TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Jalan-Jalan ke Kelenteng Thien Ie Kong, Nyaris Ambruk oleh Bom Jepang

Tetap bertahan sejak berdiri pada 1905

Kelenteng Thien Ie Kong dibangun pada 1903 dan selesai pada 1905. Menjadi kelenteng pertama dan tertua di Samarinda (IDN Times/Yuda Almerio)

Samarinda, IDN Times - Hubungan Indonesia dan Tiongkok telah terjalin ratusan tahun sebelum Indonesia merdeka. Dalam catatan sejarah, warga Tiongkok bahkan lebih dahulu berkunjung ke Indonesia sebelum orang-orang Eropa.

Jalinan itu ditandai dengan adanya perkampungan Tionghoa di pesisir Utara Jawa seperti Tuban, Demak, dan Jepara pada abad ke-15 (ZM Hidajat, Masyarakat dan Kebudayaan Cina Indonesia, 1993, hal 53). Pemicu utama eksodus ini tentu mencari penghidupan yang baru.

1. Kelenteng pertama dan tertua di Samarinda

Kelenteng Thien Le Kong dibangun pada 1903 dan selesai pada 1905. Menjadi kelenteng pertama dan tertua di Samarinda (IDN Times/Yuda Almerio)

Kawasan Kalimantan Timur seperti Samarinda dan Balikpapan juga menjadi salah satu persinggahan.

Khusus Samarinda, awal tahun 1900-an, warga Tionghoa Samarinda mulai terorganisasi. Para tetua berhimpun dan bermusyawarah. Titik puncaknya pada 1905, ketika kelenteng pertama, Thien Ie Kong selesai dibangun di Samarinda, tidak jauh dari muara Sungai Karang Mumus.

Saat itu Kota Tepian masih hutan dan minim penghuni. Kelenteng tersebut mampu bertahan melewati tiga zaman yakni Zaman Penjajahan Belanda, Penjajahan Jepang dan MasaKemerdekaan. Bangunan itu tetap kukuh berdiri di tikungan yang mempertemukan Jalan Yos Sudarso dan Jalan Pangeran Suriansyah.

"Hingga sekarang masih tetap digunakan untuk kegiatan sembahyang," ucap Ketua Majelis Agama Konghucu Indonesia (Matakin) Kaltim, Tundra Kosasih, pada Senin (20/1).

Baca Juga: Kisah Sejarah Makam Tionghoa di Balikpapan Jadi Permukiman Penduduk

2. Nyaris ambruk karena terkena dampak bom penjajah Jepang

Selesai dibangun pada 1905, Kelenteng Thien Ie Kong masih berdiri kukuh melewati tiga zaman (IDN Times/Yuda Almerio)

Saat masuk ke kawasan kelenteng, nuansa merah dan kuning menyambut. Rumah ibadah tersebut punya delapan tiang penyangga di bagian selasar atau teras. Selain fasad (muka bangunan) yang menarik perhatian, hal lain yang menyita minat ialah empat ekor patung naga yang mendiami kelenteng tersebut.

Dua di bagian atap menjaga bola api, dua lainnya terdapat di tiang utama bagian selasar utama berwarna putih.

Kelenteng Thien Ie Kong saat zaman pendudukan Jepang, nyaris hancur terkena ledakan bom, kala itu penjajah Jepang hendak menghancurkan pabrik minyak di belakang kelenteng. Dampak dari peristiwa tersebut, bangunan kelenteng tampak miring.

"Syukur bisa bertahan hingga sekarang," imbuh Tundra.

3. Kelenteng berdiri tanpa paku tapi menggunakan pasak

Selesai dibangun pada 1905, Kelenteng Thien Ie Kong masih berdiri kukuh melewati tiga zaman (IDN Times/Yuda Almerio)

Kelenteng Thien Ie Kong dibangun saat masa penjajahan Belanda dan warga Tiongkok ketika itu dipimpin oleh Oey Khoey Gwan atau yang lebih dikenal dengan Oey Thjing Tjawan.

Dia lah yang menjadi fasilitator pendirian tempat ibadah tersebut. Sebenarnya, kata Atun, sapaan karibnya, pembangunan kelenteng dimulai pada 1903 dan selesai pada 1905.

Semua material didatangkan dari Tiongkok. Uniknya bangunan itu didirikan tanpa menggunakan paku. Lantas bagaimana cara menyambung masing-masing tiang kelenteng?

"Caranya menggunakan pasak, jadi tanpa paku," terangnya.

4. Garam sempat menjadi komoditas utama perdagangan

Potret Samarinda pada masa penjajahan Belanda 1930, kawasan Samarinda sudah ramai. Lokasi potret tersebut berada di kawasan Jalan Yos Sudarso (digitalcollections.universiteitleiden.nl/KITLV Leiden)

Meskipun demikian, saat itu warga Tiongkok belum banyak yang mendiami Samarinda, lebih banyak di Sanga-Sanga dan Loa Kulu. Daerahnya masih hutan rindang, sepi dari perdagangan. Kota Tepian belum banyak diminati para pendatang.

Dia menuturkan, tahun berlalu Belanda akhirnya membangun pelabuhan untuk perdagangan di Samarinda. Banyak orang Tionghoa mengadu nasib di Samarinda. Namun tetap Sanga-Sanga menjadi destinasi utama para pedagang.

"Garam menjadi komoditas utama saat itu,” terangnya.

Baca Juga: Ritual Jelang Imlek, Guang De Miao Mandikan Patung Dewa-Dewi 

Berita Terkini Lainnya