Kunjungan Gibran ke Muara Kate Belum Tuntaskan Persoalan, Begini Kata JATAM Kaltim!

- Regulasi UU Minerba 2009 membuka celah eksploitasi infrastruktur publik untuk industri tambang.
- Kebijakan sif hauling batu bara dinilai picu konflik dan tidak memiliki dasar teknis yang jelas.
- Bertentangan dengan Perda Kaltim, desak pertanggungjawaban PT MCM atas kerusakan infrastruktur dan dampak sosial yang ditimbulkan.
Samarinda, IDN Times – Janji pemerintah untuk menghentikan aktivitas hauling batu bara di jalan negara yang melewati Kecamatan Muara Komam dan Batu Sopang, Kabupaten Paser, Kaltim, Kembali dipertanyakan warga. Sebab, meski Wapres Gibran sudah memerintahkan agar tak ada hauling, Gubernur Kaltim Rudy Mas'ud terkesan memberi celah agar hauling tetap bisa melintas dengan syarat tertentu.
Dikutip dari akun Instagam resmi Pemprov Kaltim, Rudy menyebut ketentuan tidak boleh melewati jalan umum bagi truk pengangkut batu bara sudah sangat jelas. Namun, jika belum ada jalan hauling, maka pemerintah bisa memberi kebijakan.
"Jika tidak ada jalan hauling, bisa diberikan kebijakan. Caranya, menggunakan sif (pembagian waktu). Misal mulai subuh sampai jam 9 malam itu hak warga negara untuk beraktivitas," kata Gubernur Rudy lagi.
Pernyataan Rudy tersebut dinilai warga dapat menjadi celah bagi perusahaan untuk Kembali mengangkut emas hitam lewat jalan nasional. Sontak saja itu membuat warga Kembali was-was.
1. Celah regulasi sejak UU Minerba 2009

Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang Kaltim, Mareta Sari menilai salah satu akar persoalan adalah kebijakan negara yang justru membuka ruang eksploitasi infrastruktur publik untuk kepentingan industri tambang. Hal ini bermula dari Pasal 91 UU Minerba Nomor 4 Tahun 2009, yang membolehkan pemegang IUP dan IUPK memanfaatkan sarana dan prasarana umum untuk kegiatan pertambangan.
Menurutnya, celah ini diperluas lewat revisi UU Nomor 3 Tahun 2020 yang disahkan di tengah pandemi Covid-19. "Dalam revisi tersebut, Pasal 91 ayat (3) secara tegas mengizinkan penggunaan jalan umum untuk pengangkutan hasil tambang. Revisi ini menuai kritik tajam, terutama dari masyarakat Kalimantan Timur," kata dia dalam konferensi pers, Rabu (18/6/2025).
Salah satu tokoh yang ikut terlibat dalam pembahasan revisi UU itu adalah Rudy Mas’ud, yang saat itu duduk sebagai anggota Komisi VII DPR RI. Kini, Rudy menjabat sebagai Gubernur Kaltim, dan kebijakannya dianggap membuka kembali ruang legal bagi truk tambang untuk melintas di jalan umum.
2. Kebijakan sif hauling batu bara dinilai picu konflik

Dalam sebuah pernyataan, Rudy menyebutkan bahwa jika belum tersedia jalan khusus (hauling), maka bisa diberikan kebijakan dengan sistem pembagian waktu atau sif. Dia memberi permisalan, subuh sampai jam 9 malam untuk masyarakat, selebihnya bisa digunakan untuk hauling.
Kebijakan ini menuai penolakan luas. Warga menilai sistem sif hanyalah solusi semu yang tidak menyentuh akar masalah dan tidak memiliki dasar teknis yang jelas. JATAM menilai, wacana penggunaan jalan umum oleh PT Mantimin Coal Mining (MCM) berpotensi memicu kekacauan serius.
Perusahaan tambang yang beroperasi di Tabalong, Kalimantan Selatan itu, harus mengangkut batubara sejauh ±135 km menuju pelabuhan di Desa Rangan, Kecamatan Kuaro. "Jalur ini melintasi 33 sekolah dan membutuhkan waktu tempuh sekitar 4,5 jam. Sementara waktu pengangkutan yang diizinkan hanya dari pukul 22.00 hingga 04.00," ujar Mareta Sari.
Perempuan yang akrab disapa Eta ini mejelaskan dengan kapasitas tongkang mencapai 6.000–8.000 ton dan asumsi setiap truk roda enam mengangkut 5 ton batubara, diperlukan 1.600 truk per hari. Ini berpotensi menciptakan antrean sepanjang 13 kilometer, memicu kemacetan ekstrem dan membahayakan keselamatan warga.
Salah satu warga Batu Sopang, mengaku sejatinya sudah pernah terjadi negosiasi dengan vendor truk pengangkut batu bara dari PT MCM untuk pengaturan jam melintas.
"Tapi itu tidak dijalankan oleh sopir," kata warga yang minta namanya dirahasiakan ini.
3. Bertentangan dengan Perda Kaltim

Padahal, lanjut Eta, Kalimantan Timur memiliki Perda Nomor 10 Tahun 2012 yang secara eksplisit melarang angkutan tambang melintasi jalan umum. Pasal 7 ayat (5) Perda tersebut menyebutkan bahwa pembangunan jalan khusus menjadi syarat izin tambang. Hal ini ditegaskan kembali dalam Pergub Kaltim Nomor 43 Tahun 2013, serta diperkuat oleh SK Gubernur Nomor 70 Tahun 2013 yang membentuk tim terpadu untuk pengawasan.
"Namun, sejak masa pemerintahan Awang Faroek Ishak, Isran Noor, Akmal Malik, hingga Rudy Mas’ud, implementasi Perda tersebut masih lemah. Tidak ada transparansi terhadap kinerja tim pengawasan, sementara pelanggaran terus berlangsung," kritiknya.
4. Desak pertanggungjawaban PT MCM

Eta mengatakan kunjungan Wakil Presiden Gibran ke Muara Kate, Sabtu 14 Juni 2025 lalu, semestinya bisa menjadi momentum untuk membenahi kekacauan ini. Namun, hasil pertemuan dengan Gubernur justru melahirkan pernyataan yang membuka kembali peluang penggunaan jalan umum bagi truk tambang.
Pemerintah pusat, khususnya Wapres bersama kementerian terkait dan aparat penegak hukum, didesak untuk menyelidiki keterlibatan PT MCM dalam konflik ini. Jika terbukti melanggar, perusahaan tersebut seharusnya dikenai sanksi administratif seperti penundaan atau pencabutan izin.
"MCM juga harus bertanggung jawab atas kerusakan infrastruktur dan dampak sosial yang ditimbulkan. Solusi seperti sistem sif atau jalan alternatif yang mereka tawarkan dianggap tidak berpijak pada hukum dan justru mengancam keselamatan masyarakat," tegas Eta.
Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional (BBPJN) sebelumnya juga telah menegaskan bahwa aktivitas PT MCM menggunakan jalan nasional tanpa izin resmi.