Banjir di Kaltim, LSM Minta Pemerintah Evaluasi Izin Pembukaan Lahan
Harus ada sanksi tegas bagi pelaku
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Balikpapan, IDN Times - Persoalan banjir yang muncul di sejumlah wilayah di Kalimantan Timur menuntut keseriusan pemerintah dalam mengawasi masalah lingkungan.
Seperti diketahui, berbagai wilayah di provinsi ini tergenang banjir, seperti di Samarinda, Mahakam Ulu, Penajam Paser Utara, Bontang, hingga Balikpapan. Masyarakat dirugikan secara moral dan material. Roda perekonomian di sejumlah wilayah yang terdampak banjir terhambat dan aktivitas masyarakat terganggu.
Direktur Eksekutif LSM STABIL Balikpapan Jufriansyah mengatakan pemerintah harus mengevaluasi sejumlah kebijakan terutama yang menyangkut pembukaan lahan.
“Harus dilakukan evaluasi terhadap izin pembukaan lahan, yang menjadi pemicu masalah banjir di Kalimantan Timur,” katanya.
Baca Juga: Upaya Pemerintah Hidupkan Nadi Penerbangan di Bandara BIJB Kertajati
1. Hilangnya kawasan resapan air
Jufri menjelaskan pihaknya telah menginventaris sejumlah penyebab persoalan banjir yang terjadi di wilayah Kalimantan Timur diantaranya hilangnya kawasan resapan air.
Seperti di Samarinda, alih fungsi lahan yang dilakukan pada saat pembangunan Bandara APT Pranoto telah merubah keseimbangan ekologi di kawasan tersebut. Lahan yang awalnya merupakan kawasan resapan air berupa rawa panjang ditimbun untuk dijadikan landasan pacu.
“Bandara Sungai Siring merupakan kawasan rawa panjang yg merupakan kawasan resapan air kemudian diurug menjadi landasan pacu,” jelasnya.
Menurut Jufri, kondisi ini juga terjadi pada daerah lainnya. Regulasi Pemerintah Daerah yang tidak jelas dalam memberikan izin pembukaan lahan menjadi salah satu penyebab utama banjir. Seperti penerbitan izin perumahan, konsesi perkebunan sawit dan tambang batu bara yang diterbitkan tanpa memperhitungkan dampak ekologis. Berakibat hilangnya kawasan penyerap air.
Baca Juga: Penanganan Banjir Samarinda Perlu Biaya Rp7 Triliun