TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Impunitas Pelaku Extrajudicial Killing, Masyarakat Jangan Permisif

Impunitas membuat pelaku yakin dia tidak akan diadili

Ilustrasi jenzah. (IDN Times/Sukma Shakti)

Balikpapan, IDN Times - Kasus meninggalnya Herman, seorang tahanan Polresta Balikpapan karena penganiayaan oleh oknum aparat menjadi salah satu contoh kasus extrajudicial killing.  

Extrajudicial killing merupakan pembunuhan di luar hukum yang dilakukan oleh aparat tanpa proses penegakan hukum terlebih dahulu. Kekerasan yang berujung kematian oleh aparat seringkali tak diusut tuntas. Oknum aparat seolah mendapatkan impunitas.

Bernard Marbun dari LBH Samarinda menuturkan Herman diduga melakukan pencurian HP sebanyak dua unit dan ditangkap pada 2 Desember 2020 lalu tanpa surat penangkapan oleh tiga orang berpakaian preman. Keesokan harinya, tak sampai 24 jam Herman meninggal dunia. Sampai saat ini belum diketahui apa penyebab tewasnya Herman.

"Ada upaya untuk mengatur jalan damai. Kita  menjaga keluarganya yang berani melapor ini dari upaya intimidasi," kata Bernard dalam Webinar Impunitas Pelaku Extra Judicial Killing, yang digelar Yayasan LBH Indonesia pada Kamis (18/2/2021). 

Sementara menurut  Edy Kurniawan dari LBH Makassar impunitas aparat juga terjadi di Sulawesi Selatan dimana ada upaya dari pihak institusi untuk melindungi pelaku. "Impunitas bekerja ketika pelaku ini melibatkan institusi. Misalnya dalam operasi aksi, proses penyidikan dan penyelidikan," katanya.

1. Mata rantai impunitas

Edy Kurniawan, LBH Makassar dalam acara Webinar Impunitas Pelaku Extrajudicial Killing (Screenshot Zoom YLBHI)

Edy mengatakan ada lima kasus yang didampingi oleh LBH Makassar dengan 27 orang aparat penegak hukum yang dilaporkan. "Extrajudicial killing ada 5 kasus, dengan korban 5 orang meninggal dunia, yang kita laporkan ada 27 orang aparat. Dari 27 itu yg berhasil ditersangkakan 10 orang, sanksi disiplin 12 orang,  2 diantaranya level perwira," ujar Edy. 

Meskipun begitu ia menjelaskan, "Dari 5 kasus di Sulsel, tidak satupun tersangkanya dilimpahkan ke pengadilan," ujar Edy.

Ada mata rantai impunitas atau pembebasan/ pengecualian hukuman yakni meliputi: pertama, delay dan menghambat penegakan hukum. Seperti mempengaruhi keluarga korban untuk damai dan menunggu isunya mereda.

Kedua, mempersulit pembuktian dan menggunakan pasal ringan. Ketiga, adanya counter narasi dengan menyerang korban.Seperti mencari legitimasi publik dengan menggambarkan atau memberikan stigma korban sebagai pelaku pencurian atau pengedar narkoba sehingga pantas diberikan tindakan kekerasan bahkan dibunuh.

Keempat, ancaman kriminalisasi saksi dan keluarga korban. Kelima, dengan penyelidikan tidak transparan dan akuntabel. Keenam, terjadi barter kasus.  

"Kita harus meletakkan perspektif impunitas bukan semata-mata masalah hukum. Kita melihat di internal kepolisian masih kental kultur kekerasan. Masyarakat juga masih ada yang menoleransi kultur kekerasan ini yang menyebabkan extrajudicial killing dan impunitas," katanya.

Baca Juga: Kasus Tahanan Meninggal, Polda Kaltim Sudah Periksa Tiga Saksi 

2. Penggunaan senjata api oleh aparat

Wendra Rona dari LBH Padang (Screen Shot Zoom YLBHI)

Sementara Wendra Rona Putra dari LBH Padang mengemukakan hasil monitor pihaknya atas penggunaan senjata api oleh aparat dalam penegakan hukum di Sumatra Barat. Pada 2019 terjadi 2 kasus penembakan dengan 1 orang meninggal. Sementara pada 2020 sebanyak 14 kasus orang luka tembak, dan pada Januari 2021 ini saja sudah ada 6 kasus dengan 2 orang meninggal dunia sementara 4 orang lainnya terluka tembak.

Polisi menggunakan senjata api untuk menangani kasus narkoba, curanmor, pencurian, copet, judi online, dan salah tangkap. Wendra mengatakan, "Diduga tiga orang menjadi korban extrajudicial killing dan 22 orang diduga menjadi korban penyiksaan dengan senjata api," katanya.

"Kenapa praktik ini begitu leluasa terjadi dan seolah menjadi hal biasa? Menurut kami tidak ada hukuman yang tegas kepada aparat kepolisian yang melakukan," kata Wendra.

Upaya penegakan hukum dengan pelaku aparat kepolisian ini tidaklah mudah. Hal ini terjadi bahkan sejak pasca peristiwa terjadi. Seperti pembatasan akses informasi bagi media dan keluarga korban. Juga ada intimidasi baik secara langsung atau dibujuk damai. Misalnya dipaksa tanda tangan surat pernyataan damai baru jenazah korban diserahkan. Berikutnya adalah munculnya narasi di luar nalar untuk menjustifikasi tindakan oknum aparat.

"Di tahap berikutnya yaitu penyelidikan dan penuntutan juga tidak mudah," katanya.

"Seperti keluarga korban harus dapat menyebutkan nama oknum aparat yang menjadi pelaku, jika tidak tahu maka disuruh pulang," katanya lagi.

Pada tahap pengadilan dan pascapengadilan juga tidak mudah bagi korban dan keluarganya.  "Iklim atau situasi yang membuat impunitas menjadi semakin subur karena tidak ada tindakan korektif." 

3. Pola yang sama dalam impunitas pelaku extrajudicial killing di berbagai daerah

Ilustrasi Pistol (IDN Times/Mardya Shakti)

Terdapat pola yang sama atas penyalahgunaan kekuatan aparat untuk menegakkan hukum. Kekerasan yang bahkan hingga berujung kematian jangan dianggap hal yang lumrah. "Kita sering mengatakan ke publik ini adalah perbuatan yang luar biasa agar publik tidak merasa ini adalah hal biasa atau lumrah," kata Syahrul Putra dari LBH Aceh

Kasus extrajudicial killing ini bukanlah delik aduan jadi meskipun keluarga mendapatkan intimidasi hingga mencabut laporan dan putus harapan, kasus ini tetap bisa diproses secara hukum. 

"Karakteristik extrajudicial killing ini antara lain menimbulkan kematian tanpa proses hukum bahkan dilakukan di tangan orang yang seharusnya melindungi korban. Pelaku adalah aparat negara, dan pembunuhan ini bukan dilakukan untuk kepentingan membela diri," kata Syahrul.

“Frasa kepentingan membela diri ini harus diuji kembali standar mengancam jiwa kepolisian itu apa karena sangat subjektif penafsirannya,” katanya.

Baca Juga: Kasus Herman, Pemeriksaan Saksi dan Berharap Autopsi Jenazah 

Berita Terkini Lainnya