Saat Murid Berani Melawan Guru, Siapa yang Sebenarnya Gagal Mendidik?

Fenomena siswa yang berbicara menantang, membantah guru, atau bersikap tidak hormat semakin sering terlihat di sekolah. Wibawa guru yang dulu sangat dihormati kini seolah memudar. Namun di balik perilaku yang tampak “kurang ajar” itu, ternyata ada penyebab yang lebih dalam dari sekadar alasan “anak zaman sekarang sudah tidak sopan.”
Sikap ngelunjak tidak muncul begitu saja. Ia lahir dari kombinasi faktor: lingkungan keluarga, pola asuh, budaya sekolah, hingga pengaruh media sosial. Anak yang tumbuh tanpa bimbingan emosional yang kuat akan kesulitan memahami batas dan menghormati figur otoritas seperti guru. Untuk memahaminya, mari telusuri lima penyebab utama mengapa siswa bisa bersikap demikian.
1. Kurangnya keteladanan dan disiplin di rumah

Sikap hormat pada guru berawal dari rumah. Anak yang terbiasa melihat orang tuanya bersikap sopan, menghargai orang lain, dan menaati aturan akan membawa nilai-nilai itu ke sekolah. Sebaliknya, jika anak sering menyaksikan orang tua membentak, menyepelekan nasihat, atau bahkan menghina guru di depan mereka, nilai hormat itu ikut hilang.
Ketika kedisiplinan di rumah lemah, anak tumbuh tanpa batas yang jelas. Mereka tak terbiasa menerima konsekuensi atas perilakunya, sehingga merasa bebas berbicara atau bertindak sesuka hati di sekolah. Guru pun sering kali menjadi “cermin” dari otoritas yang tidak pernah mereka pelajari untuk dihargai.
2. Pengaruh media sosial dan budaya “lucu-lucuan”

Media sosial kini menjadi panggung utama bagi pelajar. Banyak konten viral yang menampilkan siswa berani melawan guru atau menjadikan suasana kelas sebagai bahan hiburan. Akibatnya, sebagian anak menganggap membantah guru adalah hal lucu, bahkan keren.
Budaya digital ini membentuk persepsi baru: perhatian lebih penting daripada sopan santun. Saat siswa mendapat reaksi dari teman atau dunia maya, mereka merasa divalidasi. Perilaku tidak hormat pun berulang — bukan karena benci, tapi karena ingin diakui.
3. Kurangnya kedekatan emosional antara guru dan murid

Hubungan guru dan murid tak cukup dibangun lewat aturan dan nilai. Banyak siswa bersikap menantang karena merasa tidak dipahami atau diabaikan. Saat guru hanya dianggap sebagai sosok yang “menilai” bukan “mendampingi”, siswa cenderung bersikap defensif.
Sebaliknya, guru yang mau mendengarkan dan memperlakukan murid dengan empati biasanya lebih dihormati tanpa harus memaksa. Sikap hormat tumbuh bukan karena takut, tapi karena merasa dimengerti.
4. Krisis teladan di lingkungan sekitar

Anak-anak belajar dari apa yang mereka lihat. Jika figur publik atau orang dewasa di sekitar sering menyepelekan otoritas, anak akan meniru. Mereka hidup di lingkungan yang memuja kebebasan tanpa tanggung jawab.
Krisis keteladanan juga bisa muncul di dunia pendidikan. Ketika ada guru yang kehilangan semangat, memperlakukan murid dengan kasar, atau tidak menjadi panutan yang inspiratif, rasa hormat pun perlahan hilang. Dalam konteks ini, perilaku ngelunjak bukan sekadar pemberontakan, tapi tanda hilangnya figur dewasa yang layak dihormati.
5. Tidak diajarkan keterampilan mengelola emosi

Banyak siswa yang membantah atau mengejek guru sebenarnya tidak tahu cara menyalurkan emosinya dengan sehat. Mereka tumbuh di lingkungan yang tidak memberi ruang untuk mengekspresikan marah, kecewa, atau malu secara wajar.
Setiap kali ditegur, mereka bereaksi dengan defensif — membantah, melawan, atau mengejek. Karena itu, pendidikan karakter seharusnya tak berhenti di teori sopan santun, tapi juga mengajarkan anak mengenali dan mengelola emosinya. Dengan begitu, anak belajar menghormati guru sekaligus tumbuh menjadi pribadi yang dewasa secara emosional.
Sikap ngelunjak bukan sekadar tanda kenakalan, tapi gejala pergeseran nilai — dari rumah, lingkungan, hingga budaya digital. Solusinya bukan hanya menegur anak yang kurang ajar, melainkan memperbaiki ekosistem pendidikan secara menyeluruh: menanamkan keteladanan di rumah, memperkuat empati di sekolah, dan menumbuhkan kesadaran digital di masyarakat.