TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Akademisi Netral dan Tak Terseret Penyesatan Opini soal Risiko BPA

BPOM akan melabeli risiko BPA dalam galon AMDK

Ilustrasi galon guna ulang. Foto dok

Balikpapan, IDN Times - Pemerhati ekonomi sirkular dari Nusantara Circular Economy & Sustainability Initiatives (NCESI) Yusra Abdi meminta para akademisi bersikap kritis dan tidak teperdaya lobi industri  air kemasan. Apalagi sampai terseret menentang rencana

strategis Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menerapkan aturan pelabelan
risiko Bisfenol A (BPA). Suatu campuran kimia dari hasil penelitian ahli kesehatan berpotensi menyebabkan kanker dan kemandulan pada manusia. 

Campuran zat kimia dapat ditemui pada galon guna ulang berbahan plastik keras polikarbonat.

"Menyudutkan BPOM yang justru ingin melindungi kesehatan publik dengan
mempersoalkan kemungkinan membengkaknya sampah plastik sekali pakai pasca
berlakunya kebijakan pelabelan BPA sama saja memberi angin pada lobi industri," kata
Yusra, Kamis (17/3/2022).

Baca Juga: BPOM Gulirkan BPA Free, YLKI Meminta Pengawasan pada Galon Guna Ulang 

1. Mengkritik pernyataan akademisi

Unsplash.com/Vasily Koloda

Yusra mengkritik pernyataan disampaikan Guru Besar Bidang Ilmu Manajemen Stratejik Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjajaran Martha Fani Cahyandito. Dalam sebuah webinar bertajuk "Menuju Transformasi Ekonomi Hijau: Kendala dan Solusi" pada Rabu 16 Maret 2022 lalu.

Dalam webinar itu, Fani mempertanyakan efektifitas rencana pelabelan risiko BPA pada
galon guna ulang. Kebijakan BPOM ini sekarang dalam proses pengesahan di Sekretariat Kabinet.

Dalam webinar itu, Fani berpendapat, pelabelan BPA bisa memicu peningkatan sampah plastik, di mana publik akan tergerak beralih ke galon sekali pakai yang bebas BPA. Dia juga menggambarkan rencana pelabelan bakal memicu persaingan usaha serta kemungkinan dampaknya pada pengurangan tenaga kerja di industri air minum dalam kemasan.

2. Pendapat akademisi ini dianggap salah kaprah

Tajuknews

Namun Yusra menyatakan, kritik akademisi ini salah kaprah dan praktis hanya mendaur ulang penentangan dari pihak industri dan asosiasi pengusaha air minum kemasan. 

"Lobi industri sejak awal menggrosir beragam dalih untuk mengerdilkan rencana BPOM. Salah satunya adalah dengan menyebut aturan pelabelan risiko BPA bakal
menambah jumlah sampah plastik karena publik bakal terdorong untuk meninggalkan
galon guna ulang dan beralih ke galon sekali pakai yang bebas BPA," paparnya. 

Bila mau jujur, ujar Yusra, semua air mineral non-galon yang beredar di pasar, kecuali
kemasan gelas yang berbahan plastik polypropylene, menggunakan kemasan plastik
sekali pakai dari jenis polyethylene terephthalate (PET), plastik lunak yang bebas BPA.

"Penjualan produsen air kemasan terbesar di Indonesia, salah satunya
bersumber dari penjualan kemasan single pack size yang semuanya berbahan PET alias
sekali pakai," kata Yusra.

"Bila masalahnya memang plastik sekali pakai, kenapa asosiasi
industri tidak pernah mempersoalkan potensi sampah dari penjualan produk sekali pakai yang masif itu?" tanya dia. 

3. Persoalan sampah dialami masyarakat

Ilustrasi sampah. (ANTARA FOTO/Irwansyah Putra)

Yusra menyebut persoalan sampah plastik air kemasan yang tercecer di lingkungan
dipicu beragam faktor. Salah satunya adalah tingginya produksi kemasan ukuran gelas
yang lebih mudah tercecer dan mengotori lingkungan. Faktor lain adalah adalah rendahnya kesadaran masyarakat dalam memilah sampah plastik, sehingga plastik yang
seharusnya didaurulang oleh industri justru tercecer di lingkungan terbuka.

Lebih jauh, menurut Yusra, BPOM tidak melarang penggunaan galon guna ulang dari
plastik keras atau sebaliknya mendorong publik mengonsumsi galon dari plastik lunak
yang bebas BPA. BPOM sebatas ingin memberlakukan kebijakan
pencantuman label peringatan atas risiko BPA agar konsumen air minum galon mendapat
informasi menyeluruh, sebagaimana dijamin dalam Undang-Undang Perlindungan
Konsumen.

Ia mengutip beberapa data mengenai kecenderungan industri air galon yang
kini tengah beralih kepada kemasan PET, baik guna ulang maupun selalu baru.

“Selain lebih murah, tingkat recycling rate paling tinggi, juga lebih aman dari risiko kesehatan. Diperkirakan 50 persen lebih air kemasan galon sudah menggunakan kemasan PET,” pungkas  Yusra.

Baca Juga: YLKI: Labelisasi BPA Free Adalah Hak Asasi Konsumen

Berita Terkini Lainnya