ada 5.280 kasus kekerasan seksual di 2018, serta 4.898 kasus di 2019.

Sementara ada 659 kasus berbasis gender online (KBGO) selama Januari sampai Oktober 2020. Selain itu menurut data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Kementerian PPA di 2020, ada 6.177 kasus. 

Menariknya, terkait KBGO, bahwa kasus ini meningkat hingga 126 kasus di 2019 menjadi 510 kasus pada tahun 2020. Bentuk kekerasan yang mendominasi adalah kekerasan psikis 49% (491 kasus) disusul kekerasan seksual 48% (479 kasus) dan kekerasan ekonomi 2% (22 kasus).

4. Data korban dan penyebab terjadinya kekerasan seksual

Ilustrasi Pemerkosaan (IDN Times/Mardya Shakti)

Megawati juga memaparkan hasil studi kualitatif persepsi dan dukungan pemangku kepentingan dan kuantitatif terhadap persepsi masyarakat terhadap RUU PKS. Sebanyak 20,1 persen tidak setuju, dan 70,5 persen setuju RUU PKS disahkan.

"Bahkan dari mereka yang tidak setuju, 17,1 persen diantaranya menganggap RUU ini kontroversi dan bertentangan dengan agama," sebut Megawati. 

Data prevalensi terjadinya kekerasan seksual juga menunjukkan sejumlah fakta yang ternyata sebagian besar dari masyarakat pernah mengalami kekerasan seksual, yakni 71,8 persen. Sementara 28,2 persen mengaku tidak pernah mengalami. "66,7 persen dialami oleh perempuan dan 33,3 persen dialami laki-laki," sebutnya.

Data ini dirinci lagi, mulai dari pengalaman pelecehan seksual yang mencapai 65,1 persen, pelaku ternyata adalah orang yang dikenal korban 99,8 persen, pelecehan di pinggir jalan 69,7 persen, dan mengalami di rumah 33,4 persen.

"Lalu 7,3 persen diantaranya tidak melapor dan 57 persen tidak mendapatkan penyelesaian," sebutnya. 

Bahkan masih banyak persepsi penyebab kekerasan seksual yang malah tertuju pada korban. Diantaranya adalah genit atau suka menggoda 71,5 persen, berpakaian terbuka 69,2 persen, dan suka berfoto seksi 53,7 persen. Tiga hal ini ada di rangking dua hingga empat tertinggi.  

"Sementara yang nomor satu adalah tidak adanya keamanan di tempat tersebut 75,8 persen. Selain itu di rangking terakhir, cukup banyak juga yang menganggap kekerasan seksual terjadi karena korban tidak berjilbab atau berkerudung, yakni 20,7 persen" ungkap Megawati.

5. Korban mesti memiliki hak perlindungan dari kriminalisasi

Ilustrasi (IDN Times/Sukma Shakti)

Selain itu ia juga menyebutkan persepsi dampak kekerasan seksual yang terjadi. Pertama, rasa trauma, takut, dan malu. Lalu kerusakan organ reproduksi, cedera atau luka fisik, dikucilkan atau tidak diterima masyarakat, sulit mendapat pasangan, dan putus sekolah.

Sementara lainnya terpaksa keluar biaya pengobatan sendiri, dipaksa menikah, kehilangan harta benda, dipersulit dalam mendapatkan dokumen, dan kehilangan hak waris. 

Studi tersebut kemudian membahas mengenai perlindungan bagi korban. Yakni penting agar korban mendapatkan hak pemulihan seperti konseling dan pengobatan. Korban juga mestinya memiliki hak perlindungan dari kriminalisasi.

"90 persen setuju bahwa korban tidak perlu dihukum apabila melukai pelaku karena membela diri, kemudian 65 persen setuju bahwa tidak perlu menghukum korban yang menyebarkan foto rekaman atau chat bukti kekerasan seksual yang mereka alami, dan 49,6 persen setuju bahwa tidak boleh menghukum korban yang hamil karena kekerasan seksual lalu menggugurkannya," sebut Megawati.

Baca Juga: Indonesia Darurat Kekerasan Seksual, Penting segera Sahkan RUU PKS 

Berita Terkini Lainnya