TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Kejayaan Muara Wis: Pesta Padi di Danau Melintang (Part 1)

Kisah petani Kutai Kartanegara panen padi tiga tahun sekali

Yuniar memanen padi yang ia tanam bersama keluarganya di Danau Melintang (IDN Times/Surya Aditya)

Kutai Kartanegara, IDN Times – Burung-burung bangau melayang rendah di sekitar Danau Melintang. Mata tajam mengintai setiap sudut. Sesekali mereka mendarat di permukaan airnya. Memangsa ikan, lalu melesat kembali ke angkasa.

Aksi kawanan bangau tadi menjadi hiburan ketika IDN Times serta beberapa jurnalis media lain mengarungi danau yang terletak di Kecamatan Muara Wis, Kutai Kartanegara (Kukar), itu pada akhir November 2019. 

Staf Dinas Komunikasi dan Informatika Kukar, Ahmad Rianto, dan dua karyawan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kaltim turut serta dalam perjalanan ini.

Baca Juga: Samarinda dalam Bayang-bayang Golput Jelang Pilkada 2020

1. Padi sehat tanpa pupuk, pestisida dan polusi

Warga menanam padi di Danau Melintang (IDN Times/Surya Aditya)

Yuniar (54) baru saja selesai menyantap makan siang ketika perahu ketinting yang ditumpangi rombongan ini tiba di pondoknya, pukul 15.30 Wita. Pondok Yuniar itu berada di tengah-tengah Danau Melintang.

Kue bolu dan teh yang menjadi bekal keluarga Yuniar dibagikan kepada rombongan. Sangat cukup untuk melepas dahaga dan menahan lapar bagi rombongan yang telah menempuh hampir lima jam di perjalanan dari perkantoran Pemerintah Kabupaten Kukar ini.

Di pondoknya, Yuniar bersama anak perempuan dan cucunya. Dia lantas pergi ke samping pondok. Air danau menutupi betis perempuan paruh baya ini. Di sana ia memetik pucuk-pucuk padi yang telah menguning. Kemudian dikumpulkan ke dalam sebuah baskom jumbo.

Yuniar sedang bahagia. Benih padi yang ia tanam bersama keluarganya tiga bulan lalu kini memasuki masa panen. Luas tanaman padi yang dimiliki, sebutnya, berkisar 50x20 depa atau sekitar 1.800 meter persegi. Luas tersebut sudah cukup bagi keluarganya untuk mendapatkan gabah yang berlimpah.

“Ini padi yang sehat karena enggak pakai pupuk, enggak pakai pestisida dan enggak ada polusi,” seloroh Yuniar menceritakan keunggulan padinya.

Untuk diketahui, depa adalah teknik mengukur menggunakan ujung tangan kiri ke tangan kanan orang dewasa. Biasanya, warga lokal menggunakan teknik ini untuk mengukur luas.

2. Petani sekaligus nelayan

Yuniar memetik pucuk-pucuk padi yang telah mengering di Danau Melintang (IDN Times/Surya Aditya)

Setelah terkumpul cukup banyak, keluarga Yuniar membawa gabah tadi ke Desa Muara Muntai, Muara Wis. Di sana gabah dikeringkan lalu digiling hingga menjadi beras. Beras yang diproduksi secara mandiri ini tidak untuk diniagakan. Melainkan dikonsumsi sendiri oleh keluarga Yuniar.

Keluarga Yuniar yang menikmati hasil alam ini berjumlah 12 orang. Terdiri dari suami, empat anak serta tujuh cucu. “Biasanya setahunan baru habis,” tutur perempuan berkerudung itu.

Namun jangan pernah membayangkan menanam padi di danau ini seperti sawah di Jawa. Di sana, hampir sepanjang tahun bisa menanam dan memanen padi.

Sementara di Danau Melintang, butuh tiga tahun bagi keluarga Yuniar untuk bisa berpesta padi. Setelah pesta usai, mereka harus memanfaatkan kemurahan alam Danau Melintang lainnya untuk menyambung hidup.

“Kalau sudah enggak bisa tanam padi, kami jadi nelayan mencari ikan di danau,” ungkap warga Desa Muara Enggelam, Muara Wis, itu.

3. Awal mula menanam padi di danau

Ibrahim sedang mengeringkan gabahnya di Desa Muara Enggelam (IDN Times/Surya Aditya)

Sementara petani lain, Ibrahim, sedang menjemur gabah yang baru dipanen keluarganya di Danau Melintang ketika ditemui IDN Times. Petani muda itu menata baik-baik gabahnya menggunakan alat garuk berbahan kayu. Aktivitas pengeringan gabah ini ia lakukan di depan rumahnya di Desa Muara Enggelam.

Dijelaskan Ibrahim, warga mulai menanam ketika Danau Melintang memasuki masa surut. Biasanya, air surut terjadi setiap tiga tahun sekali. Sedangkan momen menanam hingga memanen padi berlangsung kisaran tiga bulan. Setelahnya, air akan kembali pasang, tingginya mencapi 7 sampai 8 meter.

“Air surut terjadi sekitar bulan September, dan baru akan naik pada Desember atau Januari,” jelas alumnus Universitas Mulawarman ini.

Ibrahim turut mengisahkan awal masyarakat mulai menanam padi di Danau Melintang. Kata dia, semua bermula pada 1998 silam. Kala itu, hampir seluruh penjuru Tanah Air dilanda kemarau panjang. Tak terkecuali di Muara Wis. Kemarau membuat Danau Melintang mengering.

“Warga kemudian memanfaatkan kekeringan untuk menanam padi di danau ini, dan berhasil,” cerita pria 26 tahun itu.

Berbeda dengan Yuniar, keluarga Ibrahim berencana menjual hasil pertaniannya. Namun harga belum ditentukan. Keluarganya harus menghitung terlebih dulu berapa jumlah beras yang didapat dan berapa modal yang telah dihabiskan. “Biasanya sih Rp10 ribu per kilogram,” sebutnya.

Baca Juga: Tiga Kali Ganti Pimpinan, Markas Polresta Balikpapan Belum Rampung

Berita Terkini Lainnya